Sabtu, 23 Mei 2015

Gigola Muda

Ketika mereka mengatakan bahwa dia adalah
Pria tak bermoral
Ketika mereka mengatakan bahwa dia adalah
Pria bangsat
Ketika mereka mengatakan bahwa dia adalah
Pria seperti binatang tanpa otak
Ketika mereka mengatakan bahwa dia adalah
Bajingan tua

***

Aku tidak pernah mendengarkan apa kata mereka. Yang mereka katakan, selalu kuanggap racun pahit yang terpaksa kutelan dari mulut melewati tenggorokanku dan dengan mudah aku membuangnya lewat dubur. Racun pahit itu selalu kutelan setiap hari, tapi anehnya, aku tidak mati-mati. Ya, karena racun pahit itu memang berupa omongan-omongan mereka yang keji.

***

Suatu malam ditempat kaum-kaum yang terpinggirkan. Ya, disinilah aku tinggal. Disini pula, dia menyatakan cintanya padaku. Aku sendiri bingung kenapa dia bisa mengatakan itu. Padahal, aku dan dia hanya sebatas penjual dan pembeli. Aku menjual diriku, dan dia yang membeli tubuhku.

Aku sudah berkali-kali menolaknya; dengan cara lembut sampai ke level yang kasar. Dia tetap saja tidak peduli. Aku juga sudah berkali-kali mengatakan padanya, bahwa aku hanya seorang gigolo; tidak butuh cinta, hanya butuh uang. Dia masih saja tetap tidak peduli.
Saat itu, dia malah mengatakan, “Sebenarnya kamu juga ada perasaan untukku, bukan?”
Sial! Dia memang sok tau!

***

Dua orang pria dalam keadaan bugil, malam itu. Ya, dua orang pria itu adalah aku dan dia, si penjual dan si pembeli. Mendesah indah ketika malam dingin membuat kami begitu bergairah. Hasrat tak bisa dipungkiri memang. Aku menikmatinya, sama halnya dengan pembeliku yang satu ini. Ini kali ketiga aku dan dia saling menikmati satu sama lain. Setelah kami saling bertukar kenikmatan, dia mengantarku ke tempat aku bernaung.

“Tempat ini kotor, tidak bersih, bagaimana kalau nanti kamu sakit?” Katanya setiap kali menginjakkan kaki ditempat ini.

Sebenarnya ini bukan tempat tinggalku, awalnya. Pernah kukatakan padanya, “Ketika aku lulus SMA, aku ingin kuliah, tapi orangtuaku tidak bisa memenuhi keinginanku. Maka dengan modal nekat, aku kabur dari rumah, mencari uang sendiri agar bisa kuliah, sekaligus sukses. Tapi kenyataannya sial, aku jadi seperti ini. Tidak berani untuk pulang kerumah.”

Nasibku sangat tidak mujur, katanya saat itu. Benar. Juga aku merasa tolol. Kalau tau begini, aku tidak perlu sok-sok kabur dari rumah. Aku jadi kecewa dengan hidup yang tidak berpihak padaku. Dan untuk memenuhi kehidupanku, aku menjadi gigolo. Agar aku punya uang, dan pulang kerumah setelah sukses. Untungnya. aku memiliki rupa yang tidak bisa dibilang buruk. Dengan begini, aku pantas untuk menjadi gigolo yang banyak di incar para pembeli.

“Kenapa kamu tidak pulang kerumah saja?” Katanya lagi.
“Nanti, setelah aku punya banyak uang sebagai tanda bahwa aku sudah sukses!” Jawabku ketus.
“Dengan cara apa? Menjadi gigolo tidak akan membuatmu sukses.” Hening. “Kamu mau aku adopsi? Aku jadikan sebagai anak angkat. Sampai saat ini, aku tidak punya anak karena istriku meninggal.”
Aku menatapnya bingung.
“Aku mencintaimu, Topan.” Katanya lagi dengan memegang tanganku.

