Senin, 21 Maret 2016

Adikku Alvin Christian - Part 8

Aku jadi semakin bingung. Revan menghela nafas panjang kemudian menundukan kepalanya.
“sudahlah.. sori ya dit,” ujarnya parau.
Aku pun bingung harus menanggapi bagaimana, lima belas menit kemudian kami beranjak mencari makanan berat. Agak susah juga mencari tukang makanan disekitar Monas, sebab kebanyakan penjaja makanan ringan saja. Revan kemudian mengusulkan ke daerah Kebon Sirih, tidak terlalu jauh dari Monas jika mengendarai sepeda. Aku pun setuju, dengan jalan tikus (lagi) kami tiba di kawasan Kebon Sirih. Kami memasuki satu gang yang isinya tukang makanan semua. Wajar sih sepanjang jalan raya kan area gedung perkantoran.
“tinggal pilih aja yang mana dit, tapi berhubung disini Jakarta Pusat..” bisik Revan saat kami memarkir sepeda kami. “harganya lumayan mahal,”
Aku ber-o panjang. “ya sudahlah, van. Ini resiko yang mesti ditanggung,”

Aku dan Revan memilih makan pecel ayam. Aku minumnya es tawar sedang Revan jus alpukat. Setelah menghabiskan energy lumayan banyak giliran pemulihan energi dengan memanjakan perut. Sama sepertiku, Revan bahkan makan pecel ayamnya menggunakan sendok dan garpu.
“nyama-nyamain gue aja lu dit,” ujar Revan sambil nyengir melihat aku juga menggunakan sendok dan garpu.
“gue mah udah dari orok makannya pake sendok dan garpu,” sahutku sambil melahap daging ayam.
Yeah, banyak kesamaan antara aku dan Revan. Hanya saja Revan orangnya lebih ceplas- ceplos dan ramah.

Sedang asyik-asyik makan ponselku berbunyi: dari Ayah. Buru-buru kuangkat dengan menggunakan headsetku.
“iya kenapa yah?”
“kamu lagi dimana dit?”
“lagi di..” aku menoleh sebentar ke arah Revan, mulutku bergerak tanpa bersuara mengisyaratkan bertanya ‘ini dimana?’.
Revan setengah berbisik menyebut nama tempat ini.
“lagi di Kebon Sirih yah! Abis sepedaan sama teman, kenapa?”
“kok malah tanya kenapa? Mau ikut gak ke tempat teman Ayah itu?”
“wah.. Ayah gak konfirmasi sih tadi malam, adit pikir Ayah mau jalan sendiri..” aku mengeles sebagaimana mestinya (-___-‘)
“posisi lumayan jauh juga ya..” gumam Ayah sempat terdiam berpikir sejenak.
Aku ikut diam menunggu keputusan selanjutnya dari Ayah sambil mengaduk-aduk makananku.
“ya sudahlah! Kayaknya Ayah sendiri aja yang kesana. Nanti Ayah kabarin langsung ke kamu hasilnya..”

Hasil? Hasil pencarian melalui alam ghaib? Hahaha, aku tertawa di dalam hati. “oke ya..”
Dan pembicaraan terputus. Aku langsung memasukan ponsel berikut headsetnya ke saku.
“ada janji sama bokap?” sambung Revan ketika aku mulai melanjutkan mengunyah.
Aku mengangguk, “iya.. tapi semalam dia gak ngabarin ke gue. Gue pikir gak jadi,”
Gantian Revan yang mengangguk, dia tidak bertanya lagi.
“van, menurut lu pecel ayam ini harganya berapa?” bisikku kepada Revan.
“mungkin lima belas ribu,” jawab Revan sambil tersenyum. “ongkos sewa kiosnya mahal..”
Aku mendecak sendiri, entah mendecak kagum, tidak habis pikir atau apa. Yang pasti mendecak tidak jelas.

Kami pun selesai makan dan sukses mengenyangkan perut. Dan tebakan Revan tepat, harga pecel ayam seporsi plus nasi adalah lima belas ribu rupiah.
“dit, habis ini lu ada acara lain gak?”
“enggak sih, emang kenapa?”
“main nyok, ke rumah gue..”
“berasa anak muda maen ke rumah orang..” gumamku sambil nyengir
“lah emang kita masih muda bro, baru 21 tahun!” sahut Revan.
Oh iya ya, usiaku baru dua puluh satu tahun, belum dua puluh lima tahun. Entah kenapa setiap hari aku merasa tua. Mungkin karena aku memilih mengemban tanggung jawab duluan yaitu menikah. Hahaha! Jadi mau tertawa sendiri, aku sampai mengetuk-ngetuk keningku.
“kenapa ngetok-ngetok jidat lu dit?”
“enggak van, gue lupa umur gue masih dua puluhan..” jawabku polos.
Revan nyengir sambil menepuk-nepuk pundakku. “ada-ada aja lu bro..”

“maklum, udah jadi suami. Suka lupa ama umur sendiri..”
“oh iya, mau gak main ke rumah gue? Sekalian ngobrol-ngobrol ama oom gue, tenang aja oom gue orangnya asik lho,”
“hmmm, yaudah deh. Sekali-sekali berasa anak muda lagi,” ujarku menyetujui.
Revan tersenyum lebar, ia langsung mengambil ponselnya dan berkutat serius dengan gadget itu. “okeh deh, gue WM oom gue dulu,”
Aku mengamati ponsel Revan yang seukuran remote AC yang lebar itu. “Galaxy SII ya?”
Perhatian seriusnya yang tertuju ke ponsel jadi buyar. “kok tau?”
“gue kan pengamat teknologi..”
“pengamat ato jaga konter di Roxy? Hahaha..”
“camfreyto..” gumamku mempleseti kata ‘kampret’.

Aku dan Revan mengambil sepeda dan membayar jasa parkir menuju rumah Revan yang ada di kawasan Mampang. Hari minggu pagi jalanan sedikit lebih lengang, jadi kami para pengendara sepeda lebih luwes untuk melaju. Setelah melewati beberapa gang tibalah di rumah Revan. Aku tertegun menatap rumah Revan. Gerbang hitam yang warna catnya sama seperti rumahku, ada sebuah halaman yang lumayan luas sebelum mencapai bangunan rumah.
“yeee.. malah bengong, ayo masuk!” Revan membangunkan lamunanku. Ia membuka gerbang dengan kunci yang ia bawa.
Aku pun mengekor dibelakangnya. Setelah memasuki gerbang aku bisa lihat jelas rumah itu, seperti rumah Ayah. Mungkin arsiteknya orang yang sama. Kulirik Revan dari belakang, aku yakin ini orang bukan orang biasa. Pasti dia orang kaya! Kelihatan dari gelagatnya, bahasanya, penampilannya dan barang-barangnya.

Aku memang sudah lama mengenalnya, tapi aku baru sadar sekarang. Babenya jagoan sih pasti kehidupannya mantap, gumamku dalam hati. Revan memarkir sepedanya ke garasi, sekali lagi aku takjub: garasinya benar-benar bersih dan tertata rapi. Barang-barang di lemari penyimpannya saja tersusun sempurna. Beberapa alat berat disimpan di kotak lemari bawah di sudut garasi. Dan lantainya bersih, apalagi ventilasinya juga bagus sehingga garasi itu tidak terlihat suram. Enak dilihat, disuruh tidur di garasi juga aku tak akan menolak.
“hei, bengong lagi!” Revan mengibas-ngibas tangannya di depan mataku.
“ah enggak, garasi lu rapi banget..” pujiku masih menatap seisi garasi.
“gue emang suka rapi-rapi aja, dit..” ujar Revan sambil tersenyum.
“jarang cowok suka rapi-rapi kecuali…” aku hentikan kata-kataku sampai situ tanpa kuteruskan.
“kecuali apa?” Revan mengerutkan dahinya tanpa menghilangkan senyumnya. “kecuali bencong?”
Dia bisa menebaknya, aku cuma nyengir karena tidak enak.

“dasar lu dit, hahahaha..” Revan tertawa lepas. “yok ke atas, mandi trus main PS deh..”
“udah lama banget gak main PS gue,” gumamku sambil mengekor.
Kuikuti Revan memasuki rumah, ke kamarnya yang di lantai dua. Kalau interior rumah Revan sepertinya tak perlu diceritakan, malah bisa aku bilang lebih mewah daripada yang di rumah Ayah. Aku berani taruhan Revan hobi memperindah rumahnya. Terlebih saat kulihat kamarnya yang benar-benar top markotop.
“ini kamar lu ato kamar pangeran Wiliam?” aku berdecak kagum.
“gue desainer kamar pangeran Wiliam,” sahut Revan sambil tertawa.
“lu mandi duluan gih, gue mau online dulu..”
“okeh..”
“pakai aja baju gue, tinggal pilih di lemari disitu. Feel free lah,”
“siap bos,” ujarku sambil membuka lemari dan memilih-milih bajunya.
Kulirik sebentar, Revan langsung anteng dengan laptopnya. Matanya terpaku ke laptop dengan tangannya yang cekatan mengetik dan mengendalikan mouse.

“onlen sama siapa sih, van?”
“sama adik gue..”
“oouh..” aku ber-o panjang, aku sudah memilih bajunya. “yang tadi lu ceritain?”
“iya..” jawab Revan tanpa menoleh ke arahku.
Aku mengangguk-angguk, aku sih punya akun jejaring sosial tapi jarang kubuka. Mana sempat? Paling cuma sekedar menyapa teman-teman yang jarang sekali ketemu.
“oh iya dit, kalo lu mandinya udah ke ruang tengah yang dekat balkon ya. Oom udah nungguin lu,”
“oom lu? Lah kok?”
“tadi kan sebelum kesini gue sms dia, gue sering cerita tentang lu ke oom. Si pemuda yang berani nikah di usia 22 tahun,”
“bisa aja lu!” aku tersipu malu, kemudian masuk ke kamar mandi.

Dua puluh menit aku di kamar mandi, begitu keluar kulihat Revan tampak lebih segar. Kayaknya pas baru masuk tuh anak rada kucel deh, gumamku dalam hati. Revan masih asyik dengan laptopnya tanpa mengalihkan pandangannya.
“van lu udah mandi?”
“absolutely..”
“lah kapan?”
“pas lu mandi,” jawabnya kalem.
Aku menggelengkan kepalaku, ternyata ada juga yang mandinya cepat seperti aku. Revan menutup laptopnya dan langsung beranjak dari tempat tidur.
“yok ke ruang tengah,”
“gue jadi canggung van,”
“kaya mo ketemu calon mertua aja, ini kan oom gue..”
Aku (-_____-‘), ngaco aja nih anak.

Aku mengikuti Revan sambil mengamati sekeliling. Buffet dari kayu jati yang berisi pajangan kristal dan beberapa foto di atasnya, gorden di jendela yang aku yakin import dari luar negeri, terlihat jelas dari desain dan motifnya. Dan yang seru adalah lukisan bernilai seni tinggi di tembok, sepertinya lukisan yang dibeli dari pameran-pameran pelukis terkenal. Salah satu dari lukisan itu pernah aku lihat di rumah Ayah. Sebuah lukisan yang sepasang, yang jika disatukan akan menjadi satu gambar. Ayah pernah cerita panjang lebar tentang lukisan-lukisan di rumahnya. Memasuki ruang tengah, lantai keramik berganti karpet bulu warna cokelat muda yang sangat halus. Kulihat oomnya Revan sedang membaca koran sambil minum kopi.

Orang ini bertubuh besar dan juga tinggi, dengan setelan belah pinggir rapi. Sorot matanya cemerlang persis ponakannya. Menyadari kedatangan kami beliau langsung tersenyum.
“ini pasti yang namanya Adit ya..” beliau langsung bangun sambil menjabat tanganku.
“betul, oom..” jawabku sambil membalas senyumnya.
“Revan sering cerita tentang kamu. Mahasiswa, udah kerja dan berkeluarga lagi.. luar biasa memang!” ujar oom Fian.
“aah biasa aja kok oom, itu juga dengan modal nekat dan percaya kepada Yang Maha Kuasa,”
“nekat sama berani beda-beda tipis lho, tergantung si pelakunya menggunakannya..”
Aku cuma nyengir, kulirik Revan yang hanya menyeringai.

Kami mengobrol panjang lebar, yang kebanyakan membahas tentang sekolah asuhan oom Fian dan klinik yang tengah beliau kembangkan agar independen. Aku kagum dengan oom Fian, masih ada rupanya dokter yang berjiwa sosial tinggi seperti beliau. Dokter kebanyakan lebih mementingkan kepentingan komersil daripada tanggung jawab mereka yang sebenarnya. Meskipun tak perlu munafik bahwa dokter juga butuh uang dan pendidikan yang mereka tempuh untuk menjadi dokter juga modalnya besar. Tapi masak sih mereka sama sekali tak punya hati gitu? Dan dokter Fian lebih merujuk ke instansinya, yakni rumah sakitnya. Beliau ingin memiliki rumah sakit yang biayanya terjangkau, dan sejauh ini beliau baru bisa memiliki klinik.

“modal buat obat, peralatan kesehatan sama yang lain-lainnya dari mana oom?” tanyaku
“kami mengembangkan usaha yakni tambak udang,” jelas oom Fian. “alhamdulillah, usaha ini pun berkembang sama pesatnya. Sebagian besar hasilnya untuk pembiayaan klinik ini,”
Aku ber-o panjang, berarti 11:12 sama sekolah itu.
“oh iya dit, kamu punya adik ya?”
“eh…?” aku agak kaget mendengarnya. “i..iya oom, kok tau?”
Oom Fian melirik Revan sebentar kemudian kembali ke arahku. “waktu itu saya pernah kedatangan pasien, seorang anak yang umurnya sekitar empat belas tahunan. Kulitnya putih dan matanya agak sipit kaya orang china. Kalau gak salah namanya Alvin..”

Aku berdebar mendengarnya, mataku mendadak panas dengan sendirinya. Dalam hati menjerit, Ya Allah! Itu dia! Itu ciri-ciri adikku!
“Saia tadinya gak tau asal-usulnya dia, sebab dia dibawa sama teman saia..”
“temen?” aku mulai khawatir.
“tenang saja, teman saia orang baik-baik kok.. waktu itu Alvin sakit makanya dibawa ke tempat saia. Saia pikir Alvin itu saudaranya dia, sebab muka mereka identik. Teman saia itu chinese sedang Alvin sendiri kan kaya chinese juga. Selama Alvin sakit Revan yang jagain, dia aman..”

“padahal udah ditawarin Revan supaya tinggal dulu di rumah kami sampai dia sembuh, tapi Alvinnya gak mau. Dia lebih memilih tinggal di.. kamarnya,”
“sekarang Alvin dimana, oom?” aku antusias luar biasa.
“Alvin sekarang di Bandung. Di sekolah oom itu, melanjutkan kembali pendidikannya yang sempat terhenti..” jawab Revan.
Aku terenyuh, akhirnya.. aku punya kesempatan untuk bertemu dengan adik tersayangku lagi. Dan tak kusangka perantaranya adalah kedua orang ini. Dua orang yang sama sekali tak pernah bertemu Alvin.
“gue baru tau Alvin ada hubungannya sama lu waktu gue lihat foto dia yang di dompet lu,” ujar Revan lagi. “kebetulan hari selasa gue mau pulang ke Bandung, kalo lu mau, gue akan antar lu kesana menemui dia..”
“serius lu?”
“iya, ini jadi semacam kejutanlah,”
Dalam hati aku bertahmid berkali-kali. Terima kasih ya Allah, ini jawaban atas doaku selama ini. Aku langsung sungkem kepada oom Fian dan memeluk erat Revan. Hatiku bahagia luar biasa.

“besok lu bisa bilang atasan lu buat ambil cuti lu,” ujar Revan ketika mengantarku di gerbang.
“beres bro..” ujarku sambil mengancungkan jempolku.
Aku menggiring sepedaku keluar baru kemudian menaikinya. “eh gak apa-apa gue pinjam dulu ini baju?”
“it doesn’t even matter, use it as if it were yours..”
“thanks, I’ll return this soon..”
“dit…” panggil Revan saat aku bersiap mengayuh pedal sepedaku.
“iya...”
“waktu satu bulan saja cukup untuk membuat seorang remaja labil berubah, apalagi satu tahun..” ujar Revan menatapku lurus-lurus.
“maksudnya?”
Revan menghela nafas pelan, “gue cuma berpesan, mungkin lu akan melihat banyak perubahan pada adik kecil yang amat sangat lu sayang..”

Aku terdiam mendengar kata-kata itu. Sempat aku mematung beberapa menit, mencoba memasukan pesan Revan itu ke alam sadarku. Mungkin aku akan melihat Alvin yang berbeda?
“hati-hati ya dit..” ujar Revan membuyarkan lamunanku.
“ooh, i..iya,” jawabku agak kaget. Aku langsung mengayuh pedal sepedaku menuju rumah. Membawa sejuta tanda tanya.

***

“terima kasih pak!” jawabku dengan gembira saat menerima ACC permintaan cuti kepada atasanku.
“besok-besok jangan dadakan gini ya dit, kaget lho saya..” ujar atasanku sambil geleng-geleng.
“beres pak! Soalnya ini emang mendadak juga, saya aja kaget..” jawabku (manusia sejuta alasan) “sekali lagi terima kasih ya pak!”
Aku meninggalkan ruangan atasanku, mungkin ia terpaksa memberi ACC karena aku adalah anaknya Hadi Firman Sudirja, GM perusahaan ini. Tepat jam lima sore, sekalian cabut. Kupacu motor besi biruku dengan kecepatan tinggi, menembus macetnya jalanan Jakarta. Tekadku cuma satu bertemu Alvin dan membawanya pulang. Tak akan ada yang bisa menghalangiku kecuali Allah.

Tidak sampai setengah jam aku sudah tiba di rumah. Aku melihat jam tanganku, jam setengah enam kurang lima menit. Wau, rekor baru! Gumamku dalam hati. Aku langsung memarkir si biru ke dalam garasi kemudian langsung masuk untuk memberi tau Lena. Semalam aku sudah memberi tau Lena tapi dia diam saja menanggapinya. Begitu masuk, kudapati dia sedang mengolesi selai kacang ke roti. Sepertinya dia ketagihan makan roti selai kacang.
“tumben pulangnya lebih awal dit?” celetuk Lena menyadari kehadiaranku. Memang sih biasanya aku sampai jam tujuh.
“surat permohonan cutiku di-ACC sama atasanku!” jawabku dengan riang.

Wajah Lena yang biasanya tenang mendadak jadi merah padam. Tatapannya jadi beda.
“aku mau siap-siap aja dulu,” tambahku pura-pura tidak peka. Kutinggalkan Lena sendirian di ruang tengah menuju kamar, ku ambil tas travelku yang ada di lemari. Ah! Sepertinya terlalu besar, kupilih tas hikingku, ini lebih tepat! Baru aku memasukan pakaianku. Sambil ku-SMS Revan bahwa aku bisa ikut dengannya ke Bandung, menemui Alvin. Barang-barang yang kubawa tidak terlalu banyak, secukupnya saja. Mungkin aku hanya akan menjemput Alvin pulang, atau jika dia memilih sekolah disana paling tidak kedatanganku untuk memastikan semua baik-baik saja.

Tidak sampai sepuluh menit aku mengepak. Semua beres di dalam satu tas, aku tersenyum sendiri. Tiba-tiba tenggorokanku mendadak seret. Oh iya! dari pulang kan aku langsung mengurus persiapan, belum minum. Aku bangkit dan beranjak menuju dapur.
“dit..” panggil Lena begitu aku keluar kamar.
“iya sayangku?”
Lena sempat menghela nafas pelan. “kalau kamu besok pergi, aku minta kamu mentalak aku!”
“apa??!” aku terkejut seperti terkena tegangan 10.000 volt.
Kutatap lekat istriku, matanya begitu serius. Aku berharap dia kemudian tertawa dan berkata ‘cilukbaa! Kena deh..’ tapi sepertinya dia mantap dengan kata-katanya.
“are there no another options?” tanyaku sudah setengah stres
“absolutely no! You have to choose, me or your brother?” ujar Lena lantang.

Aku terpaku menatap Lena, dia meminta jawaban. Sedang aku tidak bisa menjawabnya: istri yang sangat kucintai atau adik yang sudah lama kucari. Dilema menerjangku seketika sedangkan tubuhku masih tetap berdiri.
“aku cuma mau menjemput Alvin pulang! Atau paling tidak memastikan dia baik-baik saja!” ujarku sedikit panik.
“baiklah kalau itu maumu dit,” jawab Lena, meninggalkan roti dan selainya menuju kamar dan meninggalkanku.
Sebelum ia menutup dan mengunci pintu Lena berkata, “lakukan apapun yang kamu mau,”
“tu..tunggu! Beri aku..” aku berlari ke arah kamar tapi terlambat. Lena sudah terlanjur menutup pintu dan menguncinya.

Aku menjambak rambutku dengan keras. Kenapa sih? Untuk bertemu Alvin sepertinya begitu dipersulit!?
“aku cuma mau bertemu dengan adikku! Seseorang yang telah lama kucari! Dia yang pergi karena aku, karena keegoisan dan kebodohanku! Aku hanya ingin minta maaf kepadanya dan memperbaiki semuanya! Lena mengertilah!!!!” aku setengah meraung tapi Lena sepertinya tidak menggubrisnya.
Tak ada tanda-tanda pintu akan dibuka, hanya ada hening disini. Hingga adzan maghrib berkumandang membahana cakrawala. Sedangkan aku masih duduk di sisi pintu kamar, Lena pasti akan keluar untuk sholat. Aku menunggu.

Dan benar, pintu perlahan terbuka dan sosok yang kutunggu pun muncul. Matanya sembab memerah, wajahnya kuyu seperti orang depresi. Aku menatapnya lurus-lurus, rupanya dia menangis di kamar. Aku langsung bangkit ingin segera menghampirinya. Tapi Lena memberi kode agar aku tidak mendekat lebih lagi.
“katakan dit..” ujarnya parau.
“katakan apa?”
“talak..”
Jeger! Ibarat petir di siang bolong meskipun sekarang bukan siang bolong. Aku terperangah mendengarnya, Lena masih saja ngotot. Ya Allah! Kenapa harus seperti ini? Aku menatap dalam-dalam mata Lena, berharap dia menarik ucapannya. Tapi tatapan itu tidak main-main, keputusannya sudah bulat seperti bulan purnama. Bulan purnama merah.

“it’s a difficult choice..” gumamku kepadanya.
“but you must choose!” tegas Lena tak terbantahkan.
“aku cuma mau jemput Alvin, atau paling enggak memastikan dia baik-baik saja. That’s all! I don’t falling in love with him! Trust me!”
Lena membuang pandangannya sebentar, wajahnya terlihat seperti seseorang yang menahan serangan sakit di dalam yang sangat kuat. Aku tak tau harus berkata apa, aku menatap ngeri Lena. Sedang dia juga hanya diam.
“katakan dit, sekarang..” ujar Lena pelan dan tak terbantahkan.
Aku bantah lagi juga percuma, dia akan tetap memaksaku untuk menjatuhkan talak. No matter what!

“mungkin sebaiknya kamu pulang ke rumah orang tuamu!” ujarku kepada Lena. Menyuruh (baca: mengusir) istri pulang ke rumah orang tua itu sudah jatuh talak satu. Tapi aku mencoba mengatakannya dengan lebih halus.
Lena menatapku lurus-lurus, tatapannya melunak. Sepertinya dia mencoba memahami kata-kalimat talakku.
“kenapa bukan talak dua atau talak tiga sekalian?”
Aku menggelengkan kepala dengan sok cool. “pertama aku tidak terbiasa dengan kata talak, kedua aku masih punya keinginan untuk kembali kepadamu,”
“mungkin, jika aku masih available untuk rujuk..” sahut Lena, sebuah kalimat sejuta arti. Dia kemudian meninggalkanku, pergi ke kamar mandi untuk berwudhu kemudian kembali ke kamar untuk sholat.

Sedang aku seperti patung, hanya diam tak bergerak dengan pikiran yang entah kemana. Waktu terus saja berjalan tanpa mempedulikan aku yang masih diam tanpa kata. Aku melihat ke arah jam dinding, pukul 06:21 PM. Ah masih ada waktu, gumamku dalam hati. Aku menghampiri sofa ruang tengah kemudian merogoh ponselku. Tau apa yang akan aku lakukan? Bukan narsis karena aku tidak bakat narsis dan juga bukan main game sebab cuma Alvin yang hobi memainkan permainan-permainan ponselku. Aku membuka pemutar musik, kupilih sebuah lagu diantara 178 daftar lagu.

Drive – Bersama Bintang.
senja kini berganti malam
menutup hari yg lelah
dimanakah engkau berada
aku tak tahu dimana

pernah kita lalui semua
jerit, tangis, canda, tawa
kini hanya untaian kata
hanya itulah yg aku punya

tidurlah selamat malam
lupakan sajalah aku
mimpilah dalam tidurmu
bersama bintang

sesungguhnya aku tak bisa
jalani waktu tanpamu
perpisahan bukanlah duka
meski harus menyisakan luka

tidurlah selamat malam
lupakan sajalah aku
mimpilah dalam tidurmu
bersama bintang

Aku menghayati lagu itu dari awal sampai habis, tiap baitnya tiap melodinya. Memang sih lagu sudah jaman kapan tapi cukup mengena di hatiku. Kuulang lagi lagu itu sampai-sampai aku sadar maghrib hanya tinggal lima belas menit lagi, Astaghfirullahal’adzim!

***

Besoknya pagi-pagi sekali aku berangkat, dengan bantuan si biru aku mencapai rumahnya Revan dalam hitungan menit. Tidak terlalu jauh juga dari rumahku, cuma beda kecamatan. Revan memang sebelumnya menyuruhku datang agak pagi, makanya kupaksakan memasang tujuh waker, tiga alarm dan alarm ponselku untuk membuatku bangun. Semalam aku tidur di kamar Alvin lagi (seperti yang seharusnya) Lena sama sekali tidak keluar kamar, sepertinya ia menjaga betul-betul wudhunya. Atau mungkin dia sebenarnya keluar kamar tapi buka-tutup pintunya amat sangat hati-hati. Hmm bisa jadi.

Revan tampak sedang memasukan barang-barang ke bagasi mobil. Dengan suara motorku yang khas ia menyadari kedatanganku.
“hooi, dit! Ayo masuk!” seru Revan dengan riang.
Eet dah nih anak! Lupa apa masih banyak manusia-manusia yang terlelap jam segini. Aku langsung masuk dan memarkirkan motor ke garasi, tempat yang kemarin.
“dikit amat barang-barang lu? Cuma tiga hari doank di Bandung?” tanya Revan heran.
“gue mah fleksibel, gak perlu terlalu banyak bawaan..” jawabku dengan sok. Revan hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“by the way on the way of the busway, oom lu ikut juga?” tanyaku.
“dia juga ke Bandung, tapi udah berangkat semalem naik pesawat ..” sahut Revan sambil memberi kode meminta tasku, ia memasukan tasku ke dalam bagasi mobilnya.
Aku mengamati barang-barang yang ada di bagasi sesaat sebelum ia menutupnya: ada banyak seperti orang pindah rumah. Tapi aku tidak enak menanyakannya.

“duduk dulu yuk dit, kita nyahi bentaran..” ujar Revan mengajakku masuk.
“masuk? Gue kirain udah mau berangkat?” aku terperangah mendengarnya. Sebelas alarm yang kugunakan untuk membangunkanku pagi-pagi.
“ya.. kita isi perut dulu lah! Gue yakin lu belond sarapan,”
Rasional sih, ya sudahlah! Aku mengikut dibelakang Revan. Sampai di ruang tamu aku langsung mengendus aroma makanan, di meja kaca panjang ruang tamu sudah terhidang makanan aneka macam. Bukan makanan berat sih tapi kupikir lumayan untuk mengganjal perut. Ada sepiring kue pastel, kroket, kue putri ayu, arem-arem, combro dan tahu isi lengkap dengan sambal kacang. Semuanya masih hangat seakan baru diangkat dari loyang.

“silahkan dit..” ujar Revan langsung mengambil kue pastel, menggigit ujungnya kemudian memasukan sesendok sambal kacang ke dalamnya. Nikmat sekali, aku ngiler melihatnya.
Aku mengambil kroket kesukaanku, sama seperti Revan: kugigit ujungnya kemudian kumasukan sambal kacang. Ajib! Lezat sekali pagi-pagi begini.
“jangan lupa nih tehnya,” sahut Revan sambil menuangkan cawan berisi teh ke cangkirnya. Ia menyodorkan cawannya kepadaku.
“eh van, nyahi itu apa sih?” tanyaku sambil menuang ke cangkirku juga.
Revan malah tertawa, creamer yang sedang ia tuang ke tehnya jadi agak tidak beraturan.
“ketawa lagi lu!” gerutuku sambil pura-pura cemberut.
“payah lu dit! Gak pernah gaul ama orang Betawi sih. Nyahi itu ngeteh, minum teh sambil makan gorengan kaya gini ato sambil makan nasi ulam..”
“ooh,” aku ber-o panjang.

“gue beli kue-kue ini dari warung langganan gue yang pemiliknya orang betawi. Gue sering ngobrol-ngobrol ama dia jadi gue tau deh istilah-istilah mereka. Gaul dikit donk, dit..” sahut Revan sambil mengunyah kue putri ayu. Pastelnya sudah habis dalam tiga gigitan.
“aah ngakunya anak gaul, tapi nangis kalo digauli..” ujarku tak mau kalah.
Revan tertawa lepas sampai terbatuk-batuk. Buru-buru aku menyodorkan secangkir teh agar dia minum, meski sudah tersendak masih saja ia tertawa.
“seneng banget lu keselek?” gumamku heran.
“omongan lu lucu, dit!”
(-______-‘) cape deh.

Makanan sebanyak itu tak mungkin habis sekejap, jadi sebagian dibungkus untuk dimakan dalam perjalanan. Aku dan Revan memasuki mobil, sebuah sedan merah wine yang tampak mewah. Begitu masuk aku kaget ternyata di kursi supir ada orang yang sedang tidur.
“biasa aja kali dit, ini mang Iyan supir keluargaku yang di Bandung..” ujar Revan duduk di sebelahku sambil nyengir. Seakan ia sukses mengerjaiku.
Mang Iyan menyodorkan tangan mengajakku berjabat tangan sambil tersenyum. Kusambut jabatan tangannya sambil membalas senyum. Kemudian mobil pun berangkat.

Begitu mobil berada di luar gerbang Revan sendiri yang turun dan menutup & mengunci gerbangnya. Tadinya mang Iyan yang mau turun tapi dicegat Revan. Setelah itu mobil kami kembali melanjutkan perjalanan. Pagi hari yang masih gelap dan biru menjadi semacam pemandangan yang menarik bagi kami yang sedang dalam perjalanan. Revan mengeluarkan ponselnya dan memutar sebuah lagu. Bukan si Galaxy tapi ponsel lain.
“orang kaya, hape ada dua..” godaku kepadanya.
“kasian si njus, tau sendiri android batreinya cepet habis..” jawab Revan.
“njus?”
“hape gue kan Galaxy S, nah mempleseti huruf S nya jadi njus. Gitu maksud gue dit..”
“ooh..” kedua kalinya aku ber-o panjang.
Lagu yang diputar Revan menggunakan bahasa yang tidak kumengerti, seperti bahasa spanyol tapi melodinya enak dan sedih.

“ini lagu apa?” tanyaku iseng. “spanyol?”
“bukan! Ini bahasa Itali, judulnya Eppure Sentire oleh Eliza..” jawab Revan kemudian menggantungkan ponselnya di sangkutan bangku depan.
“siapa tuh Eliza?” tanyaku dengan bodoh.
“gue juga gak familiar banget ama namanya, tapi lagunya keren kan?” sahut Revan dengan semangat. “Lagu ini gue dapet waktu gue streaming video Youtube yang judulnya ‘cat tries to revive deadfriend’. Eppure Sentire ini backsoundnya..”
“cat tries to revive deadfriend? Kayaknya gue tau deh! Itu kucing yang mijit-mijitin temannya yang udah mati ketabrak mobil kan ya?”
“iya betul sekali!” sambut Revan terlihat senang aku nyambung dengan omongannya. “adegan mengharukan dimana si kucing putih seakan mencoba membangunkan temannya yang udah mati, asli! Gue nangis lho nonton video itu,”
“sama dink! Ada ya adegan kucing yang begitu setia kawan ama temannya di sudut semesta ini,”
“ya ada lah! Itu buktinya..”
“oh iya ya..” aku menggaruk-garuk kepala. Kami menikmati sisa lagunya sampai habis. Menyentuh sekali lagu ini.

“lu tau artinya Eppure Sentire?” tanyaku kemudian.
“yet to hear, belum mendengar..” jawab Revan singkat.
“belum mendengar?” ulangku ikut agak bingung. “lagu tentang apa tuh kalo judulnya belum mendengar?”
“gue juga gak gitu ngerti maksudnya, kalo dari yang gue baca liriknya ya.. sejenis kaya lagu Boulevard of Broken Dreams nya Green Day lah,” jelas Revan.
“oouh..” untuk ketiga kalinya aku ber-o panjang.
“aa-oo-aa-oo mulu lu dit,” celetuk Revan sambil menggeleng-geleng. “ato jangan-jangan lu gak tau lagi tuh lagu lawas?”
“tau lah! Dulu gue kan suka dengerin lagu itu pake MP3 temen gue!”
“iya deh iya,” ujar Revan sambil membuka bungkusan kue tadi dan mengambil sebuah kroket. Ia menyodorkan kepadaku tapi aku menggelengkan kepala. Masih lumayan kenyang tadi.

Ini anak napsu makannya banyak sekali ya? Tapi badan tetap atletis dan oke, kebalikan sekali dengan aku yang lemak dimana-mana. Jadi malu sendiri.
“ngapa lu ngeliatin gue begitu?” tanya Revan dengan mulut penuh makanan.
“enggak apa-apa, cuma heran aja gue ngeliat perut karung atletis macam lu..”
Revan tertawa terbahak-bahak, tapi tau kan yang terjadi jika tertawa sambil mengunyah? Iya betul sekali tersendak. Revan terbatuk-batuk sambil menepuk-nepuk dadanya. Aku langsung menyodorkan sebotol air mineral yang sengaja kubawa. Revan langsung menyambar dan menegak isinya sampai tinggal setengah. Nafasnya tersengal-sengal seperti orang mengejar kereta. Untuk kedua kalinya dia tersendak, anak yang malang.

Ia menyerahkan botol minumanku sambil menyeka sisa air dari mulutnya. Aku berdecak panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“makasih ya sayang,” ujarnya sambil nyengir-nyengir kuda.
“berterima kasih sih boleh tapi gak gitu juga kali..” sahutku sambil menatapnya (¬,¬”).
“emang dah, beruntung sekali Alvin punya kakak sebaik elu..” gumam Revan tiba-tiba.
Aku termenung mendengarnya, Alvin beruntung punya kakak seperti aku? Sepertinya itu berlebihan, malah aku tak pantas dengan pujian itu.
“kenapa dit?” tanya Revan yang melihatku yang cuma diam.
“gak apa-apa kok, van..” jawabku sambil tersenyum.
Kami kemudian saling terdiam masing-masing, hanya lagu dari ponsel Revan yang memecah keheningan ini. Aku pura-pura saja memainkan ponselku. Aku mengirimkan pesan ke Ibu bahwa aku berhasil menemukan Alvin dan ke Ayah menanyakan seputar hasil dari pertemuannya dengan sang teman yang pintar.

“dit, gue boleh nanya sesuatu gak?” tanya Revan.
“tanya apa?”
“mungkin privasi, kalo lu gak mau jawab gak apa-apa kok..”
“hmm.. okay?”
“gue pengen tau kenapa Alvin.. kabur dari rumah?”
Pertanyaan yang sebenarnya berat dan malas ku jawab. Kulihat mata Revan berharap sekali aku akan menjawabnya.
Aku menarik nafas pelan, “gue ada cekcok sama Alvin, gue sempet marah banget sama dia. Makanya dia memilih pergi dari rumah. Dan masalahnya apa gue gak bisa cerita soalnya berkaitan dengan privasi Alvin..”
Revan menatapku sebentar kemudian mengangguk pelan.

“van, gue boleh nanya sesuatu juga?” gantian aku berbalik bertanya.
“iya..?”
“waktu itu lu bilang ke gue bahwa waktu satu tahun cukup untuk membuat Alvin berubah, maksudnya?”
Revan terdiam sorot matanya kelihatan seperti orang bersalah.
“van..” aku memanggil mencoba memastikan Revan tidak pingsan dengan mata tetap terbuka.
“selama Alvin sekolah di tempat oom, gue pasti selalu memastikan semua baik-baik saja. Setiap gue pulang ke Bandung gue pasti mampir kesana. Untuk ngobrol, sharing, ngajak dia keluar juga. Dua-tiga bulan pertama dia masih tetap anak yang gue kenal dulu. Tapi seiring berjalannya waktu gue ngerasa ada yang beda dari Alvin. Hingga dua bulan terakhir ini, gue udah kayak hampir gak ngenalin dia lagi..”

Aku tertegun mendengarnya, “maksudnya gak ngenalin lagi?”
Suaraku bahkan terdengar begitu melas. Ada rasa takut luar biasa yang seperti paku perak menancap ke dadaku.
“karakter dia berubah, dit. Bukan seperti anak polos dan periang yang pernah gue kenal dulu..”
Aku tidak berani membayangkan seperti apa itu.

“desas-desus yang gue dengar sih, Alvin katanya playboy sering gonta-ganti cewek dan jarang yang sampai sebulan. Pernah dia ribut sama dua orang seniornya. Sampai dua orang itu pindah sekolah, denger-denger sih diteror terus sama ALvin. Pernah juga kasus ketahuan merokok di gudang belakang sama teman gangnya, kabur dari asrama sama teman-temannya buat nonton konser, nyelundupin barang terlarang ke dalam asrama bahkan sampai berantem tonjok-tonjokan sama guru BP yang killer...”
Aku bahkan sampai tak kuasa menelan ludah mendengarnya.
“kata muridku, Alvin temenannya sama anak-anak yang.. rada-rada nakal gitu. Bahkan jadi semacam pentolan gitu lah..”
“semoga dia gak kaya pandawa hitam..” gumamku kepada diri sendiri.
“tadi lu bilang apa dit?” tanya Revan merespon apa yang kugumamkan.
“ah enggak kok, van. Gue cuma bilang semoga dia gak jadi bandit kecil..”
Revan menatapku lurus-lurus kemudian ia mengangguk-angguk pelan memercayai kata-kataku tadi. “gue pikir orang yang sekarang akan bisa mendekati Alvin hanya cuma lu dit,”

“kok bisa?”
“entah kenapa Alvin juga menjauh dari gue, dia seakan menganggap gue orang lain bukan abang yang dia percayai lagi..”
Mendengar itu rasanya ada semacam cemburu sekaligus senang di hatiku. Cemburu karena ada orang yang menggantikan posisiku Alvin, dan senang karena sekarang Alvin menjauh.
“semoga aja gue bisa,” ujarku harap-harap cemas.
Mobil melaju dengan dengan cepat, tapi terasa begitu lama. Seakan jarak antara Jakarta dan Bandung dipanjangkan secara ghaib. Aku meremas ponselku.

Perjalanan masih jauh, aku makin tak sabaran ingin segera menemui adikku. Revan mungkin menyadari kegelisahanku, ia mengambil ponselnya yang digantung dan memutar sebuah lagu.
Green Day – 21 Guns
Aku menyimak lagu itu, kuakui aku memang menyukai lagu itu. Aku tidak terlalu mengerti liriknya tentang apa tapi melodinya pas sekali buat suasana hatiku.
“kok lagu ini?” tanyaku kepada Revan.
“gue suka muter lagu ini saat perasaan gue lagi seperti yang lu rasakan sekarang. Ketika seseorang yang selama ini kita kenal ternyata berubah. Semacam rasa dikhianati gitulah..”
“van.. lu bener-bener tau gue banget!” ujarku dengan ekspresi muka agak aneh: orang mewek bercampur mules-ngeden.
Revan menepuk-nepuk bahuku, “of course dit. Lu adalah imitasi gagal gue, absolutely..”
“kamsud lo??” aku mendadak sewot.
Revan tertawa lepas melihat ekspresi mukaku. “bercanda gue brow, hahaha..”

Belum sempat membalas omongan si Revan ponselku berdering, ada SMS dari Ayah.

From: Hadi Sudirja
Maaf ya dit, Ayah lupa kelupaan,
Bukannya nerawang teman Ayah malah ngajakin nonton bola.
Niat hati mau konsultasi eh dianya malah ngajakin main.
Nanti akan Ayah tanyakan lagi.. kamu lagi dimana?

Ayah tidak pernah menyingkat SMS. mungkin karena sudah terbiasa SMS-an dengan rekan bisnisnya yang notabene menggunakan etika tinggi. Aku pun langsung membalas SMS dari Ayah:

Sent!
Dh tlat yah!
Adit udh m’nmukan ptunjuk.. skrg lg OTW k’Tmpt Alvin
Nanti adit kbr.n lg

“siapa dit?” tanya Revan iseng.
“si babeh,” jawabku singkat sambil memasukan ponselku ke saku. “tadinya gue sama babeh mau konsultasi ama orang pintar mengenai keberadaan Alvin, eh ternyata Tuhan yang lebih dulu menunjukan jalannya melalui elu..”
“wew..” gumam Revan. Mungkin yang ada di pikirannya, dia seolah menjadi dewa penolong yang membantuku menemukan jalan keluar.

“yang kemaren nelpon gue nanyain posisi. Gue nungguin dia ngasih kabar seputar hasil konsultasi ama temannya itu, eh dianya malah diajak main ama temannya dan lupa deh niat semula..”
“gak apa-apa dit, namanya juga bapak-bapak. Udah terlalu sibuk dengan kerjaannya jadi sering lupa buat refreshing, wajarlah kalo menurut gue..”
“iya juga sih. Apalagi babeh gue mau nikah lagi, van..”
Revan mengerutkan dahi, “nikah lagi?”
“orang tua gue cerai waktu gue kecil. Dan setelah jarak yang cukup lama sejak perceraian itu baru sekarang babeh gue mau nikah. Dasar emang gak inget umur kali, hahahaha..”
“ya namanya Ayah mah tetap laki-laki biasa yang butuh belaian lembut wanita kan?”
“absolutely!” jawabku sambil nyengir.

Aku menoleh ke luar jendela, pemandangan di sepanjang jalan tol yang kebanyakan masih hijau. Teduh sekali dan menghanyutkan. Mungkin ini alasan Revan memilih transportasi darat. Rasa kantuk mulai menjalar, apalagi AC nya pas sekali, tidak terlalu dingin dan sejuk. Kalau sudah ngantuk begini siapa yang tahan? Pelan-pelan kupejamkan mata. Dan aku sukses terbuai alam mimpi.

***
Sayup-sayup aku seperti mendengar sesorang memanggilku, tubuhku sedikit terguncang. Oh ayolah! Aku sedang mengobrol dengan Alvin. Lihat! Sekarang Alvin cuma tersenyum-senyum dan menyuruhku untuk menyahuti panggilan ini.
“kang Adit!” kali ini suaranya lebih kencang.
Mataku mendadak terbuka, di hadapanku mang Iyan dari bangku depan sedang mencoba membangunkanku.
“udah sampe kang di sekolahan..” ujar mang Iyan lagi dengan logat sundanya.
“i..iya,” jawabku langsung mengumpulkan nyawa yang sempat buyar. Eh ini kok bahu kiriku berat ya? Aku menoleh untuk memastikan: Revan tertidur di bahuku, dan tidurnya itu nyenyak sekali.
“tadi saya udah coba bangunin kang Revan, tapi susah banget..” ujar mang Iyan dari bangku depan.

“van, bangun!” ujarku sambil mengguncang-guncang tubuhnya
Tak ada reaksi dari Revan, dia malah makin nyenyak di bahuku. Anak ini benar-benar kebu, susah sekali dibangunkan.
“bangun van! Udah sampe nih!” aku mendorong tubuhnya menjauh dari bahuku. Tapi dia malah mendekap bahuku lebih erat.
“bahu lu enak dit..” gumam Revan yang tak lain adalah alam bawah sadarnya.
Ini anak benar-benar, sungguh pemandangan yang kurang pantas dilihat. Tapi mang Iyan tampaknya tak keberatan, dia malah melanjutkan tidurnya di bangku supir ; seperti tadi pagi.
Bahkan sopirnya Revan pun hobi tidur, aku menggelengkan kepala. Pelan-pelan kujauhkan tubuh Revan yang menyender di bahuku. Ajaibnya Revan tidak melawan. Bagus!

Aku sedikit menjauh dan melihat ke luar jendela. Sekolahnya bagus juga ya gedungnya kelihatan oke dan gedung asramanya juga tampak terawat. Aku membuka pintu dan keluar, seketika udara sejuk Bandung menyeruak dan hidungku otomatis menghirupnya. Susah menemukan udara macam ini di Jakarta, kecuali pagi-pagi setelah sholat shubuh. Kurogoh ponselku, kulihat di layarnya tertera jam sekarang: pukul 12.14 AM. Waktunya untuk sholat. Aku membalikan badanku ke mobil untuk membangunkan Revan. Kuintip ke dalam mobil, dia masih tertidur dengan posisi menyender di pintu kiri. Masih ada juga orang yang jauh lebih kebu daripada aku.

Kubuka pintu mobil perlahan, baru tanganku mau menyentuh bahunya untuk melancarkan jurus guncangan gunung api suara bel tanda selesai sekolah berbunyi nyaring. Suara cempreng yang cukup memekikan telinga tapi terdengar seperti dawai harpa surga bagi murid-murid yang sedang sekolah. Tiba-tiba naluriku membisikiku bahwa diantara murid-murid di sekolah itu ada Alvin, dia akan keluar dari gedung sekolah. Dan naluriku mengatakan Alvin akan ke masjid untuk sholat zhuhur. Aku menoleh ke Revan yang tertidur makin pulas, ah biarkan saja kali ya? Prinsipku dulu: mengganggu orang yang sedang tidur itu DOSA.

Kulangkahkan kakiku menuju masjid yang kubahnya terlihat dari tempat mang Iyan memarkir mobil. Bersamaan itu kulihat segerombolan anak-anak dengan seragam putih abu-abu menyeruak keluar dari gedung sekolah. Masa-masa yang begitu kurindui. Oke cukup dengan nostalgia, aku mesti ke masjid! Tak sampai semenit aku tiba juga di masjid, bangunannya besar dan terlihat begitu agung. Aku duduk sebentar di pinggir serambinya, sejenak melepas lelah karena terlalu lama duduk di mobil. Tak lama kemudian datang beberapa murid dan guru. Kalau murid langsung masuk dan menuju tempat wudhu sedang yang guru duduk di sebelahku sambil melepas sepatunya. Aroma khas kaki pun menyeruak dan mengganggu indra penciumanku. Guru itu sempat tersenyum kepadaku, dan kubalas senyum juga.
“mau ketemu siapa kang?” tanyanya dengan logat sunda.
“saya mau ketemu sama adik saya,” jawabku kalem, sengaja aku tidak sekalian menyebut nama Alvin takutnya orang ini berpikir yang tidak kuinginkan.
“oouh..” gumamnya panjang sambil menggulung ujung celana panjangnya. “akang baru pertama kalinya kesini ya? Saya baru pertama kali ngeliat lho..”
Wah? Kok bisa tau ya dia? Sepertinya orang hebat ini, gumamku dalam hati. “iya pak, saya sekali ini kesini, sama Revan yang keponakannya pak Fian..”

Orang itu mendadak agak kaget, tapi ekspresi kagetnya itu buru-buru disembunyikan dengan sebuah senyuman. Aku yang tadinya ingin mengenalkan diri jadi mengurungkan niatku.
“iya! Saya tau de Revan, dia suka kesini..” jawabnya singkat. “yuk kang, kita sholat berjamaah dulu..”
“ooh iya ya,” gumamku langsung bangkit. Aku sampai lupa niat awalku (yang kedua). Aku mengikuti orang itu ke tempat wudhu. Tempat wudhunya unik, ada semacam tempat duduknya selagi kita berwudhu. Seru juga! Dan airnya jangan ditanya, dingin sekali seperti berwudhu dengan air di kulkas.

Ada lumayan banyak anak yang sholat. Sekolah ini sepertinya mendidik akhlak dengan baik, aku harap-harap cemas memperhatikan tiap anak laki-laki yang ada disitu. Berharap salah satu dari mereka adalah Alvin. Dan sholatku pun jadi kurang khusyuk, pikiranku terganggu dengan rasa penasaran. Hingga selesai sholat kusempatkan celingak-celinguk mencari, dan hasilnya masih sama saja. Naluriku sepertinya sudah semakin menyesatkan. Setelah berdoa selesai aku mundung ke pinggir, sambil utak-atik ponselku berharap Alvin akan datang di gelombang selanjutnya. Tapi harapanku ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Semenit, dua menit, lima belas menit hingga dua puluh lima menit kutunggu tak kunjung datang juga bocah berambut agak ikal dan berwajah seperti chinese itu. Aku jadi teringat cerita Revan, Alvin sudah banyak bergaul dengan anak-anak yang tidak benar mungkin sekarang dia sudah lupa sholat.

Aku bangkit dari tempatku duduk, agak putus asa dengan naluriku tapi hei! Alvin ada disini, di sekolah ini dia tak akan kemana-mana. Aku ingat waktu aku di pesantren kan ada semacam resepsionis, ketika wali murid datang maka si resepsionis akan memanggilkan murid itu agar segera menemui orang tuanya. Okeh! Aku segera memakai sepatuku.
“buru-buru kang?” sapa seseorang dari belakangku, kemudian orang itu duduk di sampingku.
Si guru tadi tersenyum kepadaku dan dengan santai memakai sepatu.
“iya nih, pak. Hatur nuhun ya..” ujarku yang secepat kilat memakai sepatunya.
Langsung saja aku setengah berlari sambil mencari-cari resepsionis. Ah sepertinya ada disitu, tak jauh dari pintu masuk dekat pintu masuk asrama.

Setiba disana aku langsung meminta tolong agar mereka memanggilkan Alvin. Ada dua orang juga persis seperti yang di pesantrenku.
“Alphin? Alphin Christian.. maksudnya pak?” ulang anak berambut sedikit cepak sambil menerima buku tamu yang baru kuisi. Aku menganggukan kepala dengan yakin.
Si cepak ini sempat menengok ke arah temannya yang satu lagi dengan tatapan ragu, temannya yang mengangguk dankemudian memanggilkan Alvin.
“duduk aja dulu pak,” ujar si cepak dengan ramah.
“oh iya de..” jawabku kemudian duduk di bangku duduk dekat situ.
Agak lama juga anak itu memanggilkan Alvin, beberapa menit kemudian anak itu datang tapi sendirian.
“maaf pak, Alphin gak ada di asrama. Saya cari ke ruang makan juga gak ada, mungkin dia masih di sekolah ato nongkrong sama teman-temannya..”
“ooh gitu ya..” ujarku kecewa. Kecewa berat.

“kalau mau bapak bisa tunggu di ruang tamu asrama, nanti akan kami paging biar Alphinnya datang sendiri..” ujar si cepak memberi usul.
“okelah,” jawabku pasrah, di pikiranku sekarang cuma bagaimana caranya agar aku bisa bertemu dengan adikku.
Temannya si cepak mengantarku ke ruang tamu asrama yang tak jauh dari meja resepsionis. Sebelum masuk aku diharuskan melepas sepatu dan meletakannya di rak dekat situ. Memasuki ruangan itu aku melihat sebuah ruangan minimalis yang tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil dengan desain ala Timur Tengah. Ada hamparan permadani merah dengan motif masjid dan sebuah meja ceper Jepang, dihiasi bantal-bantal yang matching dengan warna permadani. Ada sebuah lemari yang terisi penuh dengan medali-medali dan beberapa piagam yang menggantung di dinding. Di sudut ruangan ada sebuah dispenser dan rak gelas dan di ujung ruangan sebuah jendela yang menghadap ke lapangan. Kesan pertamaku saat menginjakan kaki di ruangan ini adalah: nyaman. Bahkan kesetnya bergambar Winie the Pooh, unyu sekali.

“mau minum apa pak?” tanya teman si cepak.
“air putih aja,” jawabku tidak neko-neko. Di momen dimana jantungku berdebar tidak beraturan mana nafsu aku minum yang macam-macam.
Anak itu mengambil sebuah gelas dan menuangkan air yang ada di dispenser kemudian meletakannya di meja. Aku pun duduk di hamparan permadani yang lembut dan nyaman. Aku tersenyum kepada anak itu.
“terima kasih ya..”
“sama-sama, bapak mohon tunggu dulu ya..” ujarnya kemudian pamit meninggalkanku.
Sekarang aku sendirian di ruangan ini, kumain-mainkan saja ponselku. Kuputar-putar di tanganku, setelah bosan kulempar-tangkap.

Tiba-tiba pintu terbuka lagi, ponsel yang sedang kulempar-tangkap jadi meleset dari tanganku (aku kaget bercampur penuh harap) dan blentang! Ponselku sukses mendarat di lantai keramik yang tidak dijangkau permadani. Batrei dan kartu SIM nya sampai lepas. Bunyinya begitu memilukan, dan semakin memilukan (baca: kesal) saat yang membuka pintu bukan Alvin melainkan si kebu Revan Andhika Syah. Mukanya masih menampakan wajah mengantuk.
“wah hape lu kenapa tuh dit?” tanyanya dengan polos.
“abis melahirkan,” jawabku agak kesal sambil memunguti ponselku dan menyatukan elemennya lagi.
“percuma nungguin Alvin disini, dia gak akan balik ke asrama sampai Ashar..” ujar Revan masih berdiri di ambang pintu.
“trus lu tau dia ada dimana?”
Revan hanya menjawab dengan anggukan pelan. Aku langsung bangkit dan menghampirinya.

Kuikuti langkah Revan dengan berdebar-debar. Ya Allah, akhirnya aku akan bertemu adikku setelah sekian lama. Revan membawaku ke area belakang sekolah dekat kantin, jalannya sebenarnya tidak rumit tapi lingkungan yang masih asing membuatku bingung. Revan mengajakku menaiki sebuah tangga menuju lantai atas, entah menembus dimensi apa hingga nyasar-nyasar kami berada di sebuah beranda luas di lantai tiga. Aku tau ini di lantai tiga sebab ada tulisannya tertempel di pintu. Udaranya berhembus cukup sejuk membuat perasaanku sedikit relaks. Kuhirup dalam-dalam udara ini, udara yang sungguh segar. Di tengah keasyikanku menghirup udara, Revan menepuk bahuku, Ia menunjuk ke arah bawah, ke sebuah sudut di ujung halaman belakang yang kurang terurus. Meski ini dari lantai tiga tapi cukup jelas untuk melihatnya.

Aku mengerutkan dahi. Menatap tidak percaya apa yang kulihat ini.

Ada dua orang anak berseragam putih abu-abu di bawah sana. Tapi situasinya bukan situasi yang menyenangkan, seorang anak yang berambut cepak seperti ABRI tengah menahan seorang lagi yang berambut jabrik, dengan memegang kerah bajunya memepet ke tembok. Keduanya saling beradu tatapan. Keduanya terlihat sedang membicarakan sesuatu. Yang berambut cepak tampak tersenyum bengis sambil mengatakan sesuatu yang membuat yang berambut jabrik pucat pasi. Tapi tiba-tiba mengatakan sesuatu dengan agak keras sambil berusaha melepas pegangan si cepak. Namun si cepak malah meninju si jabrik tepat di wajahnya, sampai darah mengucur di mulut anak itu. Kaki si cepak langsung menghantam kepala si jabrik. Tidak terlalu keras, sepertinya si cepak cuma ingin kepala si jabrik tetap ada dibawah menyentuh tanah. Si cepak menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian berjongkok dengan kakinya masih menginjak kepala si jabrik. Si cepak seperti sedang mengatakan sesuatu kepada mangsanya itu.

Bagaimana mungkin sekarang Alvin benar-benar sudah kehilangan hati nuraninya? Yang cepak adalah Alvin. Revan mencolek bahuku, mengganggu keasyikanku melihat kejadian tidak berperi kemanusiaan ini.
“gue gak tau apa yang membuat dia jadi hobi nginjek kepala orang kaya gitu..” gumam Revan kepadaku. meskipun kelihatan mengantuk tapi aku bisa melihat keseriusan di wajahnya. “pas gue bangun gue nyariin lu, tapi berhubung gue belum sholat makanya ke masjid dulu. Dan waktu di serambi depan gue ngeliat Alvin tiba-tiba merangkul bahu anak yang jabrik itu. Gue gak tau Alvin bilang apa sampai tuh anak mau ikut dia ke halaman belakang ini..”
Aku terenyuh mendengarnya, dan juga bingung mau komentar apa.
“gue tadinya mikir dua kali buat manggil lu kesini, tapi kayaknya lu sendiri harus tau apa yang dilakukan adik kecil lu itu..”
“I have to stop him,” ujarku sambil mengambil langkah seribu, menuju ke lokasi. Aku sebenarnya tidak terlalu ingat jalan turunnya, tapi ikuti naluriku saja. Meskipun naluriku tadi sempat salah. Tapi ajaibnya aku keluar-keluar langsung di TKP.

“kasian, Pandji kecil rupanya sedang menangis..” ujar Alvin sambil berdecak panjang.
Ada rasa semacam sesak di dadaku. Aku tidak percaya adik kecilku yang polos dan baik hati berubah jadi devil. Astaghfirullahaladzim! Aku tidak boleh bilang begitu.
“kamu lucu juga ya kalo nangis. Unyu unyu unyu! Kakak kelasku yang paling ganteng di sekolah malah nangis dibawah sepatuku, hahahahahaha..”

“siapa yang ngajarin kamu kurang ajar kaya gitu, vin?” seruku dengan lantang. Spontan Alvin menoleh ke arah sumber suara.
Wajahnya mendadak pucat pasi, diabaikan kepala Pandji yang tadi ia injak. Alvin berdiri menatapku tidak percaya. Ia mengerutkan dahinya dan menatap tajam ke arahku. Kuakui Alvin semakin tampan meski sekarang ia sudah seperti preman. Wajah lugunya sudah tidak ada lagi, tergantikan dengan wajah yang terkesan bengis dan dingin. Alvin menatapku lurus-lurus tanpa mengatakan apa-apa, wajahnya yang semula pucat pasi sudah terlihat lebih tenang.
“aku gak pernah ngajarin kamu jadi preman kaya gini..” ujarku lagi kepadanya. Aku tak sabaran karena Alvin hanya diam.
Pandji memanfaatkan situasi ini dengan kabur dan menghilang dibelokan. Alvin menatap siluet mangsanya, hilang sudah kesenangan itu.

Alvin kembali menatap ke arahku, sekilas tatapannya seperti seorang pimpinan mafia yang berhadapan dengan musuhnya. Alvin merogoh sakunya mengambil rokoknya berikut pemantik, ia membakar sebatang di depanku. Seakan menantangku (Alvin tau aku tidak suka merokok dan selalu melarangnya agar jangan merokok) ia menatapku lurus-lurus.
“lama kita gak berjumpa, kak..” gumam Alvin dengan nada (yang kudengar seperti) mengejek.
“siapa yang ngajarin kamu jadi kaya preman gitu?” tanyaku lagi, dia masih belum menjawab pertanyaaanku sebelumnya.
Alvin menatap ke arah beranda lantai tiga, ia bisa melihat Revan berdiri disana kemudian balik lagi kearahku. “gak ada yang ngajari aku. Aku belajar sendiri bagaimana mengancam, bagaimana memukul, bagaimana menginjak.. dan bagaimana bertahan hidup!”

Aku jengah mendengarnya. “siapa sih yang sudah mencuci otakmu? Aku bahkan sudah tidak bisa mengenali lagi seseorang dihadapanku ini. KEMANA ALVIN YANG SELAMA INI AKU KENAL??!!”
Alvin tidak terlalu menanggapi kata-kataku, ia menghisap rokoknya dan menghembuskan asap sambil membentuk asapnya jadi O. Ia seakan cuma bermain-main dan tidak menganggapku.
“kalau kakak bertanya begitu, jawabanku jelas adalah keadaan. Tapi yang sebenarnya ini bukan soal siapa penyebabnya melainkan apa penyebabnya..”
Alvin menekankan pada kata ‘apa penyebabnya’. Aku tidak bisa menelan ludah, tau kan penyebabnya apa? Ia menatap tajam kepadaku, menembus bola mataku seakan sedang melihat isi pikiranku. Di dalam tatapannya ada gurat kekecewaan dan kesedihan.

“maafkan aku, de..” gumamku pelan, satu argumen yang membuatku tak berkutik lagi.
“minta maaf untuk apa? Kupikir kakak enggak membuat salah apapun denganku?” ujar Alvin sambil menghisap rokoknya lagi.
Kata-katanya itu makin menyayat hatiku. Tanganku yang tadi mengepal kuat berganti jadi gemetar. Aku tak punya kata-kata lagi untuk membantahnya.

“kamu gak sopan vin! Kakakmu datang bukannya disambut dan diajak singgah..” ujar Revan tiba-tiba muncul dari belakangku. “Adit jauh-jauh datang dari Jakarta buat menemui kamu lho..”
Alvin menghisap lagi rokoknya dan menatap lekat Revan, tidak setajam saat melihatku memang. Ia mendekat ke arah kami dengan sedikit mencibir.
“matikan dulu rokoknya! Hormati orang yang tidak merokok,”
“ini baru dibakar kan, bang..”
“biarin aja van! Sesuka hati dia, mau ngerokok mau nyabu atau mau ke langit sekalipun, itu hak dia..” ujarku dengan sinis.
“oke oke!” gerutu Alvin, langsung dibuang putung rokoknya dan diinjak hingga gepeng. “sekarang puas?!”
Aku tidak mengacuhkannya, aku merangkul pundak Revan untuk jalan duluan.
“ayo vin! Kita ke kantin, adit yang traktir!” sahut Revan dengan santai.
“kamsud lo?” aku langsung sewot.

***

“van, kalo untuk tiga orang gue mah bisa-bisa aja! Tapi kalo sembilan orang kayaknya uang gue gak cukup deh..” bisikku dengan sinis kepada Revan.
Alvin mengajak lima orang temannya juga. Dia benar-benar anak yang punya solidaritas tinggi.
“tenang dit, lu cukup bayarin buat kita dan Alvin. Kalo teman-temannya biar urusan gue!” ujar Revan dengan santai.
“kedua kakakku bisik-bisik aja nih dari tadi kaya orang pacaran?” goda Alvin diikuti gelak tawa teman-temannya. Tawa yang menyebalkan.
“tapi kakak lu baik-baik vin..” celetuk salah seorang dari mereka. “ada dua lagi, jadi kalo yang satu bokek lu bisa minta ama yang satunya, hahahahaha..”
“mas gak diajarin sopan santun ya?” aku sewot lagi.
“abdi teh urang bandung, bukan wong jowo!” jawab anak itu sambil tertawa-tawa.
“udahlah dit, namanya juga anak-anak..” sahut Revan sambil tersenyum mendelik kepada mereka. Seketika tawa ceria anak-anak itu menghilang. Revan nyengir kepadaku, seakan berkata ‘aku hebat kan?’ aku melanjutkan makan mie ayamku, sebenarnya selera makanku sudah amblas tapi kupaksakan sajalah daripada jadi maag.

Alvin dan kawan-kawan menempati satu meja penuh, sedang aku dan Revan duduk di meja yang sebelahnya. Mereka tertawa-tawa sambil sesekali saling ejek. Kalau kuperhatikan Alvin itu seperti bosnya, jika ia sudah bilang sesuatu pasti teman-temannya nurut. Hebat juga anak ini! Sambil tertawa-tawa Alvin rupanya menyadari aku sedang melihat ke arahnya. Mata kami sempat beradu hingga aku kembali melahap makananku. Revan sudah selesai makan, ia langsung meneguk segelas es teh manis minumannya.
“tumben makannya lama?” ujar Revan kepadaku, entah kata-kata itu mengejek atau memang ia bertanya. Aku cuma jawab dengan dengungan seperti lebah.

“gung, nanti kamarnya dipinjam dulu ya, Alvin mau reunian keluarga!” ujar Revan kepada seorang anak yang duduk di sebelah Alvin. Anak itu hanya menjawab dengan sebuah anggukan.
Rambutnya agak gondrong dan ekspresi wajahnya dingin. Alvin mengerutkan dahinya kepada Revan tapi Revan pura-pura tidak melihat.

Selesai makan Revan mengajakku ke kamar Alvin, kamar yang ada di lantai dua nomer sembilan area senja. Beberapa anak-anak penghuni asrama melihat ke arahku, mungkin mereka bingung melihat ada orang lain yang mengunjungi Alvin selain Revan. Ah! Apa peduli mereka? Kemudian kami tiba di kamar nomer sembilan. Kamarnya ada di ujung lorong dekat sebuah jendela. Alvin merogoh kunci kamar dan membukanya perlahan.
“ayo masuk kak..” ujarnya mempersilahkanku.
Aku melangkahkan kakiku masuk dengan sedikit ragu, aku menoleh ke arah Revan.
“ini kan reunian keluarga kalian berdua. Lagian tadi Alvin cuma mempersilahkan elu..” jawab Revan pelan sambil menutup pintu kamar.
Okay! Sekarang di ruangan sebesar 3x4 meter ini cuma tinggal aku dan adik laki-lakiku. Aku tidak tau harus ngomong apa, antara sebal dan bersalah. Dan hasilnya galau deh.

“kak..” panggil Alvin. Suaranya terdengar dekat sekali.
Aku menoleh ke arah sumber suara, dan benar saja anak itu tidak sampai selangkah dari posisiku berdiri. Alvin menatap mataku dalam-dalam, seperti mata Saringan keluarga Uchiha (Naruto). Aku beberapa kali mengalihkan pandanganku mencoba agar jangan sampai beradu mata dengannya.
“buat apa kakak datang kesini?” tanya Alvin pelan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya bukan sesuatu yang ingin aku dengar.
“aku ingin minta maaf..” jawabku jujur.
Tatapan tajamnya berubah jadi pandangan kosong. Dia mendadak diam seperti patung.
“vin..” panggilku pelan. Tapi dia tidak bergeming entah tidak mendengarnya atau memang tidak peduli.
Ku ulurkan tanganku ingin mendekapnya tapi langsung ditepisnya. Dia menolak!

Aku menghela nafas panjang, kurasa sia-sia pertemuan keluarga ini. Aku perlahan membalikan tubuhku menuju pintu, sebaiknya aku mencari Revan.
“kan tadi aku sudah bilang! Kakak gak punya salah apa-apa, buat apa minta maaf kepadaku?” seru Alvin tiba-tiba dan membuatku menghentikan langkahku.
Aku berbalik lagi, Alvin menatap lurus ke arahku. Tatapan yang tak bisa kumengerti, tapi aku melihat ada kekecewaan dan kemarahan di sorot mata itu. Membuatku rasa bersalah ini semakin mencekikku.

“as you said before, I was causing you to be like this now. That’s the biggest mistake I have ever done in my life..”
“that’s all?” tanya Alvin dengan mata berkaca-kaca. “is that all?”
Aku menatapnya dengan sendu, rasa sesak di dadaku membuat nafasku jadi pendek. “yes. I am a bad big brother for you. I don’t even worth enough called as a big brother..”
Buk! Tiba-tiba Alvin meninju wajahku tepat di pipi kiri, keras sekali hingga aku menabrak tembok dekat meja belajar. Kuusap darah segar yang mengucur dari mulutku.
“nice beat,” ujarku sambil menatap darah yang kuseka. Aku perlahan bangkit dari posisi terjerebab ini. Alvin menambahkan satu bogem mentah di pipi kananku sehingga aku terjerebab untuk kedua kalinya. Alvin memegang kerah bajuku dengan kedua tangannya dan menarikku tubuhku agar lekas berdiri. Dia langsung mendorong tubuhku ke tembok dengan keras, persis seperti yang dia lakukan kepada anak berambut jabrik tadi. Matanya menunjukan kemarahan yang luar biasa.

Wajahnya dan wajahku cukup dekat, aku bahkan bisa mendengar suara nafasnya yang memburu. Alvin yang berparas manis dan imut sekarang semakin tampan saja. Apalagi tingginya dia hampir tidak jauh beda denganku, mungkin beda sekitar lima atau enam senti. Cepat juga perkembangan anak ini, hebat!
“pukul aku sesuka hatimu de, aku pantas mendapatkannya..” bisikku kepadanya, berbarengan dengan darah segar menetes dari mulutku.
Genggamannya di kerah bajuku makin kuat, ia melepas satu tangannya, mengepalkan dengan kuat dan bersiap melancarkan tinju keduanya.
“aku sudah hampir berhasil melupakan masa lalu, tapi kenapa kakak datang lagi?” ujarnya sedikit gemetar, matanya dari tadi cuma berkaca-kaca tapi air matanya tidak menetes juga.
“maafkan kakak vin..” gumamku pelan.
Jdar! Alvin melepaskan satu tinjunya, tangannya meleset sedikit dari wajahku hanya beda beberapa milimeter. Sebuah pukulan yang kuat, aku yakin ada semacam bekas yang ditinggalkan di tembok itu.

Alvin menjauh dariku, ia mendengus sebal ke arah pintu. Aku menoleh kesana juga: Revan disana berdiri dengan wajah bingung.
“mau jadi jagoan kamu vin? Kakak sendiri pun kamu pukul?” bentak Revan mendekati Alvin.
Alvin tidak menjawab, ia membuang pandangannya ke sisi lain agar tidak menatap mata Revan.
“JANGAN BERSIKAP KAYA BANCI, VIN!!” Revan meninggikan suaranya.
Dan Alvin masih tidak mengacuhkan Revan, tapi wajahnya menunjukan ada gurat takut.
“gak apa van, gue emang pantas ditonjokin sama dia..” ujarku pelan. Aku menyeka darah yang masih menetes dari mulutku dengan sapu tangan. “mendingan kita cari kotak P3K, darah gue gak brenti ngocor nih..”
Revan menganggukan kepala, ia sempat menatap tajam Alvin kemudian ia memberiku kode agar mengikutinya. Aku sempat menatap Alvin yang masih saja menunduk, pelan-pelan kutinggalkan dia di kamar ini. Tak lupa pintunya kututup.

Revan membawaku ke lantai bawah asrama, beberapa mata tertuju padaku (berasa miss uniperse dengan slogannya itu) aku bisa dengar sekilas bisik-bisik mereka.
“korbannya Alvin lagi,”
“gak di sekolah gak dari luar ada aja korban..”
“kasian,”
Ah sudahlah! Bikin pusing saja, yang penting aku cepat mengobati lukaku ini. Kami pun masuk ke sebuah ruangan, disana tersedia kotak P3K dan Revan sibuk mengeluarkan peralatan yang dibutuhkan.

“sori ya dit, lu jadi kaya begini deh..” ujar Revan dengan cekatan menyiapkan kapas dan betadin.
Ia mengambil handuk kecil bersih dari lemari dan membasahinya dengan air. Perlahan ia mulai menyapu bagian-bagian luka di wajahku. Ini anak sudah terampil sekali dalam pertolongan pertama.
“kok jadi elu yang minta maaf?” aku heran.
“gue gak enak aja, gue kan yang maksa lu ama Alvin reunian di kamar..”
Aku diam saja, tidak tau harus menanggapi apa. Kuperhatikan handuk putih basah yang dipegang Revan sekarang sudah ternodai bercak-bercak merah. Revan menaruh handuk itu dan meneteskan betadin ke kapas yang tadi dia siapkan.
“van, dulu lu anak pramuka ya?” tanyaku iseng.
“enam tahun!” jawab Revan sambil nyengir. “dari SMP gue lakonin ekskul pramuka. Disamping seru manfaat dan pengalaman yang gue dapet banyak..”
“pantes..” gumamku.
Revan mulai mengolesi kapas berbetadin ke bibirku dan sekitarnya. Sedang pipi kananku agak membiru karena Alvin memukul lumayan keras disitu.

“kayaknya gigi geraham kanan gue mau copot,” gumamku sambil meraba gigiku dengan lidah. “Alvin kuat banget nonjoknya. Kalo gue ama dia berantem pasti dia yang menang..”
Revan yang sedang cekatan menyiapkan kompres air dingin terdiam sebentar. “gue yang ajarin dia bela diri dulu..”
“what?!” aku kaget.
“katanya dia suka digangguin sama kakak kelasnya, makanya aku ajari dia bela diri. Gak taunya malah dipake buat yang enggak-enggak,” jawab Revan dengan malas.
“waduuh,” gumamku tak tau mesti berkomentar apa.
Revan menempelkan handuk yang sudah dikompres itu ke pipiku, bagian yang memar. Dingin memang tapi tidak cukup ampuh menghilangkan rasa sakitnya.

“gimana menurut lu Alvin sekarang?” tanya Revan sambil mencuci handuk bekas tadi membersihkan darahku.
“absolutely parah!” gumamku sambil mengingat-ingat saat ia memukulku dan menginjak kepala kakak kelasnya.
“gue jadi gak enak, pertemuan pertama pake ada insiden kaya gini..” ujar Revan penuh penyesalan seakan dialah penyebab semua ini.
“it doesn’t even matter! Udah risiko,” jawabku sambil nyengir, tapi yang ada rasa sakit di pipiku yang memar. Aku meringis menahan sakit.
“kayaknya udah pasrah amat lu?” goda Revan, sifat isengnya kumat lagi.
“gue emang pantes ngedapetin tonjokan dari Alvin..” jawabku dengan serius. Mendengar jawabanku itu Revan membatalkan niat isengnya.
“rumit ya? hehehehe..” ujar Revan kehabisan kata-kata.

Kami berdua terdiam, canggung kalau terus-terusan diam begini. Kulirik Revan yang cuma diam sambil memandang ke jari-jari seolah hal itu begitu menarik baginya.
“kayaknya Alvin cuma nurut ama lu van..” gumamku.
Revan yang tadinya fokus dengan jari-jarinya langsung menoleh ke arahku. “maksud lo?”
“tadi dia langsung diam pas lu bentak gitu. Kayaknya gue juga mesti belajar ilmu bela diri biar bisa bikin dia mati gaya kaya tadi..”
Revan memiringkan kepalanya mencoba mencerna omongan (bodoh) lawan bicaranya ini. Dia tiba-tiba menyodorkan tangannya seperti orang ngajak salaman.
“ngapain?”
“jabat tangan gue..” perinta Revan singkat.
Kuterima tangannya dan mendadak Revan langsung meremas tanganku dengan tenaga yang kuat. Aku memekik karena tidak siap, tanganku sudah keburu digencet begini.
“mana tenaga lu dit, katanya cowok?” goda Revan sambil nyengir.
“gue belond ambil ancang-ancang, udah donk! Sakit!” gerutuku mencoba menarik tanganku dari remasan Revan tapi sia-sia. Revan kuat sekali.

“masa baru segini nyerah sih? Gue ganti juga nama lu jadi Firda..”
“kalo soal ganti nama lu berhadapan ama nyokap gue dah! Dia yang ngasih nama gue begitu..”
Revan menghela nafas, memperhatikan saja aku yang berusaha melepaskan tanganku dari cengkramannya.
“gue denger Alvin pernah perawanin salah satu adik kelasnya sampai hamil, tapi adik kelasnya aborsi..”
“APA??!” aku kaget mendengarnya, otomatis kuremas balik tangan Revan dengan tenaga yang entah datangnya dari mana.
Spontan Revan langsung melepas remasannya dan menarik tangannya yang tadi aku remas balik. Dikibas-kibas tangannya sebentar sambil meringis menahan sakit.
“ada tenaga lu ya kalo gue sebut nama Alvin?”
“benaran itu van?” aku panik, amat sangat panik.

“bohong dit, bohong,” jawab Revan sambil nyengir.
Aku mengerutkan dahi menatapnya lurus-lurus. “maksud lu apa nih?”
“enggak ada maksud apa-apa dit, cuma pengen nguji aja. Ternyata lu punya tenaga yang kuat kalo gue menyebut sesuatu tentang Alvin ya?”
Aku gantian termenung, iya apa ya? Tapi tadi buktinya..

Aku dan Revan sedang dalam perjalanan menuju rumah keluarga Revan. Pipiku masih cenat-cenut dasyat terutama yang kanan. Selama ini aku belum pernah ditonjok, apa seperti ini ya rasanya? Ku amati pemandangan di luar, langit senja sore memang indah! Berwarna merah orange menyala, seandainya itu makanan pasti rasanya lezat. Ayolah Adit! Kok di pikiranmu makanan mulu? Tidak terasa mobil ini memasuki sebuah kawasan perumahan, setelah melewati beberapa blok tibalah kami di sebuah rumah yang besar. Aku bengong melihatnya, gerbangnya tinggi seperti gerbang istana-istana di luar negeri. Tak lama gerbang itu terbuka dan mobil ini perlahan masuk.

Aku makin takjub, halamannya luas sekali seperti lapangan bola dan terlihat bangunan rumah yang berdiri kokoh seperti istana. Meski tua tapi terawat dengan baik.
“selamat datang di istana hantu,” kelakar Revan yang menyadari aku tak berhenti menatap rumahnya.
“emang berhantu van?” tanyaku dengan begonya.
Revan mengangkat bahu dan dengan santai ia melanjutkan mengutak-atik ponselnya. Tidak sampai lima menit untuk mencapai bangunan utama. Dan dari pintu depannya sudah menanti tiga orang berseragam pelayan dan seorang laki-laki yang kutaksir usianya sekitar dua puluh lima tahunan.

Akhirnya mobil berhenti tepat di depan pintu utama, Revan pun keluar diikuti aku. Tiga orang berseragam itu langsung menuju bagasi dan mengangkuti barang-barang yang ada disitu.
“i..itu tas gue,” ujarku ketika tasku ikut diangkut.
“udah gak apa dit, aman kok!” sahut Revan.
“welcome home Revan Andhika Syah..” sapa laki-laki itu.
Sepertinya aku pernah melihat dia, mukanya mirip sama Revan hanya saja Revan itu lebih manis.
“thank you, brother..” jawab Revan sambil nyengir.
Brother? Jangan-jangan ini orang..
“kak Rendi, kenalkan ini temanku dari Jakarta. Namanya Aditya Firdaus..” ujar Revan sambil menepuk bahuku.

Ini lah orang yang menjinakan Pandawa Hitam? Rendi tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Kalau dilihat sekilas tidak ada tanda-tanda bahwa dulu dia pernah mengalahkan pimpinan kelompok anak nakal yang legenda.
“woii, kakak gue ngajakin salaman tuh! Bengong aja lu kaya kambing!” seru Revan mengagetkanku.
Buru-buru kusambut jabatan tangan Rendi ini. Rendi cuma tersenyum kecil saja, dalam jabatan tangannya bisa kurasakan ini orang bukan sembarang orang. Dia punya tenaga.
“udah! Sesama kambing dilarang saling mendahului!” ujar Rendi.
Oalah! Dia sama saja seperti Revan. Abang-ade emang gak akan jauh-jauh deh sifatnya.
“udah ah mainan kambingnya, sholat yuk! Kayaknya udah maghrib..” celetukku kepada mereka.
“oh iya!” gumam mereka berdua barengan.

Kami langsung menuju sebuah ruangan luas yang biasa dipakai keluarga ini untuk sholat. Di sebelah kiri pun ada tempat wudhu dengan keran-keran yang berjejer persis seperti yang di masjid. Kerannya juga bukan sembarangan keran lagi, kepala kerannya seperti terbuat dari batu marmet cokelat yang matching dengan warna keramik tempat wudhu. Ku lirik karpet sholatnya, sepertinya bukan karpet sembarangan. Pasti ini diimport dari Arab, motifnya khas Timur tengah banget. Dan sebuah lampu gantung kristal yang cantik, atmosphernya benar-benar seakan di masjid.
“dit, adit.. kebiasaan bengong lu itu mesti ditanggalkan. Belajarlah fokus ama Dedi Cobuzier,” kelakar Revan lewat di depanku. Dan entah sejak kapan Rendi sudah berdiri di tempat imam, ia tersenyum kepadaku sambil memberi kode agar segera wudhu.

1 komentar: