Sabtu, 23 Mei 2015

My First Kiss Part III

EPILOG
CONVERSATION

Aku sudah kuliah sekarang. Jurusan hukum. Dengan program kekhususan keperdataan. Semester ini merupakan semester terberat untukku. Aku harus mengerjakan ujian tengah semester setelah sebelumnya selama seminggu lebih sedikit dirawat dirumah sakit akibat operasi usus buntu.

Aku masih jago untuk urusan Sistem Kebut Semalam. Karena itu malam setelah dua hari aku keluar dari rumah sakit, aku kebut diktat mata kuliah yang setebal buku Harry Potter ke 4 sampai 7. Ada dua dosen killer yang sering sekali membuat mahasiswa mengulang mata kuliah, dan aku enggan untuk mengambil lagi mata kuliah itu ditahun berikutnya. Jadi kukerahkan segenap partikel dan syaraf-syaraf otakku. Memaksanya sampai di luar batas biasa.

Ajaib. Setiap kali aku memaksa otak untuk menghapal, dia melakukannya tanpa celah. Hanya beberapa kali koreksi aku sudah melahap diktat kuliah yang tebal itu. Perut bagian bawahku masih sedikit ngilu, namun aku masih memaksakan untuk menghabiskan waktuku malam itu menjemput teori-teori hukum sebelum kantuk menyapaku.

Aku mengambil 24 SKS semester ini. Semester III ini aku diperbolehkan mengambil SKS penuh. Mempertimbangkan nilai-nilaiku yang selalu di atas tiga koma (Author nyombong dikit yah.. gapapah kan? hahahaha..) maka aku mendapat lampu hijau untuk 24 SKS itu.

Namun sepertinya pilihan mengambil banyak SKS-ku sedikit menyiksa dengan operasi usus buntu yang tak terduga ini. 2 minggu full jadwal ujianku penuh. Jadi tiada hari tanpa buku, buku dan buku. Mau makan kubawa buku, nonton tv sambil baca buku, pun ketika ingin tidur tak lupa kunina bobokan diriku dengan buku. Buku adalah pintu ilmu pengetahuan saudara-saudara. Rajin-rajinlah membacanya. Jangan seperti saya! Yang baru membuka ketika ujian tiba! #Gubrak.

Lengkap sudah penderitaanku selama dua minggu yang berat terasa ini. Dengan perut nyeri kukerjakan semua soal ujianku. Sedikit ‘mengarang bebas’)* kuberikan untuk beberapa dosenku tercinta.
*) mengarang bebas adalah istilah teman-temanku untuk jawaban ujian yang memakai nalar pribadi tanpa memedulikan teori. (khusus untukku kukaitkan sedikit dengan teori yang hanya sedikit kupahami tapi tidak terlalu kumengerti). Jadi karangan bebasku tidak terlalu buruk pikirku.^_^’

Libur setelah ujian kulewatkan dirumah saja. tidak kemana-mana.

Kabar dari Dwi pun tidak terdengar lagi. Karena Toro mulai jarang bermain kerumahku lagi. Dan aku? Aku pun sejak SMP dulu sudah tidak pernah berkunjung ketempat Dwi. Sejak pertemuan kami di pasar malam itu.

Entah jika mereka masih disana atau sudah pindah. Tak tahu juga apakah Dwi jadi menikah atau ditunda. Aku tak ingin begitu dalam memikirkannya. Maaf-maaf saja, aku tidak ingin melambungkan harapan palsu untuk diriku sendiri juga hati ini. Aku tidak siap kecewa untuk yang kesekian kali karena seorang bernama Dwi, my lovely sweet kiss memory. Aku menyerah.

**

Akhirnya, karena suntuk dirumah aku berniat pergi ke toko buku disalah satu mall di daerahku. Aku suka toko buku. Karena aku hobi membaca. Dan koleksi bukuku agak lumayan banyak. Sedikit terlalu banyak sebenarnya. Beberapa sempat kujual dipasar loak. Dengan harga yang tidak seberapa. Sedikit kecewa, tidak sepadan dengan perjuanganku mendapat buku-buku itu. Tapi harus kulakukan itu. karena emak sudah mewanti-wantiku. Koleksiku yang agak banyak itu sudah tak ada tempat lagi. Membuat emakku terus bernyanyi dengan nada terlalu tinggi. Terpaksalah kurelakan hati dengan beberapa koleksi bukuku yang kucintai.

Aku mengoleksi komik dan beberapa novel. Mau komik New Kungfu Boy? Aku punya. Naruto? Aku ada. Beberapa judul komik tersedia dilemariku. Ada beberapa komik lama yang kubeli di terminal Senen karena rekomendasi dari temanku. Legenda naga judulnya. Komik itu sampai sekarang pun belum tamat. Bahkan tetanggaku yang telah bekerja tahu judul itu. Seberapa tua komik itu? Ckck..

Favoritku tentu saja X-Clamp. Karena hanya Clamp yang agak gay-friendly. Dibeberapa karya mereka, mereka tidak segan memasukkan unsur shonen-ai (percintaan dua orang pria) yang sedikit romantis tapi tragis. Dengar-dengar mereka memang memiliki bakat fujoshi akut. Karena itulah X-Clamp selalu menjadi favoritku. Pun begitu dengan Clamp yang menjadi pengarangnya itu.

Oke stop tentang komik. Koleksi Novelku tidak seberapa. Hanya komik-komikku yang menggunung. Koleksi novelku hanya sedikit saja. Harry Potter series aku punya, Laskar pelangi series Andrea Hirata aku ada. Supernova karya Dee (Dewi Lestari), tentu saja. Fira basuki juga. Sekar Ayu Asmara juga Djenar Maesa Ayu masih tersimpan dilemariku. Beberapa buku Kahlil Gibran juga Chairil Anwar masih selalu terngiang. Beberapa fiksi seperti Artemis Fowl dan Septimus Heap juga sedikit karya Trudi Canavan, Agatha Christie dan juga lainnya sudah kubaca.

Favoritku adalah Perfume karya Patrick Suskind. Novel itu adalah karya masterpiece menurutku. Kalian harus baca karyanya yang sangat luar biasa itu. Recommended pokoknya. Jika perlu carilah. Kalian bisa membantahku jika nanti penilaianku salah tentang novel itu. Setuju?

Oookkkeeeeee.. Stop talking about books.. karena aku bisa seharian membicarakannya. Aku sangat suka baca seperti kubilang tadi. Jadi, maaf karena sedikit kelepasan tentang buku-buku koleksiku. Ada yang punya Alchemist series ga? Pinjem donk.. hehehe. Sorry.. sorry.. lanjut ajah ya..

Siang itu aku berangkat ke mall seorang diri. Karena beberapa teman yang kuhubungi tidak bisa ikut pergi denganku. Sudahlah, tidak apa-apa. Daripada suntuk dirumah. Di Mall aku hanya melihat-lihat. Dan tujuanku tentu saja, toko buku. Di Gramedia kulepaskan dahagaku yang telah lama tak bersentuhan dengan buku-buku, selain diktat mata kuliahku tentu. Hufth..

Setelah puas melihat, membaca dan membeli beberapa buku (maaf emak, kebiasaan ini susah hilang) yang kebetulan sedang diskon, aku segera pulang. Ingin segera makan karena lapar. Itulah aku. Aku lupa makan jika sudah asyik dengan buku. Segera kuberhentikan angkot yang lewat.

Ketika baru turun dari angkot aku terkesiap. Sosok yang selama ini berusaha kulupakan berdiri disana. Diseberang jalan yang berseberangan denganku. Dia melihatku. Aku menatapnya. Lekat. Teramat sangat lekat. Hanya sejenak, namun terasa lama sekali.

Aku tersenyum. Dia mulai menyeberang. Aku terdiam. Dia menyapa. Hatiku berbunga tiba-tiba.

“Rei..” Aku tersenyum bodoh ketika dia menyebut namaku.

“Lama ga ketemu ya Rei..” Aku mengangguk penuh semangat. Agak kelewat semangat sepertinya.

“Dari mana?” Tanyanya.

“Jalan-jalan aja. Terus mampir ke toko buku.. Nih..” Kuperlihatkan buku-buku yang kubeli.

Dia mengangguk. Mulai sedikit tersenyum. Sepertinya bingung dengan kata-kata yang ingin dikeluarkan. Aku mulai tidak nyaman. Ini ditengah jalan. Well, tidak persis ditengah, tapi ini jalanan. Apa aku harus langsung pulang sekarang? Tapi aku rindu.. tak bisa kupungkiri aku masih rindu dengan sosoknya.

Interaksi antara kami memang tidak terlalu banyak dulu. Namun yang tidak seberapa banyak itulah yang paling berkesan bagiku. Segala yang kami lakukan masih lekat dalam ingatanku. Memang telah coba kulupakan semua itu. Tapi apa dayaku. Aku tak mampu.

“Dwi.. Pakabar?” Tanyaku. Sambil jalan sekarang.

“Baik. Rei.. Kita cari tempat buat ngobrol dulu yuk?” Ajak Dwi tiba-tiba.

Seketika aku mengangguk tiba-tiba. Terlalu cepat. Rei bodoh. Dasar bodoh. Kepala bodoh. Kenapa ngangguknya cepat banget sih? Bikin malu ajah..

“Oke.. Kemana?” Tanyaku.

“Ikut aja. Oke?” Aku mengangguk.

Ternyata Dwi tadi membawa motor dan motornya diparkirkan didekat warnet. Mungkin dia habis dari warnet tadi. Motornya melaju, menderu pelan. Lumayan lama. Karena Dwi sepertinya tidak terburu-buru membawaku. Aku dilema. Ingin kudekap tubuhnya dari belakang tapi aku gengsi. Aku takut. Tiba-tiba Dwi menghentak motornya cepat. Aku tercekat. Tanganku tahu-tahu melekat erat. Perut Dwi dapat kugamit dan kunikmati lamat-lamat.

Sepertinya Dwi sengaja. Karena ketika aku mendekapnya motornya mulai menderu lambat lagi. Seolah ingin menikmati waktu kami selama mungkin. Mungkin hanya khayalan babuku saja.

Hari sudah malam waktu itu. Dwi masih membawaku menuju tempat yang aku tak tahu. Tapi sepertinya aku bisa memperkirakan tempat apa itu. Dari jalan—jalan yang telah kami lewati kala itu. Benar saja. Dia mulai membelokkan motornya kearah Kemayoran, tepatnya ke pusat jajanan di sekitaran Masjid Akbar Kemayoran yang mulai banyak waktu itu. Motor berhenti.

Roti bakar Bu Iis. Nama tempat itu. Aku tahu. Karena sepupuku pernah mengajakku makan ketempat ini. Roti bakar ditempat ini lumayan juara. Harga murah, tapi rasa tidak murahan. Roti bakar kejunya itu aku suka. Dulu, ketika kumakan disana (tidak tahu sekarang) kejunya melimpah ruah dan susunya luar biasa banyak. Untuk yang tidak suka bisa Enek tiba-tiba. Tapi aku suka, aku suka keju dan susu.

Tempat itu ramai. Aku rasa ini bukan tempat yang tepat untuk bicara berdua saja. Segera saja hatiku nelangsa. Bukan apa-apa. Aku merasa hal yang ingin dibicarakannya tidak seberapa penting. Karena itulah tempat ini yang dipilihnya. Karena orang akan dengan leluasa mendengar percakapan kami. Hatiku nyeri.

Namun, bahkan setelah makan selesai Dwi belum membicarakan apa-apa. Hanya aku yang bertanya. Sibuk apa? Bagaimana kabar keluarga? Dan hal-hal standar lainnya. Perihal berita tentang rencana pernikahannya dulu enggan kusebut. Ternyata aku dan hatiku masih pengecut. Tidak sanggup mendengar berita yang membuat hati ciut.

Setelah selesai makan. Soal aku yang nambah 2 kali tidak perlu disebut. Aku malu (#Lhoo *itu apa?) huhuhuu.. Intinya.. Setelah makan Dwi mengajakku beranjak. Tapi tidak menuju motornya, melainkan berjalan-jalan di area sekitar Masjid Akbar Kemayoran. Ketika melihat ada bangku kosong dengan tempat yang sedikit jauh dari orang-orang, kami duduk disana. Dwi yang mengajak duduk disana.

Diam. Lama kami duduk dalam diam. Aku bosan. Lidahku gatal tidak karuan. Namun kutahan.