Aku kepikiran, dia memang baik atau ada maksud lain. Kenapa dia mau mengadopsiku? Tapi, setelah dipertimbangkan, kenapa aku tidak menerima tawarannya saja? Itu lebih baik dari pada aku harus tinggal disini bersama gelandangan yang lain.

***

Seiring aku yang sekarang tinggal dirumahnya, aku mendapati banyak perlakuan-perlakuan yang tidak enak dari tetangga-tetangga disekitarnya. Orang-orang yang lewat, selalu dengan sengaja menyindirku dengan kata-kata “gigolo muda” ketika aku sedang dihalaman depan rumah. Sial! Dari mana mereka tau kalau aku ini gigolo?
Tapi aku tidak peduli. Karena itu kenyataan sebenarnya.
Kehadiranku, semakin membuat orang-orang disini tidak menyukaiku. Sampai tiba saatnya aku benar-benar tidak kuat berada disini.

“Mereka semua menghinaku didepan mata kepalaku sendiri, Tama! Aku tidak kuat! Telingaku panas! Aku ingin pulang saja ketempat gelandangan itu!”

Aku meraung-raung minta pulang.

“Hey, aku mencintaimu, Topan. Aku mohon jangan tinggalkan aku. Aku sendiri disini. Nanti aku akan membuat perhitungan pada mereka semua.”

Aku mengatakan padanya untuk tidak menjadi pahlawan kesiangan untukku. Tapi dia katakan, cita-citanya bukan menjadi seorang pahlawan. Aku terpaksa menyakiti hatinya supaya dia menjauh dariku. Tapi dia katakan, hal itu tidak akan pernah mempan baginya. Sampai aku bimbang mesti berbuat apa.

***

Sampai hari ini, aku masih disini. Mencoba untuk tetap tabah dan sabar mendengar cemoohan mereka.

“He, anak muda. Kamu ingin jadi penerus si Tama? Aku pikir, kamu tidak akan mampu untuk jadi penerusnya.” Kata seorang wanita yang sedang lari pagi melewati rumah Tama.

Penerus? Maksudnya?

Wanita itu mendekat ke gerbang dan mengatakan, “Kamu gigolo kan? Sama halnya seperti Tama. Sejak di usianya yang masih muda sepertimu sekarang ini, dia seorang gigolo. Dan tidak menikah, karena menyadari dirinya adalah seorang gay.”

Tama? Dulu seorang gigolo? Tidak menikah?

Wanita itu melanjutkan. “Dulu, Tama juga seorang gigolo muda, sama seperti kamu. Kamu mau jadi penerusnya? Tinggal disini sampai tua dan tidak menikah. Ya, aku harap kamu bisa kuat tinggal disini. Karena, banyak orang-orang disini yang tidak menyukai Tama. Hanya karena Tama adalah seorang gay.” Lalu wanita itu pergi.

Perkataan wanita itu membuatku sedikit tau tentang Tama. Tama adalah mantan seorang gigolo di usianya yang masih muda, sama seperti aku sekarang ini. Apa yang Tama katakan padaku, bahwa dia adalah seorang duda yang istrinya meninggal tanpa memberikan anak, adalah kebohongannya.

Malam ini, setelah dia pulang dari kantor, aku meminta penjelasan yang sebenarnya dari Tama. Juga alasan kenapa dia membohongiku.

Tama mengatakan banyak hal:
Dia adalah seorang gay. Sejak usianya 10 tahun, dia yatim piatu. Dan saat itu, dia diurus oleh kakek-neneknya. Ketika usianya 19 tahun sama sepertiku saat ini, dia mencoba menjadi gigolo dengan menjual dirinya kepada pria-pria teman ayahnya yang ingin menikmati tubuhnya. Dia melakukan ini, karena dia memiliki libido yang tinggi akan seks, bukan sepertiku yang karena membutuhkan uang.
Bergantian, kakek-neneknya meninggal. Itu ketika dia berusia 23 tahun. Menjadi gigolo dengan bayaran mahal, dia bisa membiayai kuliahnya sendiri tanpa meminta bantuan kakek-neneknya yang sebenarnya berasal dari orang kaya. Saat dia sudah lulus S1 pun masih banyak pria-pria yang ingin menikmati tubuhnya. Sampai akhirnya ketika dia merasa cukup bosan, dia berhenti menjadi gigolo dan melanjutkan kuliah S2 di Inggris. Setelah jenjang pendidikannya selesai, dia kembali ke Indonesia dan memilih tinggal sendiri disini, dirumah yang sekarang aku tempati ini. Disini, dia begitu mendapat banyak hinaan, karena keberaniannya mengakui bahwa dia adalah seorang gay. Hingga salah satu tetangganya yang beristri, juga seorang gay dan menyukai Tama. Mereka berdua berhubungan dan diketahui istri tetangganya itu. Dari situlah mereka selalu membicarakan Tama. Mereka mengatakan bahwa Tama tak bermoral, bangsat, penyakit lingkungan, binatang tak berotak, sampai bajingan tua. Dia menerima ungkapan itu semua. Hingga dia merasa usianya yang tidak lagi muda, dia justru mencari gigolo yang bisa memuaskan nafsunya dan tidak mengelabui dirinya dengan berpura-pura normal, lalu menikahi wanita. Dia bertemu denganku, dan menjadi penikmat tubuhku.

Dia menangis dengan apa yang dia ceritakan.

***

Aku mulai terbiasa dengan kerasnya hidup. Melalui Tama aku belajar banyak hal. Serendah apapun kita dihadapan sepasang jutaan mata manusia, tidak berarti rendah pada penglihatan Tuhan ketika kita mau berubah. Seburuk apapun kita dimasa lalu, kita bisa merubahnya agar bisa menjadi lebih baik.

Aku sudah tidak lagi menjadi gigolo. Aku sekarang menjadi anak angkat yang Tama adopsi. Kita berdua sama-sama saling membuat perubahan satu sama lain. Berubah untuk hidup yang lebih baik. Tama merawatku dengan baik, hingga aku harus bisa mencapai segala impian-impianku, katanya.

10 tahun kemudian, Tama meninggal. Usiaku baru saja memasuki angka ke-29. Dia meninggalkan banyak hal untukku; kenangan dan harta kekayaan menjadi salah satu yang dia tinggalkan untukku. Namun itu semua akan sia-sia kalau aku tak becus menjaganya. Bahkan aku sadar, bahwa aku tak butuh harta.

Aku pergi meninggalkan rumah milik Tama yang dulu. Karena sebelum meninggal, Tama menyuruh aku untuk pergi dari rumah itu kalau saja dirinya sudah tidak ada. Juga dia menyuruhku untuk menjual rumahnya, dan uangnya harus aku gunakan semanfaat mungkin.

Aku menyempatkan diri untuk balik kerumahku yang dulu, dengan membuktikan bahwa aku sudah sukses. Tapi kenyataannya, disana aku diberi tau bahwa kedua orangtuaku meninggal 4 tahun yang lalu dengan bulan yang berbeda. Itu artinya, mereka meninggal ketika aku berusia 25 tahun. Sangat menyesal sekali rupanya aku ini.

Dan saat ini, aku tinggal di panti asuhan yang baru saja aku bangun, bersama anak-anak jalanan yang aku adopsi. Meski kesuksesan dan kemapanan hidup sudah berpihak padaku. Aku akan mempertahankannya agar Tama selalu bangga padaku. Dengan mengadopsi mereka, aku sadar dari mana aku berasal.

***

Seperti kata mereka:

Mereka mengatakan bahwa Tama adalah
Pria tak bermoral
Mereka mengatakan bahwa Tama adalah
Pria bangsat
Mereka mengatakan bahwa Tama adalah
Pria seperti binatang tak berotak
Mereka mengatakan bahwa Tama adalah
Bajingan tua

Dan dari kata-kata mereka yang keji itulah, “Aku menyayangi kamu, Tama….”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar