Senin, 21 Maret 2016

Adikku Alvin Christian - Part 3

Rahasia Alvin

Aku masih penasaran sebenarnya. Karena itu keesokan harinya aku pergi ke rumah Ayah yang di Jakarta Pusat. Kalau menurutku kehidupan Ayah sekarang betul-betul makmur. Posisinya di kantor sudah oke, gaji sangat menunjang dan fasilitasnya lengkap. Ayah tak pernah lupa dengan tanggung jawabnya kepadaku, kata Ibu biaya pendidikan dan sehari-hariku didonasi dari Ayah. Hanya saja Ayah hampir tak pernah bertemu denganku semenjak aku mondok. Aku memasuki kompleks perumahan elit dimana Ayah tinggal, kecepatan motor kuturunkan biar lebih santai sambil mencari-cari nomer rumahnya. Hari minggu begini bagi Ayah adalah saat istirahat di rumah. Prinsip itu yang menjadi modal keyakinanku bahwa Ayah ada di rumah. Tak terlalu jauh dari gerbang kompleks akhirnya ketemu juga rumah Ayah. Sebuah rumah tingkat dua yang desainnya simpel tapi terlihat menarik dengan halaman yang luas.

Aku turun dari motor kemudian menekan bel rumah. Deringnya seperti bunyi lonceng raksasa yang menggema-gema. Belum tampak tanda-tanda pemilik rumah keluar, kutekan sekali lagi dan lebih lama. Hingga akhirnya seorang pria setengah baya keluar dari rumah, aku menangkap gelagatnya yang sepertinya kesal jam istirahatnya diganggu. Pria itu mengenakan kaos oblong polos dan celana pendek selutut kusam dengan sendal jepit butut. Penampilan yang tak pernah berubah. Aku nyengir saat Ayah sudah berada di jarak dekat. Mukanya yang tadinya kelihatan bete langsung berubah saat melihatku.
“Adit…?” panggilnya sambil buru-buru membukakan pintu gerbang.
Aku memeluk sosok yang ada di hadapanku itu, orang yang aku rindui beberapa tahun terakhir ini. Setelah itu kumasukan motor ke area gerbang, dekat sebuah pohon rindang. Ayah langsung mengajakku masuk.
“udah gede banget ya sekarang, makin ganteng dan berkharisma!” puji Ayah sambil menatapku dari atas kebawah. “Ayah inget dulu kamu masih suka minta beliin mobil-mobilan, minta digendong kalo lagi jalan, minta beliin es krim kalo ada tukangnya lewat sampai-sampai tukangnya suka Ayah suruh matiin suara jingle nya kalo mau lewat rumah. Tiap tidur pasti selalu minta Ayah bacain cerita, tapi kamunya malah meleng kemana-mana…” Ayah mulai berkicau ini itu mengingat masa lalu. Aku cuma cengar-cengir mendengarkan dan pura-pura mendengarkan.

Aku memasuki ruang depan rumah. Ruangan tersebut didesain dengan jendela-jendela besar yang menghadap taman. Cahaya matahari langsung masuk dari sana sehingga terasa teduh. Selain itu Ayah benar-benar tau caranya mengatur posisi perabotan sehingga terlihat pas dan enak dilihat. Di dinding aku hanya melihat dua foto Ayah ukuran 10r yang terpajang serta sebuah lukisan artistik besar : seorang laki-laki yang bertelanjang dada berdiri gagah di atas sebuah bukit yang dikelilingi jurang saat matahari terbit, jurang tersebut dilukiskan begitu indah dan memiliki kesan istimewa. Kalau kuperhatikan wajah laki-laki di lukisan itu mirip denganku. Aku perhatikan terus lukisan itu karena seperti ada pesona yang menarik perhatianku. Entah kenapa perasaanku jadi teduh melihat lukisan itu terutama gambar jurang saat matahari terbit itu.
“ADIT!!” suara Ayah memanggilku agak keras, spontan aku menoleh.
“eh iya yah?” jawabku bego,
Ayah menyadari aku tadi sedang memperhatikan lukisannya seratus persen, beliau melirik lukisan itu kemudian menatapku.
“laki-laki yang di lukisan itu… mirip Adit yah?” ujarku spontan sambil menunjuk lukisan itu.
Ayah menyeringai kepadaku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Mendadak aku jadi malu sendiri. Ayah pun masuk ke dapur untuk membuatkan minuman dan cemilan, sedang aku duduk-duduk di sofa ruang depan. Di meja kecil sebelah sofa yang kududuki ada sebingkai foto, ternyata itu Ayah sedang menggendongku waktu masih bayi. Foto ini belum pernah kulihat di album foto keluarga. Wajah Ayah begitu bahagia dan tampak bangga menggendongku sebagai anak pertamanya. Terlalu sedikit kenanganku bersama Ayah.

“selamat ya dit kamu tembus UI.” Ujar Ayah tiba-tiba membuyarkan konsentrasiku.
“i..iya yah, berkat kerja keras dan doa Ayah juga,” sahutku.
“kamu mau nikah muda ya sama pacar kamu?” tanya Ayah tiba-tiba.
Aku menelan ludah mendengar pertanyaan Ayah itu. Rasanya belum siap kuceritakan hal itu kepada Ayah. Aku mengambil segelas sirup yang sudah Ayah buatkan dan meminumnya.
Rupanya Ayah masih menatapku dalam-dalam. “kamu yakin dit, mau nikah muda?”
“iya yah,” jawabku dengan nada gugup.
“kamu gak sayang ama masa muda kamu? Cuma sekali lho dit! Saat dimana kamu membiarkan jiwa mudamu menemukan jati diri, membentuk karakter kamu dengan bergaul dengan banyak orang serta mencari pengalaman. Banyak hal yang mesti kamu pelajari sebelum masuk ke tahap rumah tangga yang penuh tanggung jawab,”
Kata-kata Ayah dalam sekali. Tapi jujur tekadku sudah bulat, aku hanya menganggukan kepalaku.
“tau gak? Kamu itu kayak Ibu kamu, kalo dikasih tau ngangguk-ngangguk doank.” Ujar Ayah kemudian menenggak sirup jatahnya sampai tinggal seperempat gelas. “dia juga cerita pengen jadi guru di sekolah terpencil di daerah pelosok. Mimpi ibu kamu sejak dia masih muda,”
Dia juga cerita? Hmm ini kerjaan Ibu, aku membatin.

Ayah pun memulai obrolan dimulai dari obsesi Ibu itu, karena sejak kecil Ibu memang dididik untuk mememiliki jiwa sosial yang tinggi. Dan menjadi guru yang membangun generasi muda adalah salah satu impiannya. Ibuku sejak muda sudah menyusun manufer-manufer serta blue print untuk mewujudkan mimpinya tapi sayang pihak orang tuanya menghendaki puteri satu-satunya mereka untuk menikah dengan lelaki pilihan mereka yakni Ayahku. Wah, kasian juga Ibu kalau kupikir-pikir. Tidak lupa Ayah menanyakan tentang Alvin, adik angkatku yang sudah tinggal bersamaku dan Ibu selama beberapa tahun terakhir ini. Selama ini Ayah belum pernah bertemu Alvin secara langsung, beliau hanya mendengar tentang Alvin dari cerita Ibu. Mengenai alasan Alvin diangkat menjadi bagian keluarga kami Ayah sudah tau. Tak lupa Ayah bertanya-tanya tentang Lena, calon menantunya. Dan dengan semangat aku bercerita. Dari warna favorit, kebiasaan waktu bangun tidur, hobi sampai cita-cita Lena. Ayah mendengarkan dengan penuh perhatian. Beliau tidak boleh sampai ketinggalan up to date tentang informasi calon istri puteranya ini, tapi menurutku akan lebih bijaksana jika Ayah bertemu langsung. Aku juga bilang bahwa rencana pernikahanku ini hanya diketahui aku, Lena, serta Ayah-Ibu. Aku tidak tau apakah Lena bercerita kepada orang tuanya tapi yang pasti aku tak mau sesumbar menceritakan kesana kemari. Biar jadi kejutan nanti. Untuk hal yang ini Ayah setuju denganku.

Seharian itu aku bersama Ayah, menghabiskan waktu dalam kegiatan Ayah-anak yang sempat absen dari kehidupan kami. Nonton pertandingan bola di TV satelit, nonton film horor, bermain PS dan bereksperimen membuat resep masakan baru. Menyenangkan sekali. Ternyata Ayah belum lupa bagaimana menjadi seorang ayah, sampai-sampai aku lupa tujuanku datang kesini. Tak apalah toh aku senang sekali. Tak terasa waktu menunjukan pukul lima sore, kupikir sudah waktunya aku pulang ditambah lagi tadi aku tidak pamit kepada Ibu.
“kamu naik mobil Ayah aja, nanti si motor Ayah suruh orang lain buat nganter ke rumah,” ujar Ayah meraih kunci mobilnya dan memakai jaket.
Aku menurut saja. Ayah mengeluarkan sebuah mobil kijang biru keluaran tahun 2000, aku agak tercengang melihatnya. Masak sih Ayah tidak membeli mobil yang bagusan, aku yakin dengan gajinya beliau bisa membeli mobil sekelas Avanza meskipun melalui jalur kredit.
“Jakarta itu udah sumpek dit!” jawab Ayah saat kutanya. “beli mobil baru sama aja nambah volume kemacetan. Ayah aja udah prihatin ama kota kelahiran Ayah ini, tak masalah baru atau second yang penting si mobil bisa menjalankan tugasnya. Lagi pula Ayah gak suka mobil yang kesannya mewah,”
Enggak Ibu ataupun Ayah, orang tuaku benar-benar orang yang pantas kukagumi.

Selanjutnya aku dan Ayah lebih banyak diam-diaman di mobil, aku tau kalau Ayah tidak terlalu suka mengobrol saat menyetir, Ayah lebih senang fokus ke depan meski beliau tidak akan menolak kalau diajak bercengkrama sekali-sekali. Aku sendiri banyak melihat ke pemandangan luar, kebiasaan dari kecil yang tak pernah hilang. Sekitar setengah jam tiba juga di rumah. Sebelum aku turun Ayah menyodorkan kepadaku sebuah ATM dengan kertas kecil diatasnya.
“ini, kamu boleh pakai untuk kebutuhan kamu..” ujar Ayah. “tiap bulan pastinya akan Ayah isi, mudah-mudahan cukup. Maaf baru ini yang bisa Ayah kasih buat kamu,”
Aku menerimanya sambil tersenyum, “terima kasih, yah..”
“kalau nanti Ibu sudah berangkat, jangan ragu buat minta Ayah datang. Okay? Ayah masih tetap ayah kamu, dit. Sampai kapanpun,”
Aku memeluk Ayah dengan erat sambil menggumamkan terima kasih berulang kali.

Mobil Ayah melaju meninggalkanku sendiri, aku menghela nafas sambil mengucap syukur. Debt Card di tanganku ini adalah sebuah rejeki yang patut untuk kusyukuri. Aku masuk ke rumah sambil menghafal nomer pin yang tertera di kertas. Rumah tampak sepi bahkan lampu ruangan belum dinyalakan. Sepertinya Ibu dan Alvin sedang pergi ke supermarket buat belanja bulanan. Aku pun menyalakan penerangan dan menutup jendela-jendela yang masih terbuka. Kulihat pintu kamar Alvin menjeblak dan jendela di kamarnya terbuka. Aku langsung masuk ke kamar itu dan menutup jendelanya. Desir angin sore berhembus masuk melewati celah jendela membangkitkan rasa kantukku. Hoaam, aku menguap. Apalagi seharian ini aku terus beraktifitas bersama Ayah. Rebahan sebentar mungkin pilihan yang bagus, tanpa buang waktu aku membanting tubuhku ke ranjang Alvin. Nyaman sekali, inilah mungkin yang dinamakan kenikmatan hidup. Sekecil apapun patut disyukuri. Aku meregangkan otot-otot yang kaku dengan menggerakan tubuhku. Tiba-tiba tubuhku merasakan sebuah benda lain dibalik selimut, spontan aku bangun dan mulai meraba-raba. Sebuah buku yang kutemukan, benda yang sempat mengusik kenyamananku. Buku berwarna cokelat tua dengan garis putih di pinggir covernya. Tak ada tulisan atau hiasan apa-apa lagi sehingga buku itu nampak tak menarik untuk dibuka.

Namun sifat penasaranku kumat, kubuka saja buku itu. Lembar pertama kosong, kedua ketiga dan seterusnya. Aku terus membolak balik hingga ketemu satu lembar yang terisi:

Alvin Christian
Di pojok kanan atas halaman. Ini sudah pasti milik Alvin. Selembar longkap yang kosong dan di lembar selanjutnya baru halaman-halaman yang terisi. Di setiap lembar tertera tanggal, pasti ini buku harian. Aku adalah orang yang sangat menghargai privasi, tapi rasa penasaranku mengesampingkan prinsipku. Mungkin saja aku bisa temukan alasan Alvin membenci Lena, mumpung Alvin belum pulang.

Viera – rasa ini (Sebuah Kutipan)

Kusuka dirimu mungkin aku sayang
Namun apakah mungkin kau menjadi milikku
Kau telah menjadi menjadi miliknya
Namun salahkah aku bila kupendam rasa ini

Syairnya dimodifikasi untuk menyesuaikan kondisi. Sepertinya Alvin jatuh cinta kepada seseorang, kubolak-balik lagi mencari tulisan yang lebih menarik.

Kau tau dee,
Bagiku cinta adalah kutukan
Menyiksaku dari dalam dan membunuhku perlahan
Semakin ku menjauh semakin dia mendekat
Seperti jerat setan yang terus menerus mengikatku
Ku akui aku tak bisa menampiknya namun aku tak mungkin menerimanya
Aku ingin menjerit kepada Tuhan
Mengapa harus seperti ini
Mengapa aku harus mencintai kakakku sendiri
Orang yang paling berarti dalam hidupku
Aditya Firdaus…

Mendadak keringat dingin melandaku, nafasku terasa sesak dan tercekat seperti orang terkena serangan asma. Aku membolak-balik lembaran secara acak.

24 Juni

Hari ini kak Adit wisuda Akhirnya ia kembali ke rumah
Aku rindu sekali kepadanya
Seharusnya hari ini menjadi momen yang paling berharga bagiku
Tapi semuanya hancur saat kak Adit memperkenalkan cewek itu
Lena Humairoh,
Rasanya hatiku seperti dilempar ke jurang terdalam dan tergelap

30 Juni

Dee, aku terus merenung
Mengapa harus sesulit ini jalan hidupku
Aku ingin hidup seperti lelaki pada umumnya
Ngeliat cewek cantik, ngajakin kenalan trus jalan..
Selanjutnya PDKT akhirnya jadian, dan nikmatin masa remaja
Kalo udah mantap nikah, nanti punya anak, nikmatin menjadi orang tua
Membesarkan anak, ngedidik anak hingga kelak ia dewasa
Aku ingin seperti itu dee
Tapi…

Aku menutup diary itu, merenung dan terus berpikir. Mengapa harus aku? Aku masih terdiam di kamar Alvin dan tetap memegang buku itu. Pikiranku kacau, aku harus bertanya langsung kepada anak itu.

Terdengar suara pintu depan terbuka, kulihat dari daun pintu sosok Alvin lewat sambil membawa kantung plastik besar berisi belanjaan. Aku menunggu sosok satu lagi yakni Ibu. Tapi tak kudengar langkah atau tanda-tanda kehadiran beliau. Tak lama Alvin muncul dari ambang pintu kamarnya.
“eh kakak, lagi ngapain di kamar Alvin?” tanyanya sambil tersenyum, ia melepas jaket yang dikenakannya.
Aku masih diam dan menatap lurus ke arahnya. Alvin mulai grogi kuperlakukan seperti itu, ia melirik ke arah benda yang kupegang. Mendadak wajahnya pucat pasi. Aku berdiri dan mendekat kearahnya, Alvin perlahan mundur seiring aku makin dekat dengannya hingga ia terpojok di tembok. Aku menatapnya dengan dingin sambil menunjukan buku itu tepat di depan wajahnya. Sebenarnya perasaanku sudah campur aduk antara kaget, kecewa, benci dan marah. Adikku yang selama ini aku banggakan, yang sangat kusayang dan sering kumanja itu ternyata.. gay. Ingin kumuntahkan semua kepada Alvin, sedang buku itu kupegang dengan erat hingga covernya sedikit lecek. Alvin tampak pasrah dengan apapun yang akan kulakukan.

Di saat marah seperti ini anehnya akal sehatku masih bisa menahanku. Memutihkan api hitam di hatiku. Akhirnya aku membanting keras buku itu dan meninggalkan Alvin sendirian tanpa berkata apa-apa. Aku bisa merasakan Alvin menangis pelan. Tapi aku tak peduli, kutinggalkan dia. Aku ingin pergi, pergi dari rumah. Pergi sejauh mungkin.

Ibu tampak di ambang pintu depan membawa bungkusan.
“mau kemana dit?” tanya Ibu .
Aku hanya diam saja melewati beliau dan pergi melengos, Ibu terdengar memanggil-manggilku tapi aku tak hiraukan. Tujuanku adalah rumah Ayah. Setidaknya untuk menenangkan diri dulu. Kutelpon Ayah dengan handphone yang kupinjam dari seorang penjaga warung. Setengah jam kemudian Ayah muncul dengan mobilnya. Aku berbisik kepada Ayah minta uang dua puluh ribu buat penjaga warung yang berbaik hati meminjami ku handpnone.
“makasih ya bang,” ujarku sambil melakukan salam tempel kemudian masuk ke mobil.

***

“ada apa dit? Tiba-tiba minta Ayah jemput kamu?” tanya Ayah setibanya kami dirumahnya.
Aku menggelengkan kepala, berharap Ayah tidak menanyakan itu dulu untuk saat ini. Aku ingin tidur, kepalaku rasanya terlalu berat untuk memikirkan hal ini.
“dit..” ujar Ayahku sekali lagi.
“Adit ngantuk yah, boleh tidur gak?” sahutku sambil menguap pura-pura tapi malah jadi menguap betulan.
Ayah pun mengerti isyaratku meski sebenarnya beliau ingin penjelasan duduk perkaranya. Ayah akhirnya membawaku ke lantai dua, menuju sebuah kamar dekat balkon seberangan dengan kamarnya. Kata Ayah kamar itu memang buatku. Tanpa babibu aku langsung menjatuhkan diri ke ranjang dan terlelap seketika.
Berhubung Ayah bukan tipe orang yang mudah menyerah, beliau pun menelpon Ibu.

Aku bisa mendengar sayup-sayup percakapan mereka, tapi aku tidak peduli. Aku ingin tidur dan kemudian tertidurlah.

Aku terbangun dari tidur, kulirik jam dinding: jam satu malam. Aku menguap sekali dan seketika seluruh kantukku pudar. Aku seratus persen sudah tidak mengantuk. Ah sial! Masih jam satu lagi? gumamku dalam hati. Kuputuskan untuk ke ruang tamu, nonton TV ; aku sempat melihat TV digital di ruang santai lantai dua. Ruang santai tersebut tepat di antara kamarku dan kamar Ayah dengan jendela yang menghadap balkon. Ruangan itu agak redup hanya dengan diterangi lampu tidur. Ada kulkas kecil di sudut ruangan yang memudahkan kalau ingin ngemeal. Ayah betul-betul pintar mengatur ruangan. Tak lupa kucomot sekotak donut dan sebotol susu, nah cemilan untuk nonton sudah lengkap. Sekarang aku mencari remote TV, dengan penerangan seadanya yang lumayan terang aku masih agak “ngeraba”. Setelah beberapa menit muter-muter ketemu juga remote nya yang ternyata di buffet kecil sebelah sofa. Aku menepuk dahi merenguti kebiasaanku yang kurang fokus. Di dekat remote ada sebingkai foto. Tapi sekarang aku mau fokus nonton dulu, pikiranku yang masih agak blank ini mesti diisi dengan hiburan. Aku lanjut nonton film. Dua puluh menit berlalu. Hoaamz! Aku menguap lebar meski sebenarnya film nya seru. Aku jadi seperti tak ada antusias2nya untuk nonton. Sesekali kulahap cemilannya dengan gerakan kunyahan yg tidak niat.
Aku menyambarnya untuk melihat lebih dekat.

Mataku mulai celingak-celinguk sesekali mencari objek yang menyenangkan. Foto di atas buffet itu sepertinya cukup menarik. Kusambar foto itu dan kuperhatikan tanpa berkedip. Di foto itu terpampang sesosok lelaki dengan senyum lebar nan bahagia menggendong bayi yang montok. Berdasarkan wajahnya yang cukup mirip denganku maka aku berkesimpulan lelaki itu adalah Ayah dan bayi yang digendongnya adalah aku. Sepertinya foto itu berarti sekali, kuamati bingkai fotonya bukan sembarangan bingkai. Sepertinya bingkai foto yang berkualitas. Aku jadi nyengir sendiri, rupanya Ayah tidak pernah lupa denganku. Sifat penasaranku mulai kambuh, kubuka laci di buffet. Di dalamnya terdapat sebuah album foto dengan letter A di cover depannya, sesuai dugaanku. Halaman-halaman pertama masih berisi foto jadul yang hitam putih dan yang berwarna. Ayah tampak lucu dengan setelan baju tahun 70-an dan wajahnya mirip sekali dengan aku. Kubolak-balik lagi halaman selanjutnya. Banyak sekali foto Ayah dengan temannya dan beberapa foto Ayah dengan keluarganya. Baru kemudian foto-foto akad nikah Ayah dan Ibu. Di halaman-halaman terakhir terhampar foto-foto aku, Ayah dan Ibu. Foto ketika kami sekeluarga liburan ke Dufan & Ancol, foto ulang tahunku yang ketiga dan lain-lain. Baik Ayah ataupun Ibu wajahnya tampak bahagia, apalagi aku yang waktu itu masih kecil, di umur segitu yang kukenal hanyalah kebahagiaan.

Foto-foto ini pasti the best momment bagi Ayah. Kusimpan kembali album itu di laci buffet. Tiba-tiba muncul di pikiranku sebuah pertanyaan, kenapa Ayah dan Ibu memilih bercerai ? Pertanyaan yg hingga saat ini tak pernah kutanyakan. Aku termasuk orang yg menghargai privasi Ayah dan Ibu tapi sekarang aku jadi penasaran. Kalau kulihat foto-foto tadi sepertinya kehidupan Ayah dan Ibu begitu bahagia. Aku merenung sendirian hingga kuabaikan film yg sedari tadi sudah mulai. Dalam pikiranku mulai bermunculan berbagai spekulasi. Mungkinkah ada orang ketiga? tapi kalaupun ada orang ketiga mestinya sudah sejak lama berita pernikahan Ayah kudengar, tapi Ibu masih baik2 saja dengan Ayah. Apakah Ayah menyembunyikannya?

Kepalaku berasap dengan ribuan dugaan terhadap Ayah. Tidak baik kalau aku hanya menduga-duga, aku harus mencari tau. Kumatikan TV dan kutinggalkan cemilan malamku, aku mengendap-endap masuk ke kamar Ayah. Ayah tampak tertidur pulas di ranjangnya yg ukuran King Size. Aku melirik ke meja samping tempat tidur, terdapat notes, kacamata dan ponsel tergeletak tak berdaya. Kupilih ponsel dan diam-diam kubawa ke luar kamar. Ponsel itu mulai kuotak atik isinya, dimulai dari SMS, log panggilan hingga galeri foto. Tak ada tanda-tanda SMS mencurigakan. Foto-foto yang tersimpan pun hanya gambar-gambar pemandangan alam dan foto Ayah dan teman-teman kantornya. Hasilnya nihil, aku tidak menememukan apa2. Sial! Aku masih ingin mencari tau tapi tiba2 kepalaku pening sekali. Mungkin diriku sulit menerima hal yang sama sekali tak terlintas di pikiranku selama ini. Perlahan dan tanpa sadar aku mulai tertidur di tempat, masih dengan ponsel Ayah kugenggam.

Sinar matahari menembus celah jendela yang terbuka lebar, seakan mencolekku dengan hangatnya yang khas dan memaksaku untuk bangun. Mataku terbuka perlahan, langit-langitnya kok beda? Aku yang masih dalam proses penyatuan nyawa masih termenung menatap langit-langit. Tunggu dulu tunggu dulu, di depan kamar Ayah kan gak ada jendela tapi seberangan sama kamarku? Tujuh puluh lima persen nyawa terisi drastis. Tubuhku bangkit ke posisi duduk, aku sedang berada di kamarku. Oh tidak! Ayah pasti tau tentang handphone nya yang ku utak-atik.
“sudah bangun, dit?” suara Ayah tiba-tiba di ambang pintu, mengagetkanku yang sedang asyik dalam lamunan.
Ayah menatapku setengah serius. Beliau memberi isyarat agar aku ikut dengannya. Tanpa babibu aku langsung melompat dari tempat tidur mengikuti Ayah berjalan. Beliau membawaku ke ruang tamu, dan disana tampak sosok seseorang duduk ; sepertinya memang sedang menanti kedatanganku: Ibu. Beliau menatapku dengan serius, membuatku agak tegang. Aku menelan ludah. Ayah menyuruhku duduk di sebelah Ibu.

“gak perlu Ibu jelasin, kamu pasti sudah tau kan apa yang akan Ibu bicarakan sama kamu?” ujar Ibu memulai pembicaraan.
Aku menganggukan kepala.
“Ibu sebenarnya sudah lama tau tentang Alvin dan perasaannya ke kamu,” lanjut Ibu.
Sekarang aku kaget, kok bisa-bisanya Ibu sembunyikan hal itu dariku? Sebelum aku menyerang Ibu dengan rentetan pertanyaan Ibu sudah mendahului memegang pembicaraan ini.
“jujur saat Ibu tau kenyataan itu, Ibu sangat terpukul dan kecewa. Sama seperti yang kamu rasakan sekarang, tapi Ibu pikir lagi. Alvin sudah Ibu anggap sebagai anak Ibu sendiri, Ibu sayang sama dia. Apakah Ibu tega harus mengusir dia? Apalagi Alvin masih sekolah, Ibu tidak mau pendidikannya jadi terganggu dan masa depannya jadi berantakan. Ibu ingin memberi dia kesempatan. Kesempatan agar dia kembali ke jalan yang lurus, toh tak ada salahnya kan? Karena itu Ibu masih membiarkan dia tetap tinggal, Alvin juga berjanji kepada Ibu tak akan macam-macam. Dan hingga detik ini dia masih memegang janjinya.”
“Ibu udah menyembunyikan kenyataan mengerikan itu dari Adit! Dan sekarang Ibu juga ngebela Alvin? Ibu gak mikirin Adit apa?” cecarku tanpa mempedulikan kata-kata Ibu tadi. “Ibu tau kan kaum penyuka sesama jenis di zaman Nabi Luth? Gak ada kaum lain di muka bumi yang lebih hina dari mereka saat itu karena perilaku menyimpang!”

Ibu terdiam sesaat menatapku kemudian beralih ke Ayah. “Alvin masih empat belas tahun. Dia masih anak-anak, masih awam juga dengan dunia yang begitu, kita sebagai keluarga terdekatnya semestinya membimbing dia kembali ke jalan yang benar,”
“jujur, Adit paling ngeri sama yang namanya homo bu! Soalnya dulu di pesantren Adit ada orang-orang yang kaya gitu,” kelitku sambil membuka kenangan lama yang tak pernah kuceritakan kepada siapapun. “Kalo Ibu pengen ngebimbing Alvin, lebih baik Ibu aja! Adit ngeri! Mendingan menghadapi anjing rabies ganas daripada menghadapi homo!”
“tapi pasti Alvin akan sedih karena kamu ngejauhin dia,” ujar Ibu lirih.
“biarin! sampai dia sembuh baru Adit mau ketemu dia,” sahutku tanpa mempedulikan perasaan Alvin. “ atau mungkin mau ketemu dia.”

Ayah mendadak menepuk pundakku (beliau dari tadi diam saja karena kurang tau tentang duduk perkara masalah ini). Aku spontan kaget.
“sehina-hinanya kaum Nabi Luth, apa pantas kita seenak hati kita menghina mereka? Atau tidak memberi kesempatan untuk berubah?” tanya Ayah dengan nada bicara yang agak dingin.
Aku terdiam. Sulit menjawab pertanyaan tersebut, padahal jawabannya hanya ‘Iya’ atau ‘tidak’. Ayah sepertinya ingin menguatkan argumen Ibu, kulirik Ibu sebentar: beliau justru terlihat agak pucat.
“bahkan Nabi aja gak pernah menghina atau tidak memberi kesempatan seseorang untuk bertaubat, ya ‘kan?” sambung Ayah ; memaksaku untuk mengangguk setuju. “kita bukan Tuhan, dit. Dan kita bukan makhluk yang sempurna. Masih berlumur dosa dan kesalahan. Meskipun yang namanya gay itu adalah laknat, tapi Ayah masih lebih setuju dengan pendapat Ibu kamu. Berikan kesempatan untuk berubah.”
Dalam sekali kata-kata Ayah. Yang kemarin aku lihat adalah sosok Ayah yang menyenangkan dan penuh selera humor.
“kamu punya hak untuk tidak suka dengan kaum homo, tapi kamu sama sekali tidak berhak jika merasa bahwa kamu lebih suci dari mereka. Kalau kamu merasa lebih baik, bimbing mereka kembali ke jalan yang lurus!”
Kata-kata Ayah lantang, tegas dan bijaksana. Tapi aku merasakan ada aura yang berbeda saat Ayah mengatakannya, semua! Dari awal sampai akhir.

Kulirik Ibu, wajah beliau masih agak pucat tapi kelihatan beliau tidak melewatkan satu pun kata-kata Ayah tadi. Aku yakin seharusnya Ibu bisa mengatakan hal yang sama seperti Ayah. Tapi kalau Ayah yang bilang, kesannya agak beda.
“kasih Adit waktu untuk menenangkan diri. Disini, di rumah Ayah.” Ujarku kemudian.
Baik Ayah ataupun Ibu mengangguk setuju. Mereka paham aku butuh waktu untuk berpikir dan mengembalikan akal sehatku. Ibu pun pamit pulang, Ibu tak ingin membiarkan Alvin sendirian di rumah. Ayah memutuskan untuk mengantar Ibu sampai rumah dengan mobilnya. Tak masalah bagiku, sendirian di rumah ini. Menyendiri itu menyenangkan.

Ku ambil ponselku beserta earphone nya, kemudian aku menyambangi beranda dekat ruang santai lantai dua yang menghadap langsung taman. Kupilih sebuah kursi malas sebagai singgasana sambil kusetel lagu-lagu keras. Kalau sedang galau atau menenangkan diri aku cenderung lebih suka mendengarkan lagu yang genre nya keras macam Avenged Sevenfold, Dream Theater atau apalah yang penting melodinya menghentak. Suasana di beranda ini nyaman sekali dan teduh. Apalagi pemandangan langsung ke taman yang hijau dan asri langsung di depan mataku. Kulihat sepasang kupu-kupu terbang, hinggap dari satu bunga ke bunga lainnya, dengan gerakan yang anggun. Luar biasa sekali ciptaan Tuhan itu.

Tiba-tiba aku jadi berpikir, kenapa Tuhan masih membiarkan orang-orang macam Alvin berkeliaran dan merajalela di muka bumi ini? Yang aku tau gay itu sekelompok lelaki yang haus akan seks dan suka gonta-ganti pasangan. Banyak wanita di muka bumi ini, kenapa mesti ama yang sejenis? Kurang eksotis apa sih makhluk Tuhan yang bernama wanita itu? Kasihan kan? Kalau laki-laki pada suka sesama jenis, pasti populasi manusia di muka bumi ini akan punah.

Aku bangkit dari singgasanaku, menuju kulkas untuk sebotol susu segar. Tenggorokanku agak kering sejak bangun tidur tadi dan belum sempat minum. Alvin tidak terlalu merespon kepada Vita, tapi dengan Feri pun biasa-biasa saja. Mungkin benar yang dikatakan Ibu? Alvin memegang janjinya untuk tidak macam-macam. Yeah! Selama ini dia memang tidak pernah macam-macam, dia tetap adik laki-lakiku kalem tapi manja kalau di hadapanku. Di sekolah dia punya prestasi dan image anak baik-baik. Setauku sih remaja seumurnya sedang bergejolak untuk mencari jati diri dan mencoba hal-hal baru. Membiarkan naluri dan jiwa mudanya bebas.

Kutenggak sebotol susu dengan pintu kulkas yang masih terbuka, tak kusangka habis sampai setengah botol. Kuletakan kembali ke tempatnya dan aku kembali ke beranda. Dering ponselku menghentikan langkahku, buru-buru kubalik badan ke kamar. Rupanya ada SMS dari Fandi, langsung saja kubaca.

From: Fandi Gunawan
Lg dmn law bro?
W k’os law g da
Kt ade law gy d’os bokap?
Kmpul yok bro! d’os Tio
Jam7
Reply Yes for join confirmation

Kemudian kubalas Yes. Lumayan ketemu teman-teman bisa menyemangatiku lagi. Sudah lama juga sih tidak ketemu mereka sejak mulai kuliah sekalian melepas kangen. Masih panjang waktu menuju jam tujuh, aku memutuskan untuk menonton TV satelit milik Ayah yang semalam sempat kutinggalkan. Banyak acara-acara menarik yang sangat tepat untuk membunuh waktu. Dan aku akhirnya keasyikan nonton.

Jam dua belas Ayah pulang, kudengar suara mobilnya masuk ke garasi. Lama juga beliau mengantar Ibu (semoga aja CLBK) Tak lama Ayah muncul membawa sebuah bungkusan makanan: fried chiken.
“maaf ya kalo lama, tadi ada urusan sebentar.” Ujar Ayah sambil meletakan bungkusan makanan itu di depanku.
“urusan apa?” tanyaku pura-pura tak acuh.
“tadi Ayah dan Ibu bicara sama Alvin, kasih dia pengertian dan semangat. Ayah dan Ibu janji akan selalu ada untuk dia serta men-suport dia,”
Kata-kata itu seakan menyindir dan terasa menusuk hatiku langsung. Aku pura-pura cuek sambil membuka bungkusan makanan itu. Perutku sudah berkonser ria karena mendeteksi keberadaan makanan.
“Alvin minta maaf sama kamu,” tambah Ayah di sela-sela kegiatan makanku.
“kenapa dia gak ngomong langsung?” sahutku tanpa melihat ke Ayah.
“mana mau kamu nerima telpon dari dia, ya kan?”
“hmmm,” aku terdiam sebentar: menghentikan kegiatan makanku. Termenung menatap seporsi ayam goreng dengan nasi di hadapanku, tapi pikiranku bukan tertuju kesitu. Ada jeda diantara kami selama beberapa saat.
“Adit makan ya..” ujarku mencoba lepas dari keheningan ini. Dan aku masih belum menatap Ayah.
Kudengar Ayah menghela nafas pelan, “yasudah, kamu makanlah..”
Ayah bangkit dan pergi ke kamarnya, pintunya dibiarkan terbuka. Aku jadi tidak enak. Makan pun jadi setengah hati dan terasa hambar.

Alarmku ponselku berbunyi dengan nyaring, mengagetkanku yang sedang membaca buku. Note-nya bertuliskan:

Go to Tio’s home
Nongkrong!
Be prepare yourself now!

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Jam sudah menunjuk pukul enam lewat lima belas, aku lompat dari tempat tidur untuk melakukan persiapan. Kusambar handukku menuju kamar mandi. Cukup setengah jam buatku untuk mandi dan bersiap-siap. Aku bukan tipe yang ribet dalam memilih pakaian ; yang penting rapi, sopan dan aku suka. Tanpa menyisir rambut aku langsung mengambil kunci motor dan berpamitan dengan Ayah yang sedang membaca koran di meja makan. Setelah itu langsung berangkat. Si Jupiter memang tak pernah mengecewakanku. Cukup dua puluh menit perjalanan (melewati kemacetan yang menjadi legenda Jakarta) dan akhirnya aku tiba di rumah Tio. Disana baru ada Fandi sang jarteller sedang Karim memang terkenal hobi ngaret. Aku langsung duduk di sofa dan menyambar setoples kue.
“mana Karim?” tanyaku. Sebuah pertanyaan yang konyol dan tak perlu di jawab.
“lagi mungutin sampah di kolong tol Pancoran,” jawab Tio berkelakar.
“kok lu gak ikutan?” sahutku tak mau kalah.
“Karim kan calon duta kebersihan Indonesia, jadi dia mesti menunjukan kepeduliannya dengan melakukan kegiatan peduli lingkungan macam itu. Sedang gue cuma tim sukses yang tugasnya memantau dan mengatur agenda kegiatan dia itu,”
“Berat bahasa lu!” timpal Fandi tiba-tiba. “kayak tukang DPR ngeles dari tuduhan korupsi,”
Tio tertawa terbahak-bahak. Kalau aku menyebutnya: lebay.
“oh iya, ngomong-ngomong ada apaan nih pada ngajakin ngumpul?” tanyaku tiba-tiba.
“ya kumpul-kumpul aja, mempererat silaturrahmi yang sempat renggang karena kesibukan masing-masing,” celetuk Fandi mulai meninggalkan kesibukannya yang dari tadi main handphone. “emang lu gak rindu ama temen-temen lu ini?”
“kangen. Kangen banget. Apalagi ama Ipad lu. Kayaknya gue lebih kangen Ipad lu, hahaha!” jawabku seenaknya.
“kampret..” balas Tio.

Aku ujung-ujungnya juga pinjam Ipad nya Tio, game-nya seru-seru. Lumayan membunuh waktu, salah satunya dengan memainkan Assasin’s Creed.
“Alvin mana dit? Kok gak diajak?” tanya Fandi tiba-tiba dari belakang tanpa kusadari.
Seketika aku menghentikan jariku yang sedang berlaga dalam sebuah duel, hingga tokoh Altair mati tanpa perlawanan dibantai musuh-musuhnya.
“iya dit, gue juga kangen sama ade lu itu. Anaknya lucu biarpun agak pendiam.” Timpal Tio.
Aku cuma diam, tak tau harus bilang apa. Yang pasti tidak mungkin aku buka kartu di depan teman-temanku.
“ato lu lagi marahan ama ade lu itu?” celetuk Tio seperti tak habis-habis.
Jawabanku hanyalah sebuah cengiran kuda. Aku tak berani menjawab dan kembali ke Ipad untuk mengulang permainan.
“cumi! Ditanya malah maen game,” ujar Tio mendekat, dia akan memulai permainan favorit kami, yakni kejar-kejaran.
Masih tetap terpaku ke Ipad aku pelan-pelan bangkit perlahan menghindar dari Tio. Sesi kali ini tak boleh sampai kalah lagi. Susah menaklukan Assasin.

Baru adegan kejar-kejaran antara aku dan Tio akan dimulai, si Karim datang dengan jumawa dan muka tanpa dosa.
“sori telat, guys. Nih gue bawa film bagus!” ujar Karim mengeluarkan “sesuatu” yang terbungkus plastik hitam.
“bokep ya?” Fandi cablak, ia tampak semangat sekali.
“sori ya Fandi ma bro. Gue udah insaf ama yang begitu-gituan.” Jawab Karim dengan gaya sok tua. “yo, setel nih buru! Film lama emang tapi antep bro,”
“insaf ama yang begitu? Udah bosen nonton ya? Lebih enak praktek langsung” ujar Tio bergerak cepat menghampiri Karim. “awas aja kalo filmnya gak bagus,”
“nangis ntar lu malah!” timpal Karim sambil mencari posisi duduk yang enak buat nonton.
“apa judulnya bos?” tanyaku kepada Karim yang ternyata memilih posisi di sebelahku.
“Life is Beautiful,” jawab anak itu dengan santai. “enjoy the movie, brad!”

Deja Vu

Bocah itu hanya duduk di bangku ukiran kayu depan rumahnya, menatap sekelompok anak seumurannya yang tengah asyik bermain, tampak riuh dan ramai mereka. Sorot matanya menyiratkan ada keinginan untuk ikut bergabung dengan euforia itu namun juga berharap mereka atau salah satu dari mereka mengajaknya untuk bergabung. Sayangnya harapan itu hanya jadi sia-sia, tak ada tanda-tanda anak-anak itu butuh tambahan pemain. Bocah itu hanya menatap keasyikan teman-temannya hingga permainan usai dan mereka pulang ke rumah masing-masing. Hari mulai gelap sudah waktunya anak-anak untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Bocah itu pun juga, ia masuk ke rumahnya. Membawa harapan dan kesepiannya.

Hari esoknya masih tetap sama, namun bocah itu tampak punya kesibukan sendiri dengan sebuah kapur yakni menggambar di lantai teras rumahnya. Ia asyik sendiri dengan imajinasinya, setidaknya di atas bidang datar ia bisa membalikan kenyataan. Sayang keasyikannya terganggu, kesenangannya terhenti saat seorang bertubuh besar dengan wajah aut-autan menoyor kepalanya dari belakang dengan keras dan membuang kapur yang ia pegang. Bocah itu lantas menangis diperlakukan seperti itu, namun orang itu tak peduli. Orang itu malah mengeluarkan kata-kata kotor dan sumpah serapah dengan nada tinggi. Membuat anak-anak yang bermain di depan rumah si bocah kabur. Mungkin ini yang menyebabkan bocah itu tak ada yang mengajak main. Orang itu kemudian menjewer bocah itu hingga telinganya memerah kemudian mendorong bocah itu keluar. Tangisan anak malang itu pun makin menjadi, dan seakan tak ada seorang pun yang mendengar ataupun peduli.

“Alvin…” bisikku dalam hati, berharap ia mendengar suaraku ini. Alvin terdiam, tak nampak lagi keceriaan anak-anak sebayanya yang tadi bermain. Sekarang Alvin sendirian dan kesepian, dalam tangis yang ia coba bendung sendiri. Aku tak tahan lagi, nuraniku memaksaku untuk menghampirinya. Perlahan sambil menghilangkan hawa keberadaan seperti karnivora yang mendekati mangsanya, tapi aku yakin ia menyadari kedatanganku. Alvin menatapku dengan tatapan polosnya, membuatku nuraniku semakin menjerit. Aku berjongkok dan memeluk anak itu dengan erat, kuelus-elus rambutnya yang agak ikal dengan lembut. Bisa kurasakan Alvin menumpahkan kesedihan, kemarahan, kekecewaan dan kesendiriannya di dadaku, dalam sebuah tangisan. Tangisan anak polos yang belum mengerti betapa kejamnya hidup ini.
“kamu gak sendirian, de.. dan kakak gak akan biarin kamu sendirian,” bisikku kepadanya.

***

Aku terbangun seketika, aku memandang sekeliling: masih sama di kamar Tio dengan si pemilik kamar beserta Karim dan Fandi yang tidur berjejeran. Aku jadi teringat saat-saat dulu. Masa yang kelam bagi Alvin. Mendadak perasaanku jadi campur aduk, antara rasa benci dengan naluri ke-abangan ku kepada Alvin. Rumit, sungguh rumit. Ini malam, pikiran jadi lebih kusut daripada siang-siang. Kuputuskan untuk ke bawah mengambil segelas minuman untuk menenangkan diri. Apa mungkin mimpi ini karena nonton film Life is Beautiful ya? Film itu pelik sekali, sampai-sampai membuatku termenung lama dan memutuskan tidur lebih dulu. Ah! Sudahlah. Ku ambil sekotak susu cokelat dari kulkas dan kutuang di gelas ukuran besar. Rasanya agak malas kalau langsung balik ke kamar, aku duduk-duduk dulu di bangku yang menghadap ke kolam ikan besar. Sialnya baru tiga kali tenggak aku sudah tepar dan tertidur pelan-pelan.

Begitu kubuka mata ternyata sudah pagi, matahari sudah mulai bersinar: memancar masuk ke sisi dalam rumah, termasuk aku. Padahal rasanya seperti baru memejamkan mata tadi. Hidungku yang paling peka dengan aroma mengendus adanya kehadiran masakan. Langsung saja kuikuti sumber aroma itu. Aromanya berasal dari dapur. Dan kulihat sosok Tio sedang memasak mie instan bersama Karim.
“mantap sekali aromanya..” celetukku dari belakang.
Hanya Karim yang menengok.
“eh, juragan udah bangun..” sahut Karim.
“hahaha, amiin!” ujarku sambil mengintip mie yang sedang dimasak Tio.
“eh dit, tadi gue liat, lampu hape lu kedip-kedip. Kayaknya ada SMS deh,” ujar Tio tanpa melihat ke arahku: fokusnya ke panci mie. “kalo gak salah jam lima hape lu berdering gitu, coba deh lu liat. Kali aja emergency.”
“oh, yaudah. Tapi mie buat gue jangan diembat yaa..”
“santai aja dit, porsi dobel kan?” ujar Tio memindahkan mie yang sudah matang itu ke wadah yang lebih besar. “dan jangan lupa bangunin Fandi, gak enak kalo kita makan duluan ntar si kebu ngomel-ngomel lagi.”
“beres..” ujarku menuju kamar yang berada di lantai atas.
Setibanya di kamar atas, kuintip ponselku: ada satu pesan dari Ibu. Ah! Paling Cuma nanya ‘lagi dimana?’ kuletakan kembali ponselku dan lanjut ke tujuan kedua: membangunkan Fandi. Bocah yang satu ini kalau tidur sering kebablasan. Tapi herannya kalau tidur enggak kebu, gampang bangun malah (tapi juga gampang lelapnya). Makanya dengan sekali tepuk Fandi langsung bangun.
“masih ngantuk gue, chong!” protesnya sambil mengucek mata.
“Tio bikin sarapan tuh,” ujarku singkat.
“Ayo kita kebawah!”

Dan jadilah kami berempat sarapan di ruang makan. Enak betul mie yang diracik si Tio dan Karim. Ya, mie yang menjadi sarapan kami itu Cuma berbahan garam dipadu irisan cabai, daun bawang, sawi serta telur.
“mantep juga lu, io..” celotehku tanpa berhenti mengunyah. “kayak mie yang sering gue bikin di pondok dulu,”
“ini juga elu yang ngajarin, dodol!” sambung Tio. “pikunan lu yee sekarang,”
Aku tertawa garing.
“eh, you guys.. I don’t ever see your girl friends yet?” kucoba keluar dari topik kedodolanku.
“what’s for?” Tio tanya balik.
“hah?” aku agak tercengang. Setauku Tio yang paling hobi gonta-ganti pasangan. Setidaknya itu yang kudengar dulu dari Karim. “jangan bilang lu udah gak napsu ama cewek?”
Aku jadi sedikit phobia kalau menangkap signal-signal seperti itu atau yang semacamnya.
“bosen gue pacaran mulu, enakan jomblo. Freedom life, yeah!” Tio melantunkan slogannya dengan semangat.
Aku masih tak habis pikir dengan Tio, berubah sekali nampaknya kawanku yang satu ini.
“gak usah heran, dit.” Ujar Karim dengan gaya sok tua. “Tio yang pacarnya satu di tiap kecamatan bakalan bosen lama-lama, alhamdulillah! Minimal masih ada jalan buat dia untuk bertaubat.”
“sialan lu,” celoteh Tio sebal. Makanannya sudah ludes dari tadi tanpa disadari.
“Tio dari SMA hobinya pacaran mulu dengan bermacam-macam wanita, sedang elu dit, hanya dengan Lena seorang. Feelnya kan pasti beda.” Ujar Karim ; yang makin membuat Tio cemberut.

“daripada kita di rumah doank, ntar jalan-jalan yuk!” tiba-tiba Fandi memberi usul. “gak usah jauh-jauh, keliling Jakarta aja. Cari background yang bagus, foto-foto dah!”
Aku nyengir mendengarnya.
“wah ide bagus!” sambut Karim ternyata antusias.
“gue ada banyak kamera digital, tinggal pilih aja!” tambah Tio.
Sisi lain teman-teman SD-ku yang baru ku ketahui.
“gak usah autis gitu kali dit. Dari dulu kita emang hobi eksplorasi, cari tempat bagus trus foto-foto deh.” Ujar Karim menepuk-nepuk bahuku. “kalo dana terbatas ya pinter-pinter cari tempat yang bagus di Jakarta aja. Tapi kalo dana lebih, keluar Jakarta lah.”
“paling jauh terakhir ke Solo,” ujar Fandi bernostalgia.
“sayang sih, lu milih di pesantren dit. Coba lu sekolah reguler, pasti udah ikut petualangan kita!” sambung Tio.
“i..iya,” jawabku sambil garuk kepala (gak tau harus bereaksi gimana)
“abis sarapan, mandi, siap-siap trus langsung chaw!” ujar Tio penuh semangat.
Bayang-imajinasiku melihat Tio seakan mengepalkan tangannya ke udara seakan pekerja di kebun sawit yang akan memulai aktifitasnya dengan penuh semangat.

Setelah selesai mandi dan bersiap tampak tiga orang pemuda dengan setelan anak gaul jaman sekarang: kemeja bercorak grafiti, jaket import, celana jeans bermerk, T-shirt sehingga tampak keren dan gak malu-maluin. Sedang aku? Lebih mirip mas-mas ketinggalan jaman.
“lu udah kaya tukang kredit pas masih remaja dit,” komentar Fandi menggeleng-gelengkan kepala melihat penampilanku.
“daripada gue make kaos kutang sama celana boxer?” ujarku santai.
Mereka bertiga memang sudah tau kalau aku adalah tipe orang yang cuek dengan penampilan, asal rapi dan bersih sudah cukup. Tak lupa mereka membawa beberapa setel baju luaran, supaya pada tiap latar bajunya bukan yang itu itu saja. Persiapan yang bagus menurutku. Kami pun naik mobilnya Tio dan start a journey. Pemberhentian pertama adalah Mangga Dua. Tio memarkir mobilnya di Mangga Dua Square. Setelah itu mereka menuju tempat tujuan yakni sebuah gapura yang dengan disain yang betul-betul bernuansa china yang dominasi warna merah.
“kembali lagi ke tempat ini dengan wajah segar dan penampilan yang lebih siap,” kudengar Karim bergumam sendiri.
Kalau Gapura itu difoto, pasti orang yang awam mengiranya itu di China. Kemudian mulailah acara jepret-jepretnya. Berhubung di jam sembilanan saja di Mangga dua sudah panas, Karim, Tio dan Fandi cuma mengambil beberapa gambar, setelah itu langsung cabut menuju Kota Tua yang lokasinya tak jauh dari sini. Karim sempat menawariku jadi model juga, tapi aku bilang nanti saja.

“coba liat, rim.” Pintaku ketika kami semua sudah di mobil. Ada sekitar tujuh gambar. Jujur aku agak takjub. Hasil jepretan fotonya bagus-bagus. Baik Tio maupun Fandi benar-benar seperti model profesional, gaya mereka so cool. Ditambah lagi kelihaian Karim menjepret dan memilih sudut pengambilan gambar.
Berhubung Karim tidak terlalu narsis ia selama ini bertugas sebagai fotografer sedang Tio dan Fandi yang mempunyai tampang lebih cakep sebagai modelnya. Tapi kadang-kadang Karim jadi model juga, buat dokumentasi lah. Masa’ si juru foto gak ada kenang-kenangannya? Hobi yang bermanfaat buat disalurkan, daripada narsis-narsis gak jelas seperti foto-foto di kamar mandi lah, pemakaman umum lah, di pinggir jalan lah -_____-‘. Apa coba maksudnya?
“kenapa lu gak nyoba jadi model aja?” tanyaku iseng kepada Tio dan Fandi.
“gak ah brur, enakan jadi model amatir macam begini.” Jawab Fandi sambil nyengir.
“malah, dit. Model-model yang sering lu liat di catwalk atau di majalah. Banyak yang menyimpang!” celetuk Tio dalam konsentrasinya sebagai driver.
“ooh,” aku ber-O panjang. Menyimpang toh?

Next station is Kota Tua, cuma beberapa menit dari Mangga Dua Square. Wah, aku jarang lho jalan-jalan, selama ini aku melihat Kota Tua dari TV. Dan ternyata seperti ini toh, ramai juga. Sebelum turun dari mobil si Karim, Tio dan Fandi ganti pakaian luaran, kemudian mereka mulai mencari latar yang bagus. Karim menjatuhkan pilihan di serambi museum, dan mulailah aksi mereka. Berlembar-lembar foto tercipta. Tio dan Fandi itu, sekali narsis tiada habis.
“lu ngeliatin doank, dit. Ikutan donk!” seru Fandi tiba-tiba.
“eh, hah?!” aku agak kaget.
Mendadak Tio menarikku, menyuruhku jadi model.
“eh, kan penampilan gue kayak mas-mas..” aku mencoba menolak.
“gak apa-apa kalo mas-mas cakep mah,” sahut Tio tak terbantahkan.
Terpaksa deh, aku bergaya sebisaku. Cuma beberapa kali jepret.
“masih kaku gaya lu, dit. Jarang foto-foto ya?” komentar Karim sambil melihat-lihat hasil foto.
“anak pesantren, mana kenal kamera sih rim? Paling berkutat ama Kitab, sholat ama sholawatan tiap hari.” Ujar Fandi (dalem banget).
Aku menatap (¬.¬) Fandi, gak gitu-gitu juga kaleeeee.

Pemberhentian berikutnya adalah Masjid Istiqlal, sekalian sholat dzuhur dan berteduh dari teriknya matahari. Kami mencari sudut teras yang menghadap lapangan terbuka masjid, disana lumayan teduh dan nyaman. Karim dan Fandi asyik melihat-lihat hasil jepretan sementara Tio kembali sibuk dengan Ipadnya. Sedang aku? Aku cuma nyender ke dinding sambil menatap gedung Pertamina yang tampak dari Istiqal dan birunya langit di tengah hari seperti ini. Rasanya bikin ngantuk. Kalau yang ini Karim mencoba mengambil gambar si Tio dan Fandi sedang mengobrol dan duduk beristirahat. Dan sama seperti tadi, mereka betul-betul pandai mengatur mood masing-masing.
“emang deh, yang namanya bakat alami yang terasah hasilnya beda sama bakat yang dibentuk.” Komentarku saat melihat hasil foto barusan. Jujur aku betul-betul kagum.
“emang ada gitu ya, bakat narsis?” komentar Fandi dan Tio nyaris berbarengan.
“ya elu elu pada dah,” Karim menjawab mendahuluiku. Aku tersenyum menahan tawa.

“lu mirip dah ama temen gue,” tiba-tiba Karim berkata kepadaku.
“hah? Maksudnya?” aku agak kaget dan kurang siap mendengar karena sedang terpaku ke kamera.
“lu inget kan Revan, yang waktu itu ketemu di sekolah?” ujar Karim.
“iya, inget. Yang kakaknya jagoan kan?” yang paling membuatku ingat adalah tentang kakaknya.
“betul! Cara berpikir, gaya ngomong sampe omongan sok tua lu yang tadi itu persis.” ujar Karim sangat yakin.
“omongan sok tua? Maksud lho?” aku pura-pura sewot.

Dan our final destination adalah taman komplek AURI di Pancoran. Kalau aku lihat tak ada yang istimewa dengan taman ini. Kata Karim TNI-TNI disini pada beberapa hari tertentu akan membersihkan taman ini sebagai wujud kepedulian mereka terhadap aset komplek itu. Keren juga. Image TNI dimataku itu adalah orang sok kuat yang suka memanfaatkan jabatan buat seenak-enaknya. Ternyata tidak semuanya seperti itu ya. Tio dan Fandi masing-masing mulai bergaya di beberapa sudut taman yang punya atmosphere bagus. Aku hanya memperhatikan aksi mereka. Sesi di taman AURI pun selesai sekaligus mengakhiri kegiatan hari ini, kami duduk-duduk dulu sambil beli minuman dan ngerokok. Berhubung aku tidak merokok aku cuma minum Mizone saja, sedang Karim dan Fandi asyik dengan kepulan asap tembakau mereka: Marlboro.
“lu gak ngerokok, io?” tanyaku ketika aku baru sadar Tio juga cuma makan cemilan saja daritadi.
“udah brenti ngerokok gue,” jawab Tio enteng.
Setauku Tio itu dulu yang paling doyang ngerokok, sehari sebungkus dan kalau lagi galau tiga bungkus pun habis.
“Tio udah taubatan nasuha, dit. Jadi jangan heranlah,” ledek Karim sambil tertawa.
Tio pura-pura cuek sambil memainkan Ipad tercintanya. Tak jauh dari kami tampak beberapa orang datang untuk berolah raga. Memang disana ada sepasang ring basket. Seorang remaja yang sepertinya seumuran denganku sedang bermain basket dengan adiknya. Mereka berdua bermain seru sekali, meski terlihat si kakak lebih jago tapi si adik tidak mau kalah. Bayang-imajinasiku kambuh lagi, aku melihat seakan-akan mereka itu aku dan Alvin. Ada sepenggal rasa sakit dan bersalah di hatiku.

“eh dit, pinjem hape lu donk. Mau SMS,” Karim tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
Aku merogoh saku, eh kok hapeku gak ada? Sepertinya ketinggalan di mobil.
“kayaknya nyangkut di mobil, gue ambil bentar..” ujarku bangkit menuju mobil yang diparkir di depan masjid situ.
Dengan mengantongi kuncinya mobilnya si Tio aku menyambangi si Avanza silver. Benda pusaka belahan jiwaku a.k.a ponselku itu tergeletak di bangku tengah. Ponsel nokia keluaran tahun 2009 itu sudah terkelupas catnya dan baret di layar. Lampu LED nya berkedip-kedip tanda ada SMS belum terbaca atau missed call. Oh iya, tadi pagi kan Ibu SMS aku, iseng saja kubuka sambil jalan. Ternyata ada tiga pesan dan empat panggilan tak terjawab. Semuanya dari Ibu.

Dit, kamu lagi dimana?
Tolong pulang ya, penting
05.00

Yang kedua:

Dit, kamu lagi dimana?
Penting! Tentang Alvin.
Ibu mohon sama kamu
12.45

Yang ketiga:

Dit, Alvin kabur dari rumah
Tolong pulang sekarang!
15.27

Dan yang panggilan tak terjawab tak lama dari pesan yang ketiga. Sekarang jam lima kurang tujuh belas. Oh tidak! Alvin kabur dari rumah? Tak kusangka dia senekat itu. Cemas dan paranoid menyerangku bertubi-tubi. Sekarang rasa bersalahku semakin bulat. Bahkan kakiku sempat terantuk karena jalanku tidak fokus.
“kenapa lu dit? Eror mendadak?” canda Fandi melihatku (yang memang) kacau.
“bro, bisa anter gue pulang sekarang gak? Emergency nih!” ujarku tanpa ekspresi.
Melihatku yang tampak tak biasanya, tanpa babibu kami langsung cabut. Di mobil aku mencoba menghubungi Ibu, tapi tak ada jawaban. Kucoba telpon Ayah, disaat seperti ini pasti orang yang Ibu hubungi adalah Ayah. Aku berdebar menunggu sekaligus berharap panggilanku cepat diangkat.
“halo, dit…” suara Ayah terdengar dari seberang telepon.
“halo, yah.. gimana keadaan disana?” tanyaku dengan nada agak panik.
“Ayah sama Ibu sudah cari kemana-mana, nihil! Kamu kemana aja sih? Di-SMS gak respon ditelpon gak diangkat?”
“maaf yah.. maaf.. handphone gak Adit pegang..” suaraku terdengar lirih. Karim, Tio dan Fandi hanya bisa melihat dan mendengar. “sekarang lagi jalan pulang kok, “
Dan panggilan berakhir. Hening di mobil, tak ada dari teman-temanku yang bertanya. Lima belas menit kemudian sampai juga di rumahku, rumah Ibu.
“salam ya dit buat orang tua lu,” ujar Tio dari jendela.
Aku hanya menangguk pelan, aku masuk seiring mobil itu berlalu meninggalkanku.

Ibu tampak kacau, sedang Ayah berusaha menenangkan Ibu. Kulihat mata Ibu agak sembab.
“bu.. maaf,” ujarku parau.
Ibu tidak berkata apa-apa, beliau hanya memberiku isyarat untuk mendekat. Perlahan aku mendekat dan duduk di samping Ibu. Kulihat Ibu seperti habis sesunggukan, nafasnya agak tersengal. Ibu mengeluarkan secarik surat yang agak kusut dan disodorkan kepadaku. Kuterima dengan ragu, kutimang-timang sebentar melihat tampilan luarnya.
“bacalah isinya, dit..” bisik Ayah. Nada suaranya sudah berbeda dengan yang di telpon tadi. Yang ini terdengar sama lirihnya dengan bahasa tubuh Ibu.
Pelan-pelan kubuka surat yang terlihat bekas lembab yang mengering. Apa ini bekas air mata Ibu? Tampak tulisan tangan yang sangat familiar buatku yakni tulisan Alvin. Tanganku mulai bergetar memegang surat itu. Terasa diiris sembilu hatiku tapi aku tetap harus membacanya.

Untuk orang yang paling kusayangi
Ibu dan kak Adit,

Aku tau aku tidak pantas untuk dimaafkan. Tapi aku benar-benar menyesal telah membuat masalah di keluarga ini, keluarga yang selama ini menjaga dan menyayangiku. Aku tidak ingin menyusahkan Ibu dan kak Adit lagi.

Seharusnya aku tak pernah masuk ke dalam kehidupan Ibu dan kak Adit, Seharusnya waktu itu aku tetap bersama keluargaku saja. Jalan keluar yang terbaik adalah aku pergi, aku berjanji tak akan menampakan wajahku di keluarga ini lagi. Dan aku minta maaf, aku betul betul menyesal.

Terima kasih pernah menjadikanku bagian dari keluarga, aku tak akan melupakan itu seumur hidupku. Aku sangat menyayangi Ibu dan kak Adit


Alvin




Aku termenung sekaligus lemas membacanya, sekarang aku yakin bakalan menangis. Yeah! Air mataku menetes, tapi itu tidak sebanding dengan rasa bersalah dan penyesalan yang luar biasa di dalam hatiku.
“Alvin pergi tanpa membawa apa-apa, barang-barangnya masih utuh di kamar.” Ujar Ibu dengan nada parau. “dia gak bawa pakaian ataupun uang, dia pergi tanpa persiapan sama sekali…”
Ibu langsung menangis tersedu-sedu, menenggelamkan wajahnya ke kedua telapak tangannya. Ayah buru-buru mendekap dan menyemangati Ibu.
Surat itu kutatap dengan sendu, goresan tintanya agak luntur terkena air mata. Sekarang aku yang menyesal, Alvin baru kelas 1 SMA. Bocah usia 15 tahun yang masih polos dan labil, bagaimana dia bertahan hidup di luar sana. Kehidupan yang kejam.

Aku, Ibu dan Ayah terdiam dalam keheningan. Pikiran kami terlalu kalut seperti benang layangan yang kusut. Alvin menyalahkan dirinya atas keputusanku untuk tidak tinggal dengan Ibu, tapi sebenarnya ini kesalahanku. Seandainya aku tidak terlalu berlebihan menanggapi tentang perasaan Alvin dan berkepala dingin. Aku tidak bisa memutar waktu, nasi sudah terlanjur gosong. Aku harus menemukan Alvin kelak. Aku malu kepada Tuhan, dulu aku sempat berjanji akan selalu menjaga dan melindungi Alvin. Aku tidak bisa memegang omonganku sendiri. Alvin masih remaja, masih labil. Perasaannya kepadaku itu masih bisa berubah. Bisa saja kan apa yang ia rasakan itu cuma luapan kagum dan sayangnya kepadaku. Aku jarang meluangkan waktu untuknya, aku terlalu sibuk dengan kuliahku, dengan kehidupanku. Kakak macam apa aku ini? Kenapa aku tidak memberinya kesempatan? Bodoh sekali aku ini! aku mulai menyalahkan diri sendiri.

Ibu memutuskan istirahat di kamar, sedang Ayah masih duduk di ruang depan bersamaku. Kami berdua sama-sama diam, tanpa mengucap sepatah katapun. Sepertinya baik aku maupun Ayah sama-sama sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku sempat melirik Ayah sebentar, beliau malah kelihatan sedang bengong. Kuhela nafas panjang dan menyandarkan kepalaku di sandaran kepala sofa.

1 komentar:

  1. Terimakasih porting kisah ini... Episode ini aku baca hampir mau keluar air mata...sedih,haru banget andai aku jadi Alvin aku akan sama memilih perjalanan sepertinya....

    BalasHapus