“Rei..” Nah Dwi memulai pembicaraan.

“Kamu berubah sekarang..” Aku? Berubah? Masa? Iya kali ya..

“Kamu lebih pendiam..” Oh itu. hu,uh emang iya.

“Aku kangen keceriaanmu dulu. Keceriaan waktu kita bersama dulu..” Waktu kita bersama? Kok kayak dulu kita pacaran ya? Bahasanya itu lhoo.. bikin gimanaaa gituuu..

“Iya. Sejak kamu pindah dulu, aku jadi lebih pendiam..” Tidak mungkin juga kubilang sejak aku melihatnya berdua dengan gadis ayu jelita di pasar malam dulu, aku cemburu. Dan sadar betapa besar rasa cintaku padanya dulu. Hal itulah yang merubahku. Membuatku merasa berbeda. Merasa berdosa.

“Maaf ya Rei.. Aku... ...” iyaaa.. kok diem? Sariawan yah.. Hadeuuhh.. I hate orang yang suka gantung-gantungin kalimat. Sama bencinya dengan orang yang suka PHP-in orang lain. #MaafCurcol

“Aku akan menikah..” KAGET? YA IYALAH..!!! PAKE TANYA!!!

Bagai petir disiang hari. Bagai layangan putus dari benangnya. Bagaikan langit tertutup awan. Aku tak bisa berkata-kata. Pun ketika aku berusaha. Lidahku kelu seketika. Suaraku tak terdengar tiba-tiba. Padahal mulutku terbuka, berusaha berbicara. Tapi susah. Kukatupkan lagi mulutku tanpa daya. Aku merana. Teramat sangat merana.

Ternyata perasaan hangat dulu masih ada. Masih tersisa untuknya. Sehingga kata-katanya bagai belati yang menusuk hati tiada terperi. Hatiku teramat sangat perih.

“Rei..” Sepertinya Dwi ingin mendengar tanggapanku. Aku tak kuasa. Tak ada daya. Haruskah aku berkata aku cemburu? Aku terluka mendengar beritanya.

Haruskah kukatakan aku mencintainya? Teramat sangat mencintainya. Masihkah aku mencintainya? Masihkah ada rasa dihatiku untuknya? Ternyata masih. Ternyata ada. Ternyata masih ada perasaan dihatiku teruntuk dirinya. Aku ingin menangis saat itu juga. Aku gamang seketika.

“Se..lamat..” Kataku lirih. Sedikit bergetar. Suaraku nyaris tak terdengar. Walau sudah kumantapkan hati dan kukuatkan diri ini untuk mengatakannya. Aku lemah. Aku tak bisa berkata lebih dari yang sudah terucap baru saja.

“Kamu gapapa? Kok pucat?” Tanyanya khawatir. YA IYALAH!! PAKE TANYA!!!

Jangan ditanya bisa ga? Aku bisa keceplosan mengungkapkan perasaanku karena rasa cemburu. Sepertinya aku tidak bisa menahan keinginan lidahku yang tidak sanggup mengeluarkan segala resah hati yang tertahan lama sekali. Sampai terasa basi. Namun tak jua kutemukan keberanian hati.

“...” aku hanya menggeleng. “Cuma capek..” akhirnya hanya kata itu yang bisa kuucapkan.

Aku memang merasa lelah, jiwa dan raga. Tak ada daya. Tak ada rasa. Aku merasa hampa. Tubuhku laksana selongsong kosong tanpa jiwa. Ternyata semua rasaku sia-sia.

“Ya udah pulang yuk..” ajaknya. Dia berdiri.

Aku mengangguk “Tunggu..” lidahku berujar secara kurang ajar. Tanpa ijinku dia mengeluarkan suara. Seperti tidak rela mengakhiri kebersamaan kami yang baru saja tak seberapa lama.

Dwi menoleh menatapku. Aku malu. Tertunduk lesu. Bad tongue.. Lidah nakal. Tanggung jawab. Entah mengapa ada desakan hati ingin jujur pada Dwi tentang semua rasaku ini. Paling tidak biarlah jika dia membenciku jika tahu perasaanku. Karena toh sebentar lagi dia akan menikah. Tapi bisakah dia menyimