Senin, 21 Maret 2016

Memories Of Him - Part 11

~Rico Pov~
“Hai apa kamu ada di rumah?” tanyaku pada Alvin lewat telfon.
“Ya, aku ada di rumah. Kenapa?”
“Aku mau ke rumahmu. Sekarang aku masih ada di jalan menuju ke sana.”
“Ya udah langsung sini aja. Tumben pakai telfon segala?!”
“Mau gimana lagi, akhir-akhir ini kamu jarang ada di rumah. Aku takut kalau aku ke sana kamunya nggak ada di rumah.”
“Oh gitu ya hehe…maaf deh. Tapi sekarang aku ada di rumah kok.”
“Ya udah kalau gitu. Jangan kemana-mana ya!!”
“Ya.”

Setelah itu aku memutuskan telfon dan melepas headset dari telingaku. Aku terus menyusuri jalan menuju rumah Alvin. Aku sangat membutuhkannya saat ini. Dia satu-satunya orang yang dapat membuatku melepas bebanku. Melepas segala sesuatu yang bisa membuatku strez. Kalau di dekatnya aku bisa menjadi tenang walaupun untuk sesaat.

Nggak butuh waktu lama untuk sampai di rumahnya. Aku langsung memarkir mobilku di depan pintu masuk.

“Pak tolong pindahkan mobilku!” aku melempar kunci mobilku ke Pak Ujang yang sedang minum kopi di teras.

Setelah itu aku langsung masuk ke dalam rumah mencari Alvin. Sayup-sayup terdengar alunan piano saat aku menginjakkan kakiku di ruang keluarga. Tanpa ba bi bu be bo aku langsung berjalan menuju ke kamar Alvin. Alunan piano itu berhenti ketika aku membuka pintu kamar Alvin.

“Hai Ric. Kamu tadi mendengar permainan pianoku nggak? Gimana menurutmu?” tanya Alvin dengan senyum di bibirnya.

Alvin langsung berdiri dan menghampiriku yang sedang berdiri di pintu kamarnya

“Kamu sudah makan siang? Kalau belum makan di meja makan ada na…”

BRRUUUUUGGGG…

Kata-kata Alvin terputus waktu aku memeluknya.

“A…ada apa Ric?” tanya Alvin bingung tapi dia nggak berusaha melepas pelukanku, sedangkan aku cuma diam, “kamu ada masalah?” tanyanya lagi dan lagi-lagi aku cuma diam.
“Ric?”
“Aku mohon jangan tanya dulu!” kataku yang langsung membuat Alvin terdiam dan nggak bertanya lagi.

Sedetik kemudian aku merasakan tangan kiri Alvin mengusap-ngusap pelan punggungku, sedangkan tangan kanannya berusaha menutup pintu kamarnya. Dia memang seperti ini dari kecil. Selalu membuat orang lain nyaman saat bersamanya. Kalau aku ada masalah aku selalu datang dan memeluknya. Setelah itu aku akan merasa lebih baik daripada sebelumnya. Untuk beberapa saat aku masih memeluknya. Karena dengan memeluknya aku bisa menenangkan diriku yang sedang kacau. Gimana nggak kacau kalau hampir seminggu ini Awe terus menghindariku. Sangat menghindariku. Kalau melihatku dia langsung pergi menjauh. Seakan-akan aku ini virus yang harus di jauhin. Sebenarnya apa salahku sampai dia menghindariku seperti ini? Aku sudah mencoba sms dan menelfonnya, tapi percuma. Awe nggak pernah membalas smsku dan mengangkat telfonku. Aku ingin bertanya langsung ke Awe tapi itu juga mustahil.

“Aku bingung,” desisku.

Perlahan-lahan aku mulai melepaskan pelukanku pada Alvin. Setelah itu aku berjalan dan duduk di sisi tempat tidurnya.

“Bingung kenapa?” tanya Alvin yang kini juga ikut duduk di sampingku.
“Ada yang menghindariku. Padahal aku nggak tau apa salahku ke dia,” curhatku.
“Apa kamu sudah nyoba ngomong sama dia?”
“Dia selalu ngindarin aku. Gimana aku bisa ngomong sama dia?”
“Ya kamu harus cari cara supaya bisa ngomong sama dia dan minta penjelasan darinya.”
“Aku nggak yakin bisa,” desisku sambil merebahkan tubuhku ke kasur dan membiarkan kakiku menjuntai ke bawah.
“Apa…apa dia gebetanmu?” tanya Alvin hati-hati, sedangkan aku hanya tersenyum memandangi langit-langit kamarnya, “hmm..salah ya?”
“Enggak. Nggak salah,” jawabku masih menatap langit-langit kamarnya.
“Jadi dia menghindarimu saat kamu PDKT ke dia gitu?”
“Aku…aku nggak yakin,” desisku.
“Maksudmu?” tanya Alvin bingung.
“Habisnya sebelum ini dia selalu nyaman saat bersamaku. Dia juga nggak nolak waktu aku ajak kencan. Dia bahkan pernah menciumku,” kataku.
“Ci…cium?” tanya Alvin yang tiba-tiba menjadi gugup.
“Iya cium. Kenapa?” aku menatap Alvin yang kini bertambah gugup.
“Ah…nggak. Nggak apa-apa,” kata Alvin cepat.

Setelah itu dia melempar pandangannya kearah lain.

“Ka…kamu udah nembak dia belum?” tanyanya.
“Belum.”
“Hmm belum ya…ah jangan-jangan dia itu marah sama kamu karena kamu nggak pernah nembak dia,” tebak Alvin.
“Ha??”
“Ya sapa tau dia merasa dirinya di gantung gitu.”
“Di gantung?” tanyaku bingung.
“Aduh Rico…bukannya kamu itu jauh lebih berpengalaman daripada aku kalau soal cewek?! Terus kenapa sekarang kamu jadi kebingungan gini??” tanya Alvin sambil mengacak-acak rambutku tapi langsung aku tepis.

Akhirnya aku cuma diam dan nggak menjawab pertanyaan Alvin.

Gimana aku nggak bingung kalau sekarang yang sedang jadi masalahku itu cowok, bukan cewek?! Aku sama sekali nggak pernah PDKT ataupun nembak cowok. Aku nggak tau caranya. Aku bingung. Aku takut kalau Awe akan menjauhiku setelah aku menyatakan perasaanku. Aku takut kalau dia akan berubah setelah mengetahui perasaanku padanya. Tapi sekarangpun dia sudah berubah. Seperti bukan Awe yang aku kenal. Biarpun aku nggak pernah bicara dengannya lagi bukan berarti aku nggak mengawasinya. Aku selalu melihatnya biarpun dari jarak yang cukup jauh. Selama beberapa hari ini Awe terlihat muram dan nggak pernah tersenyum lagi. Dia juga nggak pernah bermanja-manja lagi ke Alvin. Ya biarpun dia nggak menghindari Alvin tapi dia selalu menjauh saat Alvin sedang bersamaku. Dan itu sudah cukup memperkuat dugaanku kalau Awe benar-benar menjauhiku. Tapi apa alasannya? Kenapa dia menjauhiku? Apa benar kata Alvin kalau dia marah karena aku nggak tegas sama perasaanku sendiri? Kalau aku menyatakan perasaanku, apa Awe akan kembali seperti dulu? Atau Awe akan semakin menjauhiku?

Perlahan-lahan ku ambil hp yang ada di kantong celanaku dan menekan nomor Awe dan menelfonnya. Dengan ragu-ragu ku tempelkan hpku ke telingaku. Nada sambung pribadi langsung terdengar. Lama nggak ada jawaban sampai aku matikan panggilanku dan mengulangi menelfonnya sampai beberapa kali. Sama. Tetap nggak ada jawaban. Akhirnya aku menyerah dan memasukkan hpku ke kantong celanaku lagi.

“Ric, kamu nggak apa-apa?” tanya Alvin hati-hati.
“Ehm…” gumamku membalas pertanyaan Alvin.

Aku mulai bangkit dari rebahanku menjadi duduk. Otakku terus berputar dan berputar memikirkan apa yang harus aku lakukan.

“Aku pulang dulu,” pamitku sambil beranjak dan segera berlari keluar kamar Alvin.

Aku nggak memperdulikan panggilan Alvin yang sedang kebingungan. Aku terus berlari sampai halaman depan rumah Alvin. Setelah mengambil kunci mobilku dari Pak Ujang, akupun langsung masuk dan melajukan mobilku menuju tempat yang seharusnya aku tuju. Rumah Awe.

Aku nggak bisa seperti ini terus. Aku nggak boleh membiarkan dia ‘berjalan’ terlalu jauh dariku. Kalau sampai hal itu terjadi, aku nggak yakin dia akan kembali lagi padaku. Aku nggak mau dia menjauh dariku sebelum aku mengutarakan perasaanku padanya. Mungkin saja dia akan semakin menjauh dariku setelah aku menyatakan perasaanku, tapi itu lebih baik daripada aku harus dijauhin tanpa tau alasannya.

Akhirnya aku sampai juga di sekitar rumah Awe. Aku sengaja menghentikan mobilku di dua rumah sebelum rumahnya. Itu sengaja aku lakukan agar Awe nggak melihat mobilku. Kalau dia melihat mobilku, dia pasti nggak mau membukakan pintu untukku.

Setelah hatiku siap, aku langsung berjalan menuju rumahnya dan langsung menekan bel yang ada di pintu masuk. Aku langsung berdiri di sebelah kiri pintu agar Awe nggak melihatku saat mengintip dari tirai jendela sebelah kanan. Persis seperti dugaanku. Tirai jendela itu terlihat bergerak tapi nggak lama kemudian terdengar suara kunci yang terbuka dari dalam.

“Rico?!” desis Awe setelah membuka pintu dan melihatku berdiri di depannya.

Dia terlihat sangat kaget dengan kedatanganku. Sedetik kemudian Awe berusaha menutup pintu rumahnya lagi tapi langsung aku tahan.

“We aku mau ngomong!” kataku masih berusaha menahan agar pintu itu nggak tertutup.

Awe nggak memperdulikanku. Dia masih berusaha menutup pintu rumahnya. Tapi tenaganya kalah besar jika dibandingkan denganku. Sekali dorong, pintu itu langsung terbuka lebar dan membuat Awe jatuh terduduk.

“So…sorry,” desisku sambil berusaha membantunya berdiri.

Kali ini Awe nggak bisa berbuat banyak. Mungkin dia sadar kalau nggak akan bisa mengusirku dari rumahnya.

“Apa ada yang sakit?” tanyaku sambil memeriksa tubuhnya, sedangkan Awe cuma menggeleng pelan sebagai jawabannya.

Setelah itu cuma ada keheningan yang menemani kami berdua. Aku sedang menatap Awe yang kini menundukkan kepalanya dalam-dalam. Seolah-olah dia nggak mau menatapku dan itu sangat membuatku terluka. Hatiku terasa sangat sakit.

“Ehm…aku kesini mau ngomong sama kamu,” kataku pelan.

Nggak ada reaksi.

“Aku tau kalau akhir-akhir ini kamu selalu menghindariku. Tapi itu bukan tujuanku datang ke sini,” kataku lagi, “ada sesuatu yang harus aku katakan padamu,” lanjutku lagi.

Awe tetap diam dan terus menundukkan kepalanya.

Aku menghembuskan nafas berkali-kali untuk menguatkan hatiku sebelum kata-kata itu keluar dari mulutku. Karena setelah ini aku harus menghadapi reaksi yang akan dia berikan padaku. Dia akan kembali padaku atau dia akan selamanya menghindariku.

“Aku menyukaimu,” kataku pelan yang membuat Awe langsung menatapku dengan mata melebar dan dengan pandangan tak percayanya.
“Bukan rasa suka biasa. Bukan rasa suka antar teman atau sahabat. Tapi rasa yang lebih dari itu,” kataku yang makin pelan di setiap kata-kataku, “aku…aku mencintaimu,” desisku.

Untuk beberapa saat kami cuma diam dan saling berpandangan.

“Aku…aku nggak memintamu untuk menjawabnya sekarang,” kataku sambil tertawa pelan untuk mencairkan suasana. Ah nggak, lebih tepatnya aku tertawa untuk menenangkan diriku sendiri.

Aku terlalu gugup sampai bingung mau berkata apa lagi setelah ini. Padahal nggak cuma sekali ini aku nembak seseorang. Tapi nggak tau kenapa sekarang aku menjadi sangat gugup.

“Aku akan menunggu jawabanmu besok di sekolah. Ah… enggak…enggak…enggak. Gimana kalau besok jam 4 sore kita ketemuan di pusat kota?! Aku akan menunggu jawabanmu di sana. Ya sekalian nongkrong gitu,” kataku makin gugup.

Awe masih terdiam. Sesekali dia menundukkan kepalanya saat bertemu pandang denganku. Awe masih terlihat kaget dengan pernyataanku yang tiba-tiba ini.

“Ya udah cuma itu aja yang mau aku katakan. Emm.. aku pulang dulu. Bye.”

Aku langsung keluar dari rumah Awe dan langsung menuju ke tempat aku memarkir mobilku tadi. Setelah itu aku langsung masuk ke dalam mobilku dan segera melajukan mobilku untuk pulang.

~Awe Pov~
Berkali-kali mataku melihat jam yang ada di atas papan tulis kelasku. Jam 10 pagi.
“Cepat sekali,” desisku.
“Apanya yang cepat?” tanya Marchel teman sebangkuku, aku langsung menggeleng cepat.
-Bukan apa-apa- tulisku di buku catatanku yang langsung di sambut ‘o’ oleh Marchel.

Setelah itu dia kembali memperhatikan Pak Hella yang sedang membahas tugas kemarin.

Aku menarik nafas pelan.

Nggak tau kenapa, rasanya hari ini waktu berputar sangat cepat. Kurang satu jam sudah istirahat ke dua. Biasanya aku selalu menunggu-nunggu waktu istirahat tiba, tapi khusus untuk hari ini aku nggak mau waktu berjalan walau cuma sedetik. Karena aku nggak mau membuat keputusan yang sulit. Aku benar-benar kaget waktu Rico menyatakan perasaannya padaku. Sebenarnya aku senang mendengarnya. Dari dulu aku selalu menunggu dia menyatakan perasaannya padaku. Aku bahkan memberi sinyal-sinyal yang jelas ke dia supaya dia tau kalau aku juga menyukainya. Sangat menyukainya. Tapi sekarang berbeda. Bukannya aku nggak menyukainya lagi. Aku masih… ah bukan…aku bahkan sangat menyukainya. Benar-benar menyukainya. Tapi sekarang aku nggak bisa memutuskan begitu saja. Aku harus memilih di antara kak Hengky dan Rico. Kemarin setelah Rico pulang dari rumahku, kak Hengky mengirimiku sms. Dia bilang kalau hari ini akan menungguku di depan mini market dekat rumah jam 4 sore nanti. Sama seperti Rico menunggu jawabanku di tempat yang berbeda.

Apa yang harus aku lakukan?

TEEETTTTT…TEEETTTTT…

Tiba-tiba bel tanda istirahat ke dua berbunyi dan membuyarkan semua lamunanku. Setelah Pak Hella keluar dari kelas, anak-anak yang lain mulai berhamburan keluar. Sedangkan aku memutuskan untuk tetap di kelas. Aku nggak mau bertemu dengan Rico sekarang. Belum siap, itulah alasannya.

“Hai We. Kamu..eng…nggak ke kantin?”

Aku mengangkat wajahku dan melihat Anne sudah ada di samping mejaku. Senyum tipisnya langsung mengembang saat mata kami bertemu. Ah…aku jadi merasa bersalah karena sudah membuatnya terluka dengan penolakanku dulu.

-Aku nggak minat ke sana- tulisku di notes, lalu menyodorkannya kearahnya.
“Tapi kamu belum makan apa-apa sejak istirahat pertama tadi. Apa kamu nggak laper?” tanyanya sambil duduk di kursi Marchel yang kosong.
-Nggak. Aku nggak laper- tulisku lagi dan membuat gadis mungil itu tersenyum.
“Tadi waktu istirahat ke dua aku beli snacknya kebanyakan,” katanya sambil mengamati kantong plastic yang di bawanya, “nih kamu makan aja. Aku udah kenyang,” katanya lagi sambil meletakkan kantong plastic itu di depan mejaku.

Waktu aku mau menulis ucapan terima kasih dan mau menolaknya, Tiba-tiba Anne mengambil notes dan bolpointku.

“Nggak boleh nolak. Dosa,” katanya sambil melotot ke arahku. Aku tertawa pelan melihatnya.

Mau nggak mau akhirnya aku membuka kantong plastic itu, mengambil satu roti dan langsung memakannya.

“Ehm…Ne, aku boleh tanya sesuatu nggak?” tanyaku ke Anne.

Untuk sejenak Anne terdiam kaget melihat ke arahku.

“Kamu ngomong sama aku?” tanyanya balik yang langsung mendapat anggukan kepalaku.
“Iya. Mau gimana lagi, notes dan bolpoint’ku kamu ambil sih,” kataku sambil menggigit sepotong roti.
“Oh Sorry,” desis Anne yang langsung mengembalikan notes dan bolpoint’ku, “ng…tadi mau tanya apa?”
-Mungkin kamu bisa terluka dengan pertanyaanku ini. nggak apa-apa?- tulisku.
“Nggak apa-apa. Tanya aja,” jawab Anne sambil tersenyum manis ke arahku.
-Di tolak itu sakit nggak sih?-

Untuk beberapa saat Anne terdiam setelah membaca pertanyaanku. Tapi sedetik kemudian senyum manisnya kembali terukir di bibir merahnya lagi.

“Jujur…sakit. Sakit sekali. Apalagi di tolak sama orang yang bener-bener aku sayang,” katanya pelan sambil menundukkan kepalanya.

Mendadak aku merasa nggak enak sama dia. Aku sudah menjadi orang yang sangat jahat. Teganya aku bertanya seperti itu pada orang yang pernah aku tolak. Tapi aku benar-banar bingung sekarang.

-Sorry-

Lagi-lagi Anne tersenyum setelah membaca tulisanku.

“Nggak apa-apa,” katanya sambil menatap ke arahku, “kamu lagi ada masalah ya?” tanyanya.
-Enggak kok. Kenapa kamu berfikir kayak gitu?-
“Jangan bohong. Mungkin kamu bisa menutupinya dari yang lain, tapi nggak dariku. Karena aku selalu mengawasimu.”

Aku langsung menatap Anne yang kini juga sedang menatapku.

“Ceritakan padaku! Siapa tau bisa bikin kamu lega,” katanya lagi.

Aku terdiam sejenak lalu mulai menulis lagi di notesku.

-Misalnya ada dua orang yang kamu sayang. Yang satu dari masa lalu dan yang satu lagi dari masa kini. Mana yang kamu pilih?-

Anne terlihat bingung waktu membaca tulisanku. Sedetik kemudian dia mengaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum tipis.

“Aku…aku akan memilih sesuai kata hatiku,” katanya pelan dan agak ragu-ragu.
-Apa nggak bisa memilih dua-duanya??-
“Itu namanya egois.”
“Tapi aku nggak mau kehilangan dan melukai perasaan salah satu dari mereka,” tiba-tiba saja aku kehilangan control dan berkata sangat cepat sampai membuat Anne tertegun menatapku.
“Ya…ya mau gimana lagi, kalau kita di hadapkan sama dua pilihan, kita harus siap melukai dan siap kehilangan salah satunya,” kata Anne palan, sedangkan aku langsung menundukkan kepalaku dalam-dalam.

Tapi aku nggak siap. Aku nggak siap kalau harus hehilangan salah satu dari mereka.

“Jangan terlalu bingung. Pilih aja sesuai kata hatimu. Jangan sampai kamu menyesal karena salah pilih,” kata Anne, “ya udah aku balik ke bangkuku dulu ya,” pamit Anne.

Tapi sebelum Anne beranjak pergi dari sisiku, aku langsung memegang tangannya.

“Ke..kenapa?” tanya Anne bingung.
“Apa kamu menyesal karena sudah menyukaiku dan menyatakan perasaanmu padaku?” tanyaku.
“Kenapa tanya gitu?”
“Ah..enggak..maksudku kalau kamu menyesal, aku bisa melupakannya. Anggap aja aku nggak pernah mendengar pernyataan cintamu, jadi kamu nggak akan sakit hati. Anggap aja gitu,” kataku pelan nyaris berbisik.

Setelah itu aku langsung melepaskan genggaman tanganku dari tangannya dan menundukkan kepalaku dalam-dalam karena nggak berani menatap wajahnya.

“Apa kamu nggak mau kalau aku sakit hati?” tanya Anne yang langsung mendapat anggukan kepalaku sebagai jawabannya, ”ya nggak mungkin lah. Aku sudah terlanjur sakit hati sama penolakanmu dulu,” kata Anne dengan penekanan di ‘sakit hati’ nya.

Aku makin menundukkan kepalaku.

“Tapi aku nggak menyesal,” desis Anne yang langsung membuatku mengangkat wajahku menatapnya.

Terlihat Anne sedang tersenyum ke arahku.

“Aku nggak pernah menyesal karena sudah menyukaimu. Makanya kamu jangan melupakannya,” kata Anne lagi.

Lagi-lagi dia tersenyum dengan tulus ke arahku. Tanpa sadar aku juga ikut tersenyum.

“Makasih,” kataku masih dengan senyuman di bibirku.

Anne memukul pelan lenganku sebelum dia beranjak pergi meninggalkanku. Nggak lama kemudian bel tanda istirahat telah usai pun berbunyi nyaring. Dan itu tandanya waktu terus berjalan, seolah-olah memintaku untuk segera memutuskan mana yang menjadi pilihanku. Rico atau kak Hengky??

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Sudah setengah jam aku memelototi jam dinding yang ada di kamarku. Ini sudah jam 16.34. Padahal seharusnya aku sudah nggak di rumah lagi. Seharusnya aku sudah ada di salah satu tempat di mana Rico atau kak Hengky menungguku. Tapi kenyataannya aku masih ada di rumah dan masih belum bisa memutuskan mana yang akan menjadi pilihanku. Aku tau kalau aku nggak segera pergi, aku bisa kehilangan ke duanya. Aku tau itu. Tapi aku ragu. Aku takut kalau keputusanku salah dan mengacaukan semuanya.

Tiba-tiba terdengar suara di ruangan bawah. Rasanya Tante sudah pulang. perlahan-lahan aku mulai membuka pintu kamarku dan turun menuju dapur. Di sana aku melihat Tante Lila sedang minum air dingin yang di ambil dari dalam lemari es. Setelah itu dia duduk di kursi meja makan membelakangiku, jadi dia nggak tau kalau aku sedang berdiri di sisi pintu dapur.

“Capeknya,” gumamnya sambil menggulung rambut panjangnya ke atas, “enaknya setelah ini aku bikin lauk buat makan malam nanti. Agung pasti udah lapar,” gumamnya lagi.

Aku terus memandang Tante Lila dengan perasaan yang bercampur aduk. Perlahan-lahan aku meninggalkan dapur, menyelinap keluar rumah dan berlari ke tempat yang seharusnya aku tuju. Aku sudah tau mana yang menjadi pilihanku saat ini. Dan semoga saja ini akan menjadi pilihan yang paling tepat untukku dan untuk semuanya.

Aku langsung berhenti berlari saat melihat sosok itu masih di sana dan menungguku. Dia sedang berdiri dan bersandar pada dinding yang ada di belakangnya. Senyumnya langsung mengembang saat melihat kedatanganku.

“Kakak.”

~Awe Pov~
“Kakak.”
“Kenapa lama? Aku sudah menunggumu daritadi,” tanya kak Hengky.

Aku menatapnya dalam diam.

“Mana barang bawaanmu?” tanya kak Hengky.

Perlahan-lahan dia mulai berjalan menghampiriku yang daritadi hanya diam mematung.

“Ya nggak masalah sih kalau kamu nggak bawa apa-apa. Aku akan membelikan semua keperluanmu kalau kita sudah sampai di rumah baru kita,” kata kak Hengky sambil mengusap pelan kepalaku, “aku sudah membeli sebuah rumah di kota xxx,” lanjut kak Hengky.

Aku menatap kak Hengky ragu-ragu. Terlalu berat untuk mengucapkan kata-kata yang sudah ada di benakku saat ini. Tapi aku harus mengatakannya.

“Kak maaf ak…”
“Rumah itu nggak besar tapi bagus. Pokoknya nyaman untuk di tempati,” kak Hengky tiba-tiba memotong kata-kataku.
“Kak aku nggak bi…”
“Di depan rumah itu ada halaman yang di tumbuhi berbagai bunga yang sangat cantik. Itu peninggalan dari penghuni sebelumnya,” potong kak Hengky lagi sambil menggenggam ke dua tanganku.
“Kak dengarkan aku dul…”
“Rumah itu dekat dengan Mall dan café-café untuk nongkrong. Kamu pasti suka. Lagian di sana…”
“KAK!!!” bentakku memotong kata-katanya.

Kak Hengky sedikit terhenyak ketika aku membentaknya, tapi sesaat kemudian tatapan matanya menjadi datar tanpa ekspresi. Perlahan-lahan dia melepaskan tangannya dari tanganku. Seketika itu juga aku menyesal karena sudah membentaknya.

“Maaf. Aku nggak bermaksud membentakmu,” desisku sambil menundukkan kepalaku dalam-dalam.
“Aku kan sudah bilang, kamu nggak perlu datang ke sini kalau menolak ajakanku.”

DEG

Di…dia sudah tau?

Aku menatap kak Hengky yang kini sedang menatapku dengan tatapan kecewanya.

“Pulanglah!” desis kak Hengky sambil berbalik memunggungiku dan berjalan perlahan menuju mobilnya.
“Kak!” aku segera menyusul langkah kak Hengky dan menggenggam pergelangan tangannya untuk menghentikan langkahnya, “maafin aku kak. Aku nggak bisa ikut kakak,” desisku.

Kak Hengky terdiam. Dia bahkan nggak mau menghadap ke arahku. Aku sudah tau akan seperti ini jadinya. Kak Hengky marah.

“Kamu sudah membuatku tambah kecewa dengan kedatanganmu,” kata kak Hengky sambil melepaskan genggaman tanganku pada pergelangan tangannya.
“A…aku ke sini karena ingin minta maaf sama kakak,” kataku pelan, “aku nggak bisa biarin kakak terus menungguku lalu pergi begitu saja tanpa mendengar permintaan maaf dariku. Aku nggak bisa.”

Untuk beberapa saat nggak ada yang keluar dari mulut kak Hengky. Tapi sedetik kemudian aku mendengar kak Hengky menghela nafas panjang lalu memutar tubuhnya menghadapku.

“Lalu…apa alasanmu menolak ajakanku?” tanya kak Hengky dengan senyum yang di paksakan.

Aku sedih melihat kak Hengky yang seperti ini.

“Mungkin aku akan menyesal karena aku akan kehilangan orang yang sangat aku sayang untuk yang ke dua kalinya. Tapi…aku nggak bisa egois. Akan ada banyak orang yang akan sedih dan kecewa kalau aku egois. Keluarga kak Vinna pasti nggak akan maafin kakak. Mereka akan membenci kakak karena kelakuan kakak.”
“Aku nggak peduli,” dengus kak Hengky.
“Aku peduli,” kataku cepat. Kak Hengky terdiam, “lagian kak Hengky nggak boleh meninggalkan istri dan anakmu begitu saja.”
“Sudah aku bilang kalau aku nggak peduli. Saat ini aku cuma ingin bersamamu. Hidup berdua saja denganmu,” aku langsung menggeleng kuat saat mendengar kata-kata kak Hengky.
“Nggak bisa. Itu salah. Aku memang membutuhkan kakak untuk terus ada di sampingku. Karena cuma kakak yang bisa menjadi kekuatanku. Tapi… saat ini merekalah yang lebih membutuhkan kakak,” kataku.

Aku mendengar kak Hengky menghela nafas panjang untuk yang kedua kalinya.

“Aku nggak akan maafin diriku sendiri kalau sampai membuat seorang anak terpisah dari ayahnya. Dia pasti menderita kalau tau ayahnya kabur bersama seorang cowok,” kataku, “bukankah kakak sangat membenci orang yang sudah membuat anaknya menderita?!” kak Hengky terhenyak.

Untuk beberapa saat cuma ada keheningan di antara kami. Aku nggak tau apa yang sedang kak Hengky pikirkan sekarang. Tapi aku berharap kak Hengky bisa mengerti keinginanku. Aku nggak mau kak Hengky menghancurkan hidupnya sendiri. Menghancurkan keluarganya demi aku.

“A…aku juga nggak bisa meninggalkan Tante. Biarpun dia bukan ibu kandungku tapi aku sudah menganggapnya seperti ibuku sendiri. Di saat semua menutup mata akan keberadaanku, cuma Tante yang menganggapku ada dan mau menerimaku dalam hidupnya,” kataku pelan, “Tante pasti sedih kalau aku meninggalkannya seorang diri.”

Lagi-lagi terjadi kebisuan sesaat sebelum kak Hengky tertawa pelan. Aku yang bingung cuma menatap kak Hengky heran.

“Ternyata bintangku yang dulu bersinar redup sekarang bersinar sangat terang. Kamu sudah besar,” kata kak Hengky pelan, “mungkin aku yang nggak bertambah dewasa.”
“Kak, aku…”
“Ya kamu benar. Aku memang egois dan nggak memikirkan semuanya,” kata kak Hengky memotong kata-kataku, “makasih sudah mengingatkanku, Gung,” katanya lagi sambil mengusap pelan kepalaku.
“Kak,” desis.

Aku nggak tau harus berkata apa lagi sekarang.

“Anggap saja kita nggak pernah membicarakan hal gila ini,” kata kak Hengky, “sorry aku sudah membuatmu bingung sejak kedatanganku,” lanjutnya lagi.

Tangan kanan kak Hengky terulur ke arah wajahku dan membelai lembut pipi kiriku. Aku dapat melihat kak Hengky yang sedang menatapku dengan ke dua mata teduhnya.

“Hai jangan berwajah seperti itu! Kamu jadi terlihat jelek,” kak Hengky mencubit hidungku, “ah apa itu yang ada di belakang telinga kirimu?” tanya kak Hengky.

Belum sempat aku memegang telingaku, kak Hengky sudah lebih dulu memegangnya.

“Coklat? Kamu kesini sambil mambawa coklat di telingamu?” tanya kak Hengky sambil memperlihatkan sebuah coklat yang berbentuk coin besar.

Aku cuma menatap bingung kearah coklat itu. Tapi sedetik kemudian aku tertawa pelan karena ulahnya. Kak Hengky bermain sulap ^^.

“Ini buatmu,” kata kak Hengky sambil menyodorkan coklat berbentuk coin besar itu ke arahku.
“Makasih,” akupun langsung menerima coklat pemberiannya itu dengan senang hati.
“Ya sudah aku antar kamu pulang sekarang. Si nenek itu pasti kebingungan mencarimu,” kata kak Hengky sambil membukakan pintu mobil untukku.
“Maaf kak, tapi aku nggak bisa pulang sekarang. Masih ada urusan yang harus aku selesaikan,” kataku, “ya biarpun sudah terlambat,” desisku.

Iya aku sudah terlambat. Lagian langitnya sudah semakin mendekati gelap. Mungkin ini sudah jam 6 sore, atau lebih. Aku nggak yakin kalau Rico masih ada di sana.

“Aku antar aja biar cepat.”
“Nggak kak. Aku nggak mau ngerepotin kakak.”
“Nggak ngerepotin kok.”
“Itu…aku…ehm…maaf tapi aku bisa ke sana sendiri.”
“Kenapa? Kenapa aku nggak boleh nganter kamu? Apa itu urusan pribadi?” tanya kak Hengky yang sukses membuatku menundukkan kepalaku, “jadi benar ya,” desisnya.
“Maaf,” kataku lirih.

Aku masih tertunduk dengan perasaan bersalah. Alasan kenapa aku nggak mau di anter kak Hengky karena takut membuat kak Hengky kecewa, tapi rasanya aku sudah membuatnya kecewa. Sejak dulu aku memang nggak bisa menutupi apapun darinya. Rasanya dialah yang lebih tau tentang diriku daripada aku sendiri.

“Hai kenapa jadi murung gitu sih?! Aku kan nggak nyalahin kamu, lagian kamu juga nggak salah,” kata kak Hengky sambil mengusap kepalaku pelan, “pergilah! Jangan bikin dia menunggu terlalu lama.”
“Kak,” aku mengangkat wajahku untuk menatapnya.

Aku melihat kak Hengky tersenyum.

“Pergilah!” desisnya.

Untuk beberapa saat aku masih ragu untuk beranjak meninggalkannya sendirian tapi pada akhirnya kakiku bergerak juga melewatinya.

“Tunggu Gung!” panggil kak Hengky yang membuat langkahku terhenti dan membuatku memutar tubuhku menghadap ke arahnya, “ada yang ingin aku tanyakan.”
“Hmm…kakak mau tanya apa?” tanyaku penasaran.
“Apa kamu menyesal karena pernah menyukaiku?” aku terhenyak mendengar pertanyaan kak Hengky tapi sedetik kemudian senyumku mengembang di bibirku.
“Aku nggak pernah menyesal,” kataku masih dengan senyuman di bibirku.

Kak Hengky juga ikut tersenyum ke arahku.

“Pergilah!”

Tanpa banyak bicara lagi, aku langsung berlari meninggalkan kak Hengky. Aku terus berlari ke arah pusat kota. Lumayan jauh memang. Bukan lumayan, tapi memang jauh. Aku ingin naik ojek atau taxi biar cepat sampai, tapi itu mustahil. Ini gara-gara aku nggak membawa apa-apa saat keluar rumah tadi. Dompet dan hp tertinggal di kamarku hiks… Kenapa aku bisa sebego ini sih?! Semoga saja Rico masih ada di sana menungguku.

Langkahku terus terpacu. Aku sudah nggak peduli tatapan heran dari orang-orang yang melihatku berlari sepanjang jalan di trotoar (tau kan apa itu trotoar??). Aku nggak peduli tetesan keringat yang membanjiri dahi dan seluruh tubuhku. Aku nggak peduli betapa capeknya aku saat ini. Karena ini nggak seberapa jika di bandingkan Rico yang menungguku dengan perasaan yang belum terbalaskan. Aku belum membalas perasaannya.

Aku menghentikan langkahku setelah sampai di pusat kota yang sudah mulai ramai. Ku seka keringat yang membanjiri keningku dan leherku. Nafasku naik turun seperti habis lari marathon. Hmm… mungkin aku memang habis lari marathon –a. Setelah mendapatkan cukup oksigen, aku mulai masuk ke dalam taman dan mencari Rico. Ku pandangi satu per satu cowok yang duduk sendirian di bangku-bangku taman itu. Tapi sudah hampir setengah jam aku menyusuri taman ini, aku sama sekali nggak menemukan sosoknya. Pencarianku mulai beralih ke penjual makanan yang berada di sisi taman ini. Ku perhatikan satu persatu warung yang ada di sana. Mataku terus mencari sosoknya dari warung ke warung, tapi tetap saja nihil. Aku nggak menemukannya.

Mungkin aku sudah menjadi orang terbego sedunia. Aku bisa saja pulang lalu menelfonnya atau mengiriminya sms. Aku juga bisa menemuinya di sekolah besok. Tapi nggak tau kenapa aku merasa sangat bersalah padanya kalau aku melakukan itu.

Akhirnya aku menyerah juga mencarinya. Dengan langkah gontai, aku kembali ke taman dan duduk di salah satu bangku yang kosong. Aku langsung memijat pahaku yang terasa kaku karena kebanyakan berlari.

Percuma aku kesini. Rico sudah pulang. Nggak mungkin dia menungguku sampai jam segini. Aku yang bego, sudah bikin dia menunggu selama itu. Hhuuuuffffhhh…dia pasti marah sama aku. Kalau nanti aku sudah sampai rumah, aku mau langsung telfon dia aja untuk minta maaf dan menyatakan perasaanku padanya. Moga-moga aja dia nggak marah sama aku.

“Awe? Awe kan?” tiba-tiba sebuah suara yang sangat kukenal terdengar tepat di depanku.

Aku langsung mengangkat wajahku dan berdiri saat melihat sosoknya.

“Rico,” desisku.

Senyum lebar langsung merekah di bibirnya.

“A…aku kira kamu udah pulang,” kataku pelan.
“Nggak kok. Daritadi aku di sini, nunggu kamu. Tapi tadi aku cari makan dulu, laper sih,” sahut Rico yang membuatku semakin merasa bersalah.
“Maaf,” desisku sambil menundukkan kepalaku.
“Nggak apa-apa. Yang penting kan kamu udah datang,” kata Rico sambil mengusap kepalaku pelan, “kok kamu keringetan ini? Habis lari-lari ya?”
“I..ini aku…”
“Nih minum dulu,” potong Rico sambil menyodorkan minuman kaleng ke arahku.
“Makasih,” aku langsung mengambil minuman kaleng pemberiannya itu dan langsung meminumnya.

Setelah itu kami berdua langsung duduk bersebelahan.

“Aku pikir tadi kamu nggak datang,” kata Rico pelan.
“Maaf. Ta…tadi mendadak ada urusan penting,” sahutku.
“Urusan penting? Memangnya urusan apa?” tanya Rico penasaran.
“I…itu aku…aku di suruh menjaga rumah,” jawabku asal.
“Ja…jaga rumah?” Rico menatapku aneh, sedangkan aku cuma mengangguk cepat.

Aduuhhh…pasti aneh ya jawabanku tadi hiks… Jaga rumah, apanya yang penting dari jaga rumah >.<. Tapi mau gimana lagi, aku benar-benar nggak punya jawaban yang pas. Sebenarnya aku mau memberitahu Rico tentang semuanya, tapi aku takut Rico akan marah padaku lalu membenciku. Aku takut kalau Rico akan menjauh dariku kalau dia tau semuanya tentangku :’(. Mungkin aku egois karena merahasiakan semua darinya. Tapi bukankah setiap manusia itu punya satu atau dua rahasia dalam hidupnya?? Nggak ada salahnya kan merahasiakan masa laluku kalau tujuannya untuk mempertahankan seseorang yang sangat berharga di hidupku?? Aku nggak mau kehilangan Rico. Jadi biarlah rahasiaku itu tetap menjadi sebuah rahasia.

“A…aku su…suka sama kamu Ric,” akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulutku.
“…”
“…”
“…”

Hening, nggak ada tanggapan. Perlahan-lahan aku mulai mengangkat wajahku menatap ke arahnya. Terlihat wajah Rico yang di selimuti kekagetan. Dia menatapku dengan mata yang melebar dan mulut yang sedikit terbuka.

“Ric?!” panggilku yang langsung membuat Rico sadar dari rasa kagetnya.
“Ap…apa? Tadi kamu bilang apa?” tanyanya.
“A..aku bilang kalau aku suka sama kamu,” kataku pelan nyaris berbisik, “itulah perasaanku ke kamu,” kataku lagi sambil menundukkan kepalaku dalam-dalam.
“Benarkah?” aku mengangguk, “kamu nggak bohong kan?” aku menggeleng, “jadi sekarang kita pacaran?” aku mengangguk, “YES!!!” tiba-tiba Rico berteriak keras sekali dan langsung memelukku, tapi nggak sampai sedetik dia sudah melepaskan pelukannya itu.

Aku tersenyum saat melihat Rico yang salah tingkah karena mendadak jadi pusat perhatian orang-orang yang ada di sekitar kami. Dia senyum-senyum nggak jelas untuk mengurangi rasa malunya, dan sesekali dia menggaruk kepala belakangnya.

“Setelah ini, kamu akan terus mendengar suaraku,” desisku.
“Apa?” tanya Rico yang ternyata nggak mendengar kata-kataku barusan.

Aku tersenyum menatap Rico yang wajahnya kini di penuhi berbagai ekspresi.

“Enggak…bukan apa-apa,” kataku masih dengan tersenyum.

Aku sedikit tersentak kaget saat merasakan Rico mengenggam tangan kiriku dengan tangan kanannya.

“Nggak apa-apa kan aku pegang tanganmu gini?”
“I…iya nggak apa-apa.”
“Aku bakal sering memegangnya seperti ini.”
“Hu’um, terserah.”
“Aku juga akan hmm…menciummu.”
“I…iya.”
“Ka…kalau ML?” aku menatapnya syock tapi setelah itu aku langsung menundukkan kepalaku dalam-dalam.

ML??? Waaaaaaaa…. Nggak mikir sampai sana >.<

“Kalau kamu diam aja, berarti aku anggap nggak apa-apa,” katanya, sedangkan aku masih diam sambil menggigit bibir bawahku.

Aku lupa kalau Rico sedikit…ehm…mesum –a





~Alvin Pov~
Hari ini adalah hari terakhir tryout. Karena nggak ada pelajaran selain tryout, jadi anak-anak langsung pulang saat bel berbunyi.

“Vin, seminggu lagi kan aku ultah, mana kadoku?” tanya Rico yang kini sudah santai dan duduk di atas mejanya sendiri, sedangkan kakinya bertumpu pada kursinya.
“Ultahmu kan masih seminggu lagi. Masa minta kadonya sekarang,” cibirku sambil tertawa kecil, “emangnya mau kado apa?”
“Ehm…apa ya. Aku minta kamu terus jadi temanku,” aku langsung tertawa mendengar permintaannya.
“Nggak usah di minta bakal aku lakuin Ric,” desisku.
“Good boy,” Rico mengusap kepalaku sampai rambutku berantakan.

Aku cuma mendengus sambil merapikan rambutku seperti semula.

“Alvin…Rico…,” panggil suara yang sangat khas di telingaku. Awe, “ayo pulang!” ajak Awe setelah sampai di samping mejaku.
“Ayo,” sahut Rico, “Ayo pulang Vin!” ajak Rico padaku.

Aku terdiam sejenak sambil memutar sedikit kepalaku untuk melihat kebelakang. Terlihat Pandu masih duduk di bangkunya. Kelihatannya dia lagi membaca ulang soal tryout yang memang boleh di bawa pulang.

“Aku pulang sama Pandu aja,” kataku akhirnya.
“Serius?”
“Hu’um.”
“Yakin?”
“Yakin. Udah lah sana pulang aja dulu!” aku segera mendorong-dorong Rico sampai turun dari atas meja.
“Ya udah kami duluan ya,” pamit Rico sambil menarik tangan Awe.
“Dadaaa Vin… Dadaaa Pandu,” pamit Awe padaku dan Pandu secara bergantian.
“Ya,” sahutku dan Pandu hampir bersamaan.

Setelah itu Rico dan Awe keluar kelas.

Aku senang melihat perubahan Awe akhir-akhir ini. Awe sudah nggak berkomunikasi lewat notes lagi. Katanya sih capek kalau harus nulis tiap mau ngomong. Tapi rasanya bukan masalah capek atau nggaknya. Kalau dia capek nggak mungkin bisa bertahan selama 6 tahun dengan notesnya. Tapi itu semua sudah nggak penting lagi. Aku nggak mau bertanya macam-macam ke Awe. Takut Awe jadi mengingat masa lalunya yang bikin dia trauma.

“Kenapa nggak pulang bareng mereka?” tanya Pandu yang tiba-tiba sudah ada di sampingku.
“Aku mau bareng kamu. Boleh kan?” tanyaku.
“Boleh aja sih. Yuk pulang sekarang,” ajak Pandu.
“Pan!” panggilku saat berhasil menyusul Pandu yang sudah jalan lebih dulu.
“Hmm?”
“Aku mau ke kosmu aja. Nanti agak sore’an baru pulang. Boleh nggak??”
“Boleh aja sih. Yuk!”

Akhirnya aku ikut Pandu ke kosnya. Lagian hari ini aku nggak ada kerjaan di rumah. Ya tiap hari aku memang nggak ada kerjaan di rumah. Kalaupun aku pulang ke rumah, paling-paling kerjaanku cuma makan, tidur, main piano, main game, main laptop, liat TV… Boseeeennnn… Ginilah nasib anak tunggal yang ortunya selalu sibuk kerja. Nggak akan punya temen di rumah. Biarpun aku punya Rico, tapi tetep aja beda. Dia tetep bukan saudara kandungku. Apalagi akhir-akhir ini dia jarang banget main ke rumah. Rasanya dia sudah dapat pacar baru, jadi lupa deh sama aku. Hmm…nggak apa-apa deh yang penting sekarang aku punya Pandu ^^.

“Yuk masuk!” ajak Pandu setelah memarkir motornya.

Aku dan Pandupun masuk ke dalam. Ternyata di ruang tamu ada Dodo dan Ipang. Dodo sedang duduk di sofa, sedangkan Ipang berjongkok di depan Dodo dan membersihkan sesuatu di kaki kiri Dodo. Aku bergidik ngeri ketika melihat banyak darah di celana panjang Dodo. Darah itu keluar terus sampai membasahi celana panjangnya yang sebelah kiri.

“Ada apa sih?” tanya Pandu yang mendekat kearah mereka, sedangkan aku cuma mengikutinya dari belakang.
“Jatuh,” jawab Dodo sambil meringis kesakitan.
“Nabrak yang bener,” sahut Ipang yang sedang menggulung celana Dodo sampai di atas lutut.
“Kok bisa?” tanya Pandu lagi.
“Musibah,” jawab Dodo yang masih meringis kesakitan.
“Sok keren mau pamer,” sahut Ipang yang langsung di timpuk bantal sofa sama Dodo.
“Aku kan nggak sengaja. Namanya juga musibah,” dengus Dodo kesal.
“Terus lawannya apa?” tanya Pandu lagi.
“Sepeda motor juga. Anak SMA,” sahut Ipang yang kini membersihkan luka Dodo dengan berbagai cairan yang aku nggak tau itu cairan apa, sedangkan Dodo sendiri sibuk membersihkan luka yang ada di siku kirinya yang berdarah.
“Anak itu nggak apa-apa kan?” tanya Pandu.
“Nggak apa-apa. Aku yang kenapa-kenapa,” gerutu Dodo.
“Salahmu sendiri,” sahut Pandu sebelum meninggalkan ruang tamu.

Sedangkan aku memilih duduk di sofa yang kosong untuk memperhatikan kegiatan Dodo dan Ipang.

“Apa itu sakit?” tanyaku pada Dodo.
“Ya jelas sakit lah,” jawab Dodo kesal.
“Kok bisa tabrakan gitu sih?” tanyaku lagi.
“Ya namanya aja ngebut,” jawab Dodo dengan nada kesal.

Aku terdiam. Aku baru sadar kalau sosok Pandu juga nggak lepas dari jalanan dan balapan. Kapan saja dan di mana saja, dia bisa mengalami hal yang sama seperti Dodo, atau mungkin lebih parah.

TEK…

Tiba-tiba Yoga datang dan langsung meletakkan sepiring penuh kacang goreng di atas meja.

“Kamu di panggil Pandu tuh. Katanya di suruh makan dulu,” kata Yoga sebelum membuka kulit kacang dan memakan isinya.

Akupun langsung melesat ke dapur untuk menemui Pandu.

“Sedang apa?” tanyaku saat melihat Pandu yang sibuk di dekat kompor.
“Masak mie buat makan siangmu,” jawab Pandu yang kini sudah berdiri di depan meja makan dan menggunting bungkus bumbu mie instant.

Akupun langsung duduk di kursi meja makan dan memperhatikan Pandu dari dekat.

Sebenarnya aku nggak suka makan makanan yang serba instant. Tapi aku nggak enak hati kalau menolaknya. Apalagi setelah melihat Pandu yang sudah repot-repot mau membuatnya untukku.

“Kalau mau makan sama nasi, nasinya ada di lemari,” kata Pandu.
“Iya.”

Aku melihat Pandu yang kini sedang menuang semua bumbu mie instant ke dalam piring. Ternyata dia membuatkanku mie instant goreng.

“Pan,” panggilku.
“Hmm?” Pandu menatap ke arahku sambil mengaduk bumbu yang sudah ada di dalam piring dengan sendok (kebiasaanku hahahaha…).
“Apa…apa kamu nggak bisa berhenti dari eng.. hobby balap’mu?” tanyaku hati-hati.
“Hmm…rasanya sih nggak bisa. Kenapa tanya gitu?” Pandu bertanya balik.

Kini dia sudah ada di depan kompor dan memasukkan mie ke dalam panci yang sudah berisi air mendidih.

“Aku cuma takut kalau kamu terluka kayak Dodo,” jawabku apa adanya.

Aku melihat Pandu sedang membersihkan meja dari bungkus mie yang sudah kossong.

“Aku sudah sering terluka karena hobby’ku itu tapi nyatanya aku nggak apa-apa,” kata Pandu sambil mencuci tangannya di wastafel.
“Kenapa? Kenapa masih mempertahankan hobby yang bisa bikin nyawa melayang??” tanyaku nggak mengerti.

Aku bingung dengan Pandu dan teman-temannya yang suka mempertaruhkan nyawa nya untuk hobby yang sekali nggak berguna. Bukankah banyak hobby yang lebih menguntungkan dan nggak membahayakan nyawa?! Misalnya melukis atau membaca.

Pandu tersenyum kearahku. Dia menarik salah satu kursi dan mendekatkan kursi itu ke kursiku. Setelah itu dia duduk di kursi itu menghadapku. Aku pun memutar tubuhku dan duduk menghadapnya.

“Aku sudah jatuh hati dengan motor sejak aku masih kecil. Dan aku senang sekali waktu Aan memberiku sebuah motor. Aku langsung mencobanya. Awalnya aku mengendarai motorku itu dengan sangat pelan, tapi sedikit demi sedikit aku menambah kecepatannya. Makin lama makin cepat dan cepat bahkan sangat cepat. Kamu tau apa sensasi yang aku rasakan saat itu?” aku menggeleng tanda aku nggak tau, “aku seperti terbang. Pokoknya benar-benar menyenangkan,” desisnya.
“Terbang?” tanyaku bingung.
“Iya. Terbang. Aku seperti terbang menantang maut. Mungkin aku sinting, tapi saat itu aku merasa menjadi orang paling hebat dari yang terhebat. Saat aku focus menyetir, aku juga bisa mendengar suara angin yang seolah-olah sedang bersenandung di telingaku. Rasanya benar-benar berbeda dengan suara angin yang sedang berhembus biasa. Dengan balapan aku bisa melihat dunia lain yang nggak akan pernah bisa di lihat oleh kebanyakan orang.”
“Tapi itu sangat berbahaya. Gimana kalau kamu sampai terluka parah?”
“Aku sudah mengalaminya dan itu aku anggap sebagai bonus dari hobby ku yang menantang itu. Kalau aku mengalaminya lagi, aku akan menerimanya dengan senang hati,” aku terhenyak mendengar kata-katanya.

Begitu cintakah dia sama hobby nya itu? Kenapa dia bisa bercerita dengan semangat tentang hobby yang bisa mencabut nyawanya kapan saja?

“Kalau aku memintamu untuk berhenti balapan gimana?” tanyaku lirih, “berhentilah balapan. Tinggalkan jalanan demi aku. Kalau kamu nggak bisa berhenti, aku akan menjauhimu karena aku nggak akan bisa melihatmu terluka,” Pandu terhenyak mendengar kata-kataku.

Dia seperti menyadari sesuatu dari kata-kataku dan langsung menggenggam ke dua tanganku.

“Kamu memintaku untuk memilih?” tanya Pandu.
“Ya. Aku memintamu untuk memilih,” jawabku dengan menatap lurus ke dalam bola mata hitam milik Pandu.

Aku ingin dia tau kalau aku serius dengan kata-kataku. Mungkin aku jahat dan egois karena sudah membuat dia harus memilih di antara aku atau hobby nya. Tapi itu aku lakukan untuk kebaikannya.

Pandu masih diam sambil terus menatapku, tapi tiba-tiba saja dia melompat kaget dan langsung menghampiri kompor.

“Hah…jadi lembek deh,” dengus Pandu kesal sambil mematikan kompor.

Pandu langsung membuang air panasnya itu ke wastafel, setelah itu dia menuangkan mie nya ke dalam piring. Sedangkan aku berjalan ke wastafel untuk mencuci tanganku. Nggak tau kenapa suasana di dapur menjadi kaku. Aku tau ini semua salahku. Aku bukan siapa-siapanya tapi sudah meminta dia untuk memilih antara aku atau hobby nya. Jelas Pandu akan lebih memilih hobby yang sudah menjadi bagian dalam hidupnya sejak kecil.

Haaaahhh…dasar Alvin bego.

DEG…

Aku kaget waktu melihat Pandu yang tau-tau sudah ada di belakangku. Diapun mendekat ke arahku lalu merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya. Rasa nyaman langsung menjalar di tubuhku.

“Kamu pasti tau kan mana yang akan aku pilih?!” aku mengangguk pelan dalam pelukannya, “aku pasti akan memilihmu,” aku kaget dan langsung mengangkat wajahku melihatnya.
“Aku?” tanyaku memastikan.

Pandu tersenyum lalu mengangguk. Aku jadi terdiam. Aku sama sekali nggak menyangka dia akan memilihku daripada hobby nya itu.

“Tapi beri aku waktu. Aku nggak bisa berhenti semudah itu. Beri aku waktu sedikit lagi. Aku akan berhenti dan meninggalkan semuanya demi kamu. Makanya kamu jangan menjauhiku,” kata Pandu pelan.

Aku nggak menanggapi kata-katanya. Aku hanya tersenyum dalam pelukannya dan mulai melingkarkan tanganku ke tubuhnya, membalas pelukannya. Tapi nggak tau kenapa, tiba-tiba saja aku menjadi sangat sedih. Aku merasa ada yang kurang di sini. Aku merasa belum mendapatkan apa yang aku inginkan. Dan aku langsung mengutuk diriku sendiri karena sudah menjadi orang yang serakah.


~Pandu Pov~
“Jadi kamu mau berhenti balapan?” tanya Aan.
“Iya,” jawabku.

Saat ini aku, Aan, Vino, Ipang, Yayan dan Oboy sedang bermain kartu di ruang tamu kos. Kami semua duduk melingkar di karpet untuk memudahkan bermain kartu. Sebenarnya aku ada kerjaan di bengkel, tapi Aan memaksaku libur untuk beberapa bulan bulan ke depan supaya aku belajar dan berkonsentrasi pada UAN yang semakin dekat. Aku sih senang-senang saja di kasih cuti beberapa bulan dengan gaji tetap, nggak ada potongan. Tapi aku bukanlah orang yang suka belajar. Daripada belajar, aku lebih suka bermain. Tadi Aan kesini niatnya mau mengawasiku belajar, tapi pada akhirnya dia sendiri yang mengusulkan bermain kartu karena bosan. Dasar payah.

“Kenapa? Bukannya kamu suka tantangan?” tanya Aan sambil melempar kartunya.
“Aku memang sangat menyukainya. Motor dan balapan adalah bagian dari hidupku,” kataku, “As,” seruku sambil melempar kartu as keriting di tumpukan kartu yang lain.

Karena aku yang menang, jadi aku langsung mengeluarkan kartuku lagi dan melemparnya ke tengah ruangan.

“8 hati,” desis Ipang setelah melihat kartuku
“Terus kenapa mau berhenti?” tanya Aan.
“Karena ada seseorang yang terus mengkhawatirkanku.”
“Siapa? Alvin?” tanya Aan dan aku langsung mengangguk.

Untuk sesaat kami terdiam dan meneruskan permainan kartu kami.

“Aku nggak bisa melarangmu berhenti balapan. Itu hak mu. Tapi apa kamu sudah memikirkannya dengan sungguh-sungguh? Balapan kan sudah jadi bagian dari hidupmu.”
“Aku sudah memikirkannya kok. Aku nggak mau membuat dia khawatir. Aku juga nggak mau dia menjauhiku karena hobby ku ini,” kataku, “CURANG!!” teriakku waktu melihat Vino yang seenaknya mengganti kartu yang sudah di lemparkannya dengan kartu lain.
“Apaan sih?! Aku kan cuma mengganti dengan kartu yang sama. Sama-sama kartu sekopnya,” gerutu Vino.
“Itu namanya curang Vin,” dengus Yayan kesal.
“NGGAK CURANG,” protes Vino dengan berteriak.
“CURANG,” teriak Ipang.
“JANGAN TERIAK DI DEKAT TELINGAKU!!” bentak Oboy sambil mendorong tubuh Ipang.
“JANGAN TERIAK-TERIAK!!” bentak Aan jengkel yang langsung membuat Yayan, Vino,Ipang dan Oboy terdiam.

Mau nggak mau aku jadi tertawa melihat tingkah mereka.

“Aku udahan aja deh,” kataku sambil meletakkan sisa kartu yang masih aku pegang, setelah itu aku beranjak dari karpet dan duduk di sofa.

Aku langsung merogoh kantong celanaku, mengambil rokok dan korek. Setelah mengambil satu batang dan menyulutnya, aku melemparkan bungkusan rokok dan korek itu ke anak-anak yang masih duduk di karpet. Mereka langsung mengambil sebatang-sebatang dan langsung menyulutnya. Dalam sedetik ruang tamu ini menjadi minim oksigen. Kepulan-kepulan asap rokok berkuasa menggantikan oksigen yang tadi menjadi raja di tempat ini.

“Dasar payah. Kalau ada rokok langsung deh rebutan,” dengus Aan yang berjalan ke arahku dan duduk di sofa yang ada di depanku.
“Anak buahmu tuh,” sindirku sebelum menghisap dalam-dalam rokokku lalu menghembuskan asapnya lewat hidung, sedangkan Aan cuma nyengir-nyengir nggak jelas.
“Terus Pan…kamu sebenernya gimana sama Alvin?” tanya Aan.
“Gimana apanya?” tanyaku bingung.
“Kamu itu sudah jadian ya sama dia?” tanya Aan hati-hati.
“Nggak tuh. Rasanya aku nggak bakal jadian,” jawabku pelan.
“Kenapa?”
“Kok masih tanya ‘kenapa’? Ya jelas karena kami sama-sama cowok, makanya nggak bisa jadian,” kataku jengkel.

Mendadak emosiku naik. Aku jengkel dengan pertanyaan Aan dan jawabanku sendiri.

“Ya aku kan cuma mau memastikan aja. Habisnya siapapun yang melihat perhatian dan kedekatanmu sama dia, pasti tau kalau kalian ini ada apa-apanya,” kata Aan pelan dan hati-hati.

Dia takut kalau aku tambah emosi. Tapi dasar Aan yang selalu ingin tau, dia pasti akan bertanya terus biarpun tau lawan bicaranya punya emosi tinggi super akut.

Aku langsung menghela nafas panjang supaya emosiku mereda. Nggak lucu aja kalau tiba-tiba aku ngamuk-ngamuk nggak jelas karena masalah sepele. Yah…mungkin nggak bisa dibilang sepele juga sih karena ini menyangkut perasaanku.

“Kalau aku sama Alvin ‘ada apa-apanya’ emang kenapa? Ngerugiin mereka? Ngerugiin kamu?” tanyaku ketus.

Ternyata emosiku belum surut.

Aku langsung menghisap rokokku lagi lalu menghembuskan asapnya kuat-kuat. Setelah itu aku langsung membuang abunya ke lantai. Jorok? Nggak juga, itu terpaksa aku lakukan karena asbaknya di monopoli sama anak-anak yang masih asyik main kartu di bawah sana.

Sebenernya aku tau maksud pertanyaan Aan. Aan cuma mau tau apa aku punya hubungan khusus sama Alvin. Tapi aku terlanjur jengkel karena pertanyaannya nggak bisa aku jawab. Akhirnya aku malah jadi emosi dan mengatakan sesuatu yang nggak ada kaitannya sama pertanyaan Aan.

“Hmm…lupain aja deh. Nggak penting juga kok,” kata Aan sambil tertawa kecil.

Setelah itu dia beranjak meninggalkan ruang tamu menuju belakang. Mungkin dia mau ke toilet atau ke dapur untuk mencari makanan. Sepertinya dia berusaha mengakhiri percakapan yang bisa menaikkan emosiku sewaktu-waktu. Keputusan tepat. Karena kalau dia nggak segera berhenti membahas hal ini, aku bisa membuat kos-kos’an ini jadi neraka kurang dari semenit.

TING…TONG…

Ada tamu.

Yayan yang sedang asyik main kartu akhirnya terpaksa berjalan keluar untuk membukakan pintu pagar setelah mendapat tatapan tajam dariku. Setelah kepergian Yayan aku langsung berjalan ke belakang pintu untuk mengambil sapu. Aku nggak mau lantai yang sudah kotor jadi tambah kotor gara-gara abu rokokku tadi.

“Panduuuuuuuu…” tiba-tiba ada yang meneriakkan namaku dan sedetik kemudian aku merasakan sebuah pelukan di belakang tubuhku.
“A…Awe?” desis kaget saat mengetahui siapa yang baru saja meneriakkan namaku dan memelukku.

Awe melepaskan pelukannya saat aku memutar tubuhku menghadap ke arahnya.

“Kamu ngapain ke sini?” tanyaku bingung.
“AAAHHHHHH…KAMU NYULIK ANAK ORANG YA, PAN?” tiba-tiba Vino berteriak histeris.
“Ya ampun Pan, kita bisa di tangkap polisi,” kata Oboy sambil melotot ke arahku.
“Hah?” aku yang bingung cuma melihat Oboy dan Vino secara bergantian.

Oboy dan Vino terlihat sangat panic. Bahkan Ipang dan Yayan juga nggak kalah panic.

“Ck…bukan!! Dia ini temen sekelasku. Namanya Awe,” dengusku kesal.
“Eh? Temen sekelas? Aku kira dia anak SMP yang kamu culik,” Vino langsung berjalan medekatiku dan Awe, “kamu anak SMA?” tanya Vino ke Awe yang langsung di jawab anggukan kepala oleh Awe, sedangkan aku cuma berdecak kesal karena di tuduh menculik anak orang.
“Beneran anak SMA?” tanya Vino lagi.
“Iya,” jawab Awe pelan.
“Hmm…gitu. Oh ya, ayo duduk dulu,” Vino mempersilahkan Awe duduk.

Awepun langsung duduk di sofa yang tadi aku duduki, sedangkan Vino kembali duduk di karpet. Aku? Aku menyapu lantai yang tadi kena abu rokokku.

“Kok mau-maunya kenal sama Pandu? Jangan-jangan kamu di ancam terus di jadiin budaknya ya?”

PLAAAK..

“ANJRIT…SAKIT BEGO!!!” teriak Vino karena pahanya aku pukul pakai ujung sapu.

Vino yang kesakitan langsung memegangi pahanya yang memerah. Sedangkan Ipang, Yayan dan Oboy cuma tertawa melihat Vino.

“Makanya jangan tanya yang aneh-aneh! Mana pernah aku nyulik anak orang, apalagi ngancam orang sampai mau jadi budakku?! Nggak pernah kan. Makanya jaga mulutmu!” dengusku kesal, “terus We…ngapain kamu kesini? Tau tempat kosku darimana?” tanyaku ke Awe.

Karena setahuku aku nggak pernah ngasih tau alamat kos-kos’sanku ke Awe.

“Alvin,” jawab Awe dengan tampang polosnya.

Pantes.

“Terus ngapain kesini?” tanyaku lagi untuk yang ke tiga kalinya (coba d hitung ^^).
“Cuma mau main sama kamu,” jawab Awe dengan mata berbinar-binar yang langsung di sambut ‘Ooooooo….’ oleh Oboy, Ipang, Vino dan Yayan dengan nada yang menyebalkan.
“Selingkuh itu indah,” tiba-tiba Oboy buka mulut.
“Kasian Alvin,” Ipang juga ikut bersuara.
“Dikhianati,” timpal Vino.
“Kalian mau mati ha???!!!!” aku langsung menatap tajam kearah tiga makhluk nggak penting itu, “main yang dia maksud bukan ‘main’ seperti itu,” dengusku kesal.

Ketiga makhluk nggak penting itu langsung melanjutkan permainan kartu mereka daripada melayani emosiku.

“Kenapa kok nggak main sama Alvin aja?” tanyaku ke Awe.

Akupun melanjutkan menyapu lantai. Sesekali aku melihat kearah Awe yang sedang duduk manis di sofa.

“Habisnya Alvin lagi keluar sama ortunya. Aku nggak mau ganggu di…”
“Siapa yang datang?” tiba-tiba Aan muncul dari dalam dengan betelanjang dada sehingga menunjukkan tattoo di seluruh tubuhnya, “siapa bocah kecil ini?” tanya Aan saat menyadari keberadaan Awe.
“Temenku sekolah,” jawabku malas.
“Wiihhh…serius? Aku kira anak SMP,” kata Aan keget.

Aan berjalan mendekati Awe dan mengulurkan tangannya.

“Kenalin, aku Aan. Kamu?” tanya Aan.

Awe cuma terdiam. Tiba-tiba Awe berdiri dan langsung berlari kearahku.

“Ke…kenapa?” tanyaku kaget waktu Awe memelukku.

Aku berusaha melepaskan pelukan Awe. Tapi Awe tetap nggak mau melepaskan pelukkannya. Dia makin mempererat pelukannya dan menyembunyikan wajahnya ke dadaku.

“Kamu nggak apa-apa kan?” tanyaku ke Awe waktu melihat tubuhnya sedikit bergetar, tapi Awe cuma diam saja.
“Kenapa dia?” tanya Aan bingung.
“Nggak tau,” jawabku nggak kalah bingung.

Aku masih berusaha melepas pelukannya dengan pelan, takut aku mengasarinya. Tapi percuma karena Awe tetap nggak mau melepas pelukannya. Nggak lama kemudian aku mendengar isak tangis tertahan dari mulut Awe

“Lho…lho…lho…kamu kenapa?” tanyaku panic, tapi lagi-lagi Awe cuma diam.
“Kamu apain dia kok sampai nangis gitu?” tanya Aan nggak kalah panic.
“Kok aku?! Dia nangis kan setelah liat kamu,” dengusku kesal.
“Hai kamu kenapa?” tanya Oboy yang ikut panic.

Oboy berusaha melepaskan tangan Awe yang melingkar di pinggangku. Tapi percuma, Awe jadi lebih mempererat pelukannya lagi.

“Eh itu ada kupu. Kupu-kupu’nya cantik,” Ipang berusaha membujuk Awe dengan kebohongannya.
“Dia bukan anak TK, Pang!” gerutuku kesal.
“Ah iya tadi Pandu belum mandi jadi bau. Kamu jangan nempel-nempel sama dia ya,” kata Vino yang langsung mendapat tatapan mematikan dariku.

Enak aja dia bilang aku belum mandi.

“Di…dia juga punya tattoo yang sama dengan orang itu,” desis Awe di sela-sela isak tangisnya.
“Aan maksudmu?” tanyaku yang mendapat anggukan kepala dari Awe, “dia nggak jahat kok. Biarpun terkesan nyeremin, tapi dia itu orang baik.”
“Enak aja. Daripada aku, masih nyeremin kamu tau,” dengus Aan kesal.
“Masa sih? Buktinya dia takut liat kamu,” balasku nggak mau kalah.
“Udah-udah nggak usah ribut sendiri. An, kamu buruan ngumpet di mana dulu gitu biar Awe nggak takut,” kata Yayan sambil mendorong tubuh Aan.
“Apaan sih?!” Aan langsung menepis tangan Yayan, “aku akan buktiin ke dia kalau aku ini nggak nyeremin,” dengus Aan kesal sambil berjalan mendekat ke arahku dan Awe lagi.
“Awe…aku nggak nyeremin kok. Udahan ya nangisnya,” Aan berusaha membujuk Awe.
“Iya We. Kamu kan sudah besar. Masa takut liat tattoo. Tattoo kan nggak bisa nggigit orang,” akupun ikut membujuk.

Awe masih terisak di dadaku. Tubuhnya semakin bergetar hebat saat merasakan tangan Aan menyentuh tangan dan pundaknya.

“Kamu pakai aja dulu bajumu, biar dia nggak takut-takut amat sama kamu,” kataku ke Aan, “Yan, tolong kamu telfon Alvin, tanya gimana cara menenangkan Awe yang nangis,” kataku sambil melemparkan hp ku kearah Yayan.

Aan pun langsung melesat ke dalam lagi, sedangkan Yayan langsung menelfon Alvin, sementara aku, Oboy, Vino dan Ipang masih sibuk membujuk Awe supaya berhenti menangis.

“Awe udah dong nangisnya,” bujuk Aan yang sudah kembali ke ruang tamu dengan baju yang sudah melekat di tubuhnya.
“Katanya di suruh ngasih coklat atau makanan yang dia suka,” kata Yayan setelah menutup telfon.
“Cuma itu?” tanyaku nggak yakin.
“Iya cuma itu,” jawab Yayan sambil mengembalikan hp ku.
“Ada apa ini?” tanya Dodo yang tiba-tiba masuk ke dalam kos bersama Johan, “siapa dia?” tanya Dodo setelah melihat ada orang yang nggak di kenalnya.
“Temenku,” jawabku singkat.
“Kok nangis?” tanya Dodo lagi.

Kini dia mendekat ke arahku dan Awe. Dia melihat bingung ke Awe yang masih terisak dalam pelukkanku. Sedangkan Johan dengan cueknya duduk di sofa sambil menyalakan rokoknya. Dia sama sekali nggak tertarik dengan peristiwa yang sedang terjadi di dalam kos-kos’sannya ini.

“Takut liat tattoo ku,” jawab Aan, “siapa yang punya coklat?” tanya Aan.
“Aku nggak suka coklat jadi nggak punya,” sahut Oboy.
“Sama,” Vino juga menyahut.
“Aku punya tapi sudah habis,” kata Yayan.
“Kalau kamu Pang?” tanyaku ke Ipang yang masih berusaha melepas pelukan Awe dari tubuhku.
“Nggak punya,” jawabnya.
“Aku punya,” tiba-tiba Johan bersuara.
“Mana? Mana? Mana?” tanya Aan nggak sabaran.

Aan langsung menghampiri Johan yang sedang merogoh tas ransel kecilnya lalu mengeluarkan coklat Cadbury’nya.

“Nih,” Johan memberikan coklat itu ke Aan, “belikan 5 coklat yang sama sebagai gantinya,” kata Johan sebelum menghisap rokoknya lagi.
“Ck…nggak ikhlas banget sih,” gerutu Aan, “Awe…aku punya coklat. Kamu mau nggak?” Aan mulai membujuk Awe lagi.
“Enak loh coklatnya,” bujuk Yayan.
“Kalau nggak mau nanti coklatnya aku yang makan lo,” Ipang juga ikut membujuk.

Aan, Ipang, Oboy, Vino dan Yayan terus membujuk Awe yang daritadi masih memelukku. Sedangkan Dodo dan Johan sudah menghilang entah kemana. Akhirnya setelah 10 menit, usaha Aan dkk untuk membujuk Awe pun berhasil. Awe mulai melepas pelukannya dan menatap Aan takut-takut. Tangannya masih mencengkeram erat baju di pinggangku.

“Nih coklat. Mau coklat kan?!” Aan menyodorkan coklat kearah Awe.
“Ambil dong coklatnya,” kata Yayan waktu melihat Awe yang masih diam memandangi Aan.
“Iya ambil aja We,” kata Ipang sambil menarik tangan Awe kearah coklat yang di sodorkan Aan.
“Nih,” Aan mendekatkan coklat yang di bawanya ke tangan Awe.

Perlahan-lahan Awe mengambil coklat yang di sodorkan Aan. Spontan aku, Aan, Yayan, Oboy, Vino dan Ipang tersenyum lega.

“Aku mau duduk dulu. Capek berdiri terus,” desisku sambil berjalan kearah sofa sedangkan Awe langsung mengikutiku dangan tangan yang masih mencengkeram bajuku.
“Aku mau mandi dulu. Panas,” kata Oboy yang langsung melesat ke belakang.
“Di makan dong coklatnya,” kata Yayan yang sudah duduk di karpet dengan Vino.

Mereka berdua sedang merapikan kartu-kartu yang tadi sempat berserakan di karpet. Sedangkan Ipang sudah duduk manis di karpet sambil terus memandangi Awe.

“Aku ragu kalau dia anak SMA,” desis Ipang yang langsung di sambut ‘hhuuussss!!!’ oleh Aan.
“Kalau dia sampai nangis lagi gimana?” Aan melotot ke Ipang yang kini cuma cengengesan nggak jelas, “Awe, di makan dong coklatnya,” kata Aan sambil berjalan ke arahku dan Awe lalu duduk di sofa dekat Awe.

Setelah Aan duduk, Awe langsung menggeser duduknya sampai merapat ke tubuhku.

“Kok malah ngejauh sih? Aku kan nggak nggigit,” protes Aan, “ck, liat wajahmu jadi basah gini,” kata Aan sambil mengusap pipi Awe yang basah karena habis menangis tadi.

Tapi Awe langsung menyembunyikan wajahnya ke lenganku. Sepertinya dia masih takut sama Aan.

Aan langsung menghela nafas panjang melihat penolakan dari Awe untuk kesekian kalinya.

“Hmm…emang tattoo ku nakutin ya?” tanya Aan sambil memperhatikan tattoo di tubuhnya, “tattoo kan seni. Lagian tattoo ku nggak semuanya nyeremin kok. Ada tattoo hewan yang lucu juga. Ada kelinci sama monyet,” gumam Aan.

Tiba-tiba Awe langsung mendekat kearah Aan.

“Mana?” tanya Awe penasaran.
“A…apanya?” tanya Aan yang kaget campur bingung karena mendadak Awe mendekat ke arahnya.
“Monyetnya,” jawab Awe sambil memperhatikan tubuh Aan yang ada tattoo nya.
“O…oh monyet. Ini monyetnya,” kata Aan sambil menunjukkan tattoo monyet yang ada di lengan kirinya.

Awe langsung mengamati monyet yang ada di lengan Aan. Sedetik kemudian dia tersenyum lebar sehingga membuat Aan juga ikut tersenyum. Sebenernya tattoo monyet itu kecil dan nggak seberapa jelas, karena itu cuma tattoo iseng bikinan Dodo.

Nggak butuh waktu lama bagi Aan dan Awe untuk akrab. Aan memang suka memanjakan anak kecil. Ya anggap aja Awe ini masih kecil karena sifatnya yang childish. Jadi Awe pasti nyaman kalau deket sama Aan.

Beggin, beggin you
Put your loving hand out, baby
Beggin, beggin you
Put your loving hand out darling

Tiba-tiba ada panggilan masuk di hp ku. Aku langsung merogoh hp ku dan melihat siapa yang menelfonku. Senyumku langsung mengembang saat mengetahui siapa yang menelfonku.

“Kok baru di angkat? Padahal aku sudah telfon berkali-kali lo,” tanya Alvin setelah aku mengangkat panggilan telfon darinya.
“Sorry, tadi aku sama temen-temen masih bingung ngadepin Awe,” jawabku, “temenmu satu itu hebat banget ya, bisa bikin anak-anak kos pada bingung hehehe,” kataku sambil tertawa pelan, Alvin juga ikut tertawa di seberang sana.
“Kok dia bisa nangis sih? Tadi aku tanya Yayan tapi keburu di matikan telfonnya sama dia.”
“Dia takut liat tattoo nya Aan.”
“Ah iya aku lupa kalau Awe takut liat tattoo.”
“Emang kenapa dia bisa takut liat tattoo?” tanyaku sambil melirik Awe yang kini sedang tertawa-tawa dengan Aan, ipang, Vino dan Yayan.
“Hmm…mungkin ada hubungannya sama trauma dia waktu kecil,” jawab Alvin.
“Dia punya trauma?”
“Iya, tapi aku nggak tau karena apa.”
“Hmm…gitu.”
“Tapi sekarang dia nggak apa-apa kan? Apa masih nangis?”
“Sudah nggak nangis. Sekarang dia malah ketawa-tawa. Dia dimanjain banget sama anak-anak kos.”
“Wah bikin iri tuh. Aku aja nggak pernah di manjain sama temen-temenmu,” aku langsung mendengus kesal waktu mendengar kata-kata Alvin.
“Yang boleh manjain kamu cuma aku,” kataku kesal yang langsung di sambut tawa pelan dari Alvin.
“Jealous ya hehe…” aku terdiam nggak bisa membalas kata-katanya, “bercanda kok. Lagian aku cuma mau di manjain sama kamu,” kata Alvin pelan yang langsung membuat jantungku berdetak cepat.
“Vin.”
“Ya?”
“Aku kangen.”
“Sama.”
“…”
“…”
“…”
“…”
“Emm.. besok mau nemenin aku nongkrong nggak?”
“Besok itu minggu kan? Bisa aja sih.”
“Bagus deh. Jadi aku jemput kamu jam 8 malam ya.”
“Iya. Ya udah aku tutup dulu ya telfonnya. Mama mau ngajak ngomong nih kayaknya.”
“Oh ya udah tutup aja.”
“Ah nggak. Kamu aja deh yang nutup telfonnya.”
“Loh kok aku?”
“Nggak apa-apa. Tutup aja Pan.”
“Nggak ah. Kamu aja yang nutup telfonnya.”
“Panduuuu….” rengek Alvin.
“Kenapa?” tanyaku sambil tertawa geli.
“Kamu aja yang nutup telfonnya.”
“Ya udah sama-sama aja,” kataku sambil menahan tawa, “aku hitung sampai tiga ya?!”
“Iya.”
“Satu…Dua…Tiga…”
“…”
“…”
“…”
“…”
“Lhoh kok nggak kamu tutup?” tanyaku.
“Kamu juga nggak nutup telfonnya gitu.”
“Ya udah…ya udah biar aku yang nutup telfonnya,” kataku sambil tertawa pelan.
“Nah gitu dong.”
“Dasar hehe,” desisku sebelum memutuskan sambungan telfonku dengan Alvin.
“Mesra banget sih,” jantungku hampir copot saat mendengar suara dari belakang tubuhku.
“Brengsek, bikin kaget aja,” umpatku jengkel, sedangkan Oboy cuma terkekeh pelan, “kamu mau kemana kok sudah rapi gitu?” tanyaku saat melihat penampilan Oboy yang sudah rapi.
“Kencan,” jawabnya, “ya udah aku keluar dulu ya,” pamit Oboy.
“Ya.”

Oboy pun langsung melesat pergi meninggalkan aku, Awe dan Aan di ruang tamu. Sedangkan Yayan, Vino dan Ipang sudah nggak ada di ruang tamu sejak aku sibuk telfonan sama Alvin.

“Pan aku mau beli camilan dulu. Tolong temenin Awe sebentar,“ kata Aan sambil beranjak dari karpet dan langsung melesat pergi.

Sekarang tinggal aku dan Awe yang tersisa di ruang tamu.

“Gimana? Aan baik kan orangnya?” tanyaku ke Awe yang sedang focus menonton TV yang langsung di jawab anggukan kepala Awe.
“Tapi masih baikan pacarku,” desis Awe sambil senyum malu-malu.
“Pacar?” tanyaku, Awe mengangguk, “kamu udah punya pacar?” tanyaku lagi, Awe mengangguk, “ng…cowok?” lagi-lagi Awe mengangguk.
“Cowok yang dulu kamu suka?” tanyaku untuk yang kesekian kalinya.
“Bukan,” desis Awe.

Akhirnya aku cuma mangguk-mangguk nggak jelas. Bingung mau ngomong apa lagi.

Tiba-tiba pintu depan terbuka dan muncullah si Aan dengan membawa kantong plastic di tangannya.

“Lama nggak?” tanya Aan.
“Sebentar kok,” jawabku, “emang beli apa aja?” tanyaku.
“Aku beli snack buat Awe,” jawab Aan, “nih We,” Aan menyodorkan sekantong plastic snack kearah Awe.
“Makasih mas Aan,” Awe langsung menerima snack yang di sodorkan Aan.

Aan langsung mengusap kepala Awe dengan gemasnya.

“We, kamu kok mau sih deket-deket sama Pandu?” tanya Aan saat melihat Awe mendekat ke arahku dan menyuruhku membantunya membuka semua snack pemberian Aan tadi.
“Pandu baik. Lagian dia mirip sama orang yang aku suka dulu,” jawab Awe, “emm…maksudku sifat mereka berdua yang mirip. Aku jadi merasa nyaman kalau deket sama Pandu,” kata Awe sambil memakan snacknya.
“Eh aku ya baik kok. Kamu deket-deket juga dong sama aku. Nanti aku jadiin adik angkat. Mau nggak?” tanya Aan.

Aku cuma tersenyum melihat tingkah Aan.

“Iya mau,” kata Awe yang langsung membuat senyum lebar Aan tercetak jelas.
“Ya ampun lucu banget sih. Coba Johan juga kayak kamu ya,” kata Aan sambil mengusap kepala Awe gemas.
“Dasar,” desisku masih dengan senyum di bibirku.

Akhirnya Awe pulang dari tempat kosku sekitar jam 9 malam dengan di antar Aan. Jadi mereka berdua naik sepeda motor sendiri-sendiri. Nggak nyangka juga kehadiran Awe di tempat kosku bisa membuat anak-anak kos kalang kabut hahaha…


~Alvin Pov~
Saat ini aku sedang sibuk berbelanja snack dan minuman kaleng untuk temen-temen Pandu nanti. Aku nggak mau kalau datang ke sana tanpa bawa apa-apa.

“Bisa nggak kamu di rumah aja?” tanya Rico yang sedang mendorong trolley(?) belanjaanku yang hampir penuh.
“Nggak bisa Ric. Aku udah janji sama Pandu mau nemenin dia nongkrong malam ini,” jawabku sambil memasukkan beberapa snack yang berbeda ke trolley yang di dorong Rico.
“Nanti kalau kamu sakit lagi gimana?” tanya Rico yang kini mengikutiku yang berjalan kearah rak biscuit.
“Aku nggak akan sakit Ric. Aku kan udah bawa jaket sama inhaler,” kataku tanpa melihat ke arahnya karena aku masih sibuk memilih-milih biscuit yang mungkin di sukai temen-temen Pandu.
“Sejak aku ngebolehin kamu deket sama Pandu, kamu jadi suka kelayapan. Dia sudah memberi pengaruh buruk buat kamu. Kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu gimana? Bisa di bunuh aku sama Om dan Tante,” gerutu Rico kesal.

Aku langsung meletakkan biscuit yang sempat aku lihat-lihat tadi ke tempatnya semula lalu menghadap ke Rico yang sekarang sedang menatapku dengan kesalnya.

“Itu nggak ada kaitannya sama Pandu. Aku sendiri yang ingin keluar sama dia. Nemenin dia,” balasku sewot, “Lagian aku nggak akan kenapa-kenapa kok. Pandu pasti jagain aku. Jadi kamu tenang aja, oke?!”

Rico cuma diam sambil terus menatapku kesal. Sedetik kemudian dia menghela nafas panjang.

“Ya udah deh. Lagian aku sudah terlanjur ngebolehin kamu pergi,” kata Rico dengan nada nggak ikhlas, sedangkan aku langsung tersenyum lega mendengarnya.
“Thanks,” desisku masih dengan senyum di bibirku, “ya udah sekarang bantuin aku pilih biscuit terus pilih minuman kaleng,” kataku sambil mulai melihat-lihat biscuit yang mau aku beli.

Setelah semua snack dan minuman kaleng terkumpul cukup banyak, aku langsung membawanya ke kasir. Kasirnya ramai jadi harus antri. Butuh beberapa menit sampai giliranku membayar. Rico nggak ikut mengantri, dia lebih memilih menungguku di dekat pintu masuk swalayan daripada ikut berdesak-desakan. Setelah membayar semua belanjaanku, aku dan Rico langsung berjalan menuju tempat parkir mobil.

“Kita langsung pulang atau ke tempat nongkrong Pandu?” tanya Rico waktu kami sudah masuk ke dalam mobilnya.
“Ke rumah aja. Tapi berhenti sebelum rumahku. Aku nggak mau kalau ada orang rumah yang melihat mobilmu,” jawabku.
“Hmm…oke.”

Akhirnya Rico melajukan mobilnya meninggalkan swalayan. Selama perjalanan Rico terus memainkan hp nya padahal sudah aku ingatkan jangan bermain hp kalau sedang menyetir.

“Dari siapa sih?” tanyaku penasaran.
“Awe. Tadi aku minta maaf ke dia karena kemarin aku nggak bisa nemenin dia main. Nggak nyangka aja kemarin Om sama Tante ngajak aku ikut makan bersama kalian. Aku jadi merasa bersalah sama Awe,” kata Rico.
“Oooo… Awe. Aku juga merasa nggak enak sama dia,” gumamku, “tadi kamu udah beli coklat buat Awe kan?” tanyaku.
“Udah. Besok waktu jemput dia ke sekolah aku kasihkan ke dia,” jawab Rico sambil focus menyetir.

Akupun akhirnya cuma diam saja karena nggak mau mengganggunya menyetir. Selama di perjalanan, aku menyibukkan diri dengan belanjaanku. Dua kantong plastic besar yang berisi snack dan minuman kaleng yang aku beli terpaksa aku jadikan satu kantong plastic saja. Kalau bawa dua kantong plastik takutnya susah bawanya saat di bonceng Pandu.

“Itu Pandu ya?” tanya Rico.

Rico langsung menghentikan laju mobilnya, sedangkan aku langsung mengamati cowok yang duduk di atas motornya di dekat rumahku.

“Iya itu Pandu,” desisku, “thanks udah nemenin aku belanja,” aku langsung mengambil kantong belanjaanku dan buru-buru keluar dari mobil Rico.
“Hai jaketmu,” seru Rico yang membuatku langsung tersadar kalau jaketku masih tertinggal di dalam mobil Rico.

Aku langsung menyambar jaketku dan langsung berlari mendekati Pandu yang kini sedang menatap ke arahku.

“Sorry lama. Aku baru belanja,” kataku setelah ada di sampingnya.
“Emang belanja apa malam-malam gini?” tanya Pandu.
“Emm..snack sama minuman kaleng untuk teman-temanmu,” jawabku, “tolong bawa dulu,” aku langsung menyerahkan kantong plastic itu ke Pandu karena aku mau memakai jaketku dengan benar.
“Ngapain beli buat mereka?” tanya Pandu heran.
“Ya nggak apa-apa kan. Biar di buat camilan di sana,” jawabku.
“Kamu ini,” desis Pandu sambil tersenyum dan mengusap kepalaku sekilas, “ya udah yuk berangkat!” ajak Pandu.
“Helm ku?” tanyaku sambil mengambil kembali belanjaanku dari tangan Pandu.
“Ah iya lupa. Ini pakai helmku aja. Aku lupa nggak bawa helm buat kamu tadi,” kata Pandu sambil melepas helm yang dia pakai lalu memakaikan helm itu di kepalaku.
“Terus kamu gimana? Nggak pakai helm gitu, kalau ada polisi gimana?” tanyaku takut.
“Nggak apa-apa. Nanti aku lewat jalan tikus biar aman,” kata Pandu sambil mens-tarter motornya.

Akhirnya Pandu melajukan motornya setelah aku naik di motornya. Pandu membawaku melewati jalanan dan gang-gang kecil untuk sampai ke tempat nongkrongnya. Sampai di sana ternyata teman-teman Pandu sudah pada ngumpul. Pandu langsung menghentikan laju motornya di samping Udin yang sedang mengobrol dengan teman-temannya yang nggak aku kenal.

“Mana Aan?” tanya Pandu ke Udin, sedangkan aku langsung turun dari motor Pandu.
“Nggak tau,” jawab Udin, “apaan tuh Vin?” tanya Udin saat melihatku membawa kantong plastic besar dengan ke dua tanganku.
“Snack sama minuman kaleng buat kalian.”
“Wah baik banget sih kamu Vin,” Udin langsung menyambar kantong plastic yang aku sodorkan ke arahnya, “HOI ALVIN BAWA MAKANAN NIH,” teriak Udin kearah teman-temannya yang lain.

Nggak sampai semenit camilan yang aku bawa langsung ludes tanpa sisa. Harusnya aku bawa lebih banyak lagi, karena banyak yang belum kebagian. Tapi kalau beli terlalu banyak aku nggak bisa bawanya hehe.

“Ck…malu-maluin banget sih,” dengus Pandu yang masih duduk di motornya.
“Nggak malu-maluin kok. Aku malah seneng snack dan minuman pilihanku di sukai teman-temanmu,” kataku sambil melepas helm yang aku pakai lalu meletakkannya di kaca spion(?) motor Pandu.
“Vin thanks ya minumnya,” tiba-tiba seorang cowok bermata besar menepuk pundakku.
“Iya sama-sama,” kataku sambil tersenyum ke arahnya.
“Vin thanks ya,” cowok bertubuh jangkung yang ada di seberang jalan berseru ke arahku sambil menunjukan snack yang dia bawa.
“Ya.”
“Vin lain kali bawa yang banyak ya. Khusus buatku bawakan burger juga ya,” cewek bertato di lengan kanannya berbisik di dekat telingaku.
“Iya gampang,” kataku sambil tertawa pelan.
“Ngelunjak banget sih. Sudah di kasih hati minta jantung,” dengus Pandu sambil menyundul kening cewek itu dengan jari telunjuknya.

Rupanya Pandu mendengar bisikan cewek tadi.

“Mumpung Pan. MUMPUNG,” balas cewek itu sambil terkekeh sebelum meninggalkanku dan Pandu.
“Nah kan mereka jadi ngelunjak. Lagian kamu sih bawa-bawa makanan gitu,” dengus Pandu kesal.
“Nggak apa-apa kok Pan,” kataku.
“Hmm..terus mana snack dan minuman kaleng untukku?”
“Ya ampun aku lupa,” desisku sambil menatapnya horror.

Pandu yang melihatku panic langsung tertawa.

“Udah lupain aja. Aku cuma bercanda kok,” kata Pandu masih dengan tawanya.
“Sorry ya.”
“Nggak apa-apa Vin. Kalau aku mau, aku bisa beli sendiri besok,” kata Pandu sambil menjepit hidungku dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.

Aku langsung tersenyum di perlakukan begitu sama Pandu.

Tiba-tiba perhatianku tersita oleh suara bising motor yang mendekat ke kami. Mungkin ada sekitar 15 motor atau lebih. Motor-motor itupun akhirnya berhenti nggak jauh dari tempatku dan Pandu. Pandu yang melihat kearah rombongan motor itu cuma berdecak kesal.

“Kita kedatangan tamu,” desisnya.

Aku melihat Pandu yang menatap tajam kearah mereka. Wajah dan rahangnya mengeras seolah-olah dia sedang menahan emosi yang meluap. Aku nggak tau apa yang terjadi tapi rasanya gerombolan motor itu bukan anggota motornya Pandu dkk. Dari jaket yang mereka kenakan saja sudah jelas kalau mereka dari kelompok yang berbeda. Kalau kelompoknya Pandu identik dengan warna hitam, tapi mereka yang baru datang ini identik dengan warna putih. Jaket yang mereka kenakan berwarna putih dengan banyak kantong di dada kanan dan kirinya, sedangkan bagian punggungnya ada gambar sepasang sayap berwarna hitam. Sebenarnya rombongan itu terlalu aneh penampilannya. Penampilan mereka terlalu rapi untuk anggota pecinta motor.

Setelah memarkir motornya di sembarang tempat, semua pengendara motor itu berjalan mendekat ke arahku dan Pandu.

“Gimana kabarmu?” sapa salah satu pengendara motor itu.

Cowok itu berjalan mendekati Pandu dengan senyum yang terus mengembang.

Menurut pengamatanku, dialah orang yang penampilannya paling rapi dari semua pengendara motor lainnya. Tinggi badannya hampir sama denganku. Rambutnya pendek dan disisir rapi ke sisi kanan dengan poni yang di potong bergerigi. Kacamata ber-frame hitam terlihat bertengger di depan matanya. Selain jaket yang berwarna putih, dia juga memakai t-shirt, celana jeans dan sepatu kets berwarna putih juga. Aku jadi ragu kalau mereka semua ini tergabung dalam club motor.

“Ngapain kamu ke sini?” tanya Pandu ketus.

Pandupun turun dari motornya dan berdiri di sampingku. Dia masih menatap tajam kearah cowok itu.

“Aku?” tanya cowok itu sambil menunjuk dirinya sendiri dengan telunjuknya, “aku…hmm…aku ke sini cuma mau berkunjung,” katanya sambil tersenyum kearah Pandu.
“Nggak usah bertele-tele. Cepat katakan apa maumu!”
“Ck…kamu ini nggak berubah ya. Masih aja emosian,” kata cowok itu masih dengan senyumnya.

Tiba-tiba saja pandangan mataku dan mata cowok itu bertemu. Lagi-lagi senyumnya mengembang.

“Siapa nih? Apa dia anggota barumu?” tanya cowok itu ke Pandu tapi tatapan matanya masih mengarah padaku, “dia sedikit ‘berbeda’ ya.”

Pandu cuma diam nggak menjawab pertanyaan cowok itu.

“Aku Ryo,” cowok itu mengulurkan tangannya ke arahku, masih dengan senyumnya.
“Al…”

SREETTT…

Tiba-tiba Pandu menurunkan tanganku saat aku mau menjabat tangan cowok bernama Ryo itu.

“Kamu nggak ada urusan sama dia kan?! Jadi nggak usah sok akrab!” dengus Pandu kesal.

Ryo langsung diam menatap Pandu, tapi sedetik kemudian tawanya meledak. Aku yang bingung cuma bisa diam saja melihat Ryo dan Pandu secara bergantian.

“Jadi dia orangnya?!” tanya Ryo setelah tawanya reda.

Lagi-lagi Ryo menatap ke arahku.

“Mainan baru’mu.”

BRRUUUGGG…

Mataku terbelalak saat Pandu menerjang Ryo. Pandu mendorong tubuh Ryo lalu mencengkeram kerah baju Ryo dengan kasarnya.

“HOOIII…!!!!” seru salah satu teman Ryo yang menyaksikan adegan barusan.

Seketika itu juga teman-teman Ryo yang lain berlari ke arah Pandu tapi dengan cepat teman-teman Pandu sudah menghadang mereka semua.

Aku memang kaget saat Ryo menyebutku sebagai ‘mainan baru’mu’, tapi aku lebih kaget lagi melihat situasi yang terjadi saat ini.

“Sekali lagi kamu bilang gitu, aku pastikan wajahmu ini akan hancur nggak berbentuk,” kata Pandu geram penuh nada ancaman.

Seharusnya orang biasa pasti akan takut menghadapi Pandu saat ini, tapi cowok bernama Ryo itu terlihat santai saja. Dia bahkan masih menyunggingkan senyum di bibirnya.

“Kenapa harus marah? Banyak kok yang bilang. Kata mereka, Pandu dari X-Dragon suka memanjakan mainan barunya. Ternyata benar.”
“KAMUUU!!!”
“Pandu…Pandu…Pandu…jangan!” refleks aku menahan kepalan tangan kanannya yang hampir melayang ke pipi Ryo.

Seketika itu juga tangan Pandu berhenti. Tapi cengkraman tangan kiri Pandu masih bersarang di kerah baju Ryo. Pandu dan Ryo saling melempar tatapan tajam satu sama lain. Sedangkan aku masih menahan tangan Pandu supaya nggak memukul cowok itu. Tiba-tiba aku mendengar suara motor mendekat kearah kami.

Aan.

Aku melihat Aan, Udin, Johan dan Hendra turun dari motornya masing-masing lalu berjalan mendekat kearah kami. Pandu yang melihat kedatangan Aan langsung melepaskan cengkraman tangannya dari kerah baju Ryo sambil mendorongnya dengan kasar. Akupun juga melepas genggaman tanganku dari tangan Pandu.

“Ada apa ini?” tanya Aan.
“Nggak ada apa-apa,” jawab Ryo sambil merapikan baju dan jaketnya, “gimana kabarmu An? Sudah lama ya kita nggak bertemu.”
“Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik aja. Bahkan terlalu baik,” jawab Aan sambil tersenyum ramah ke Ryo.
“Ya aku bisa melihatnya sendiri,” kata Ryo sambil terkekeh pelan.
“Jadi ada angin apa, sampai seorang Ryo menyempatkan diri datang ke sini?” tanya Aan sopan. Ryo tersenyum.
“Aku ada perlu sama kamu,” jawab Ryo masih dengan senyumnya.
“Apa itu hal yang penting?”
“Mungkin menurutmu ini nggak penting, tapi menurutku ini penting.”
“Kalau gitu kita cari tempat yang enak untuk mengobrol.”
“Okey.”

Kalau di lihat-lihat mereka berdua ini sangat menghormati satu sama lain, tapi nggak tau kenapa aku merasakan adanya permusuhan yang terpancar di antara mereka berdua. Aura mereka berdua begitu tegang dan menyesakkan.

Aan, Hendra, Udin dan Johan langsung kembali menaiki motornya, begitu juga dengan teman-teman Ryo. Sedangkan Ryo sendiri masih belum bergeming dari tempatnya berdiri. Dia hanya melihat teman-temannya yang mulai mens-tarter motor mereka. Tiba-tiba Ryo menatap kearahku dan Pandu. Perlahan-lahan dia mulai mendekati kami. Ah salah. Dia mendekatiku.

“Mau apa kamu?!” Pandu langsung berdiri di depanku. Menghalangi langkah Ryo yang semakin mendekat.
“Aku?” tanya Ryo sambil menunjuk mukanya sendiri dengan telunjuknya, “aku cuma mau berpamitan sama dia,” kata Ryo sambil tersenyum kearahku.
“Jangan sampai aku membunuhmu di sini,” gertak Pandu dengan nada mengancam.
“Ck…kenapa sih kamu nggak bisa santai sedikit saja kalau sedang berhadapan denganku?!” tanya Ryo, sedangkan Pandu cuma mendengus kesal, “ya sudah deh. Aku balik dulu. Lagian mereka juga sudah menungguku,” kata Ryo sambil melihat kearah Pandu dan teman-temannya sendiri.

Lagi-lagi Ryo menatapku sambil tersenyum.

“Aku pastikan kita bertemu lagi di lain waktu,” kata Ryo kepadaku sebelum berjalan meninggalkanku dan Pandu.

Akhirnya Pandu dkk serta Ryo dkk pergi dengan motor mereka masing-masing. Mereka pergi beriringan seperti sedang pawai.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Pandu.

Aku segera menatap ke arahnya sambil tersenyum.

“Iya aku nggak apa-apa,” jawabku.
“Sorry ya aku udah bikin kamu takut,” kata Pandu pelan.
“Nggak kok. Aku nggak takut,” kataku sambil tersenyum supaya Pandu nggak khawatir, “sebenarnya mereka itu siapa sih?” tanyaku penasaran.
“Mereka itu D.A.L.”
“D.A.L??”
“Dark Angel Lucifer,” jelas Pandu, “mereka itu pecinta motor juga, sama kayak aku dkk.”
“Terus cowok bernama Ryo tadi siapa? Rasanya dia bukan orang biasa ya?!”
“Dia itu pimpinannya,” kata Pandu, “orang brengsek yang mengerikan. Dia itu licik,” dengus Pandu.

Aku mangguk-mangguk tanda paham.

Jadi itu sebabnya dia terlihat berbeda dari teman-temannya yang lain. Dia punya sesuatu yang nggak di miliki teman-temannya. Sama seperti Aan yang mempunyai aura berbeda dari yang lainnya. Mungkin itu yang di sebut sebagai aura kepemimpinan (halah haha…).

“Tapi kok pakaian mereka agak aneh ya. Terlalu rapi gitu.”
“Ya jelaslah. Mereka semua yang bergabung di D.A.L adalah orang-orang menengah ke atas. Nggak heran kalau mereka mementingkan penampilan dan gaya,” sahut seseorang dari belakangku.

Ipang.

“Jadi mereka kumpulan orang berada semua?” tanyaku.
“Ya gitu deh. Kumpulan orang tajir yang nggak punya kerjaan,” cibir Ipang, “eh maksudku bukan kamu lo Vin. Kalau kamu sih beda,” kata Ipang cepat dan itu malah membuatku tersenyum.
“Iya aku tau,” kataku masih dengan senyuman di bibirku.

Ipang cuma cengar-cengir nggak jelas sambil mengaruk-garuk kepala belakangnya. Mungkin dia merasa nggak enak hati dengan kata-katanya sendiri. ‘orang tajir yang nggak punya kerjaan’…hmm emang benar sih, aku juga nggak punya kerjaan. Kerjaanku sehari-hari cuma memikirkan Pandu saja hehe..

“Tapi kayaknya mulai sekarang kamu harus hati-hati deh Vin. Sepertinya dia mengincarmu,” bisik Ipang.
“Mengincar?”
“Iya. Dia mengincar…”
“Jangan ngomong macam-macam. Kamu menakutinya tau,” potong Pandu.
“Aku nggak menakutinya Pan. Kamu dengar sendiri kan dia tadi bilang ‘aku pastikan kita bertemu lagi di lain waktu’ ke Alvin?!”
“Ck..jangan di bahas!”
“Tapi Pan…”
“Diam!!”

Akhirnya Ipang diam dengan muka cemberut. Sedangkan aku masih memikirkan kata-kata Ipang barusan.

Aku diincar? Kenapa juga aku di incar? Aku kan nggak ada hubungan apa-apa sama D.A.L. Apa tadi aku sudah melakukan sesuatu sampai Ryo jadi mengincarku?! Hmm…rasanya nggak deh. Aku malah menyelamatkan dia dari pukulan Pandu. Seharusnya dia berterima kasih ke aku.

“Udah nggak usah di pikirin. Yuk pulang aja,” kata Pandu yang langsung mendapat anggukan kepalaku.
“Aku pulang dulu ya Pang,” pamitku yang langsung di sambut senyum sama dia.
“Ingat pesanku. Kamu harus hati-hati,” bisik Ipang saat Pandu berjalan kearah motornya.
“Iya tenang aja,” kataku sebelum menyusul Pandu yang kini sudah duduk di atas motornya.

Akupun segera naik ke motornya setelah memakai helm yang pandu sodorkan ke arahku. Setelah itu pandu langsung melajukan motornya ke arah rumahku. Selama di perjalanan kami cuma diam saja. Rasanya mood Pandu sedang buruk sekarang. Ya mungkin gara-gara kejadian tadi.

“Thanks ya Pan,” kataku setelah sampai di depan rumahku, ah salah di dekat rumahku.
“Vin!” panggil Pandu saat aku mulai melangkahkan kakiku.
“Ya?” aku pun kembali mendekati Pandu.

Pandu terlihat memandang sekeliling complex rumahku.

“Sepi,” desisnya.
“Iya memang sepi,” kataku sambil ikutan melihat sekeliling.

Tiba-tiba saja Pandu menarik leher belakangku ke arahnya dan…

CUP…

Pandu mendaratkan ciuman sekilas di bibirku.

“Ya udah kamu buruan masuk rumah! Nanti kamu bisa masuk angin kalau di luar terus,” kata Pandu sambil tersenyum ke arahku yang masih mematung karena kaget.

Aku cuma menganggukkan kepalaku pelan. Setelah itu aku memutar tubuhku dan berjalan ke rumahku dengan pikiran kosong. Aku nggak menyangka dia akan menciumku lagi di tempat umum. Aku benar-benar kaget. Kaget karena tiba-tiba saja dia menciumku dan kaget karena takut ada yang melihat adegan. Intinya aku deg-deg’an >.<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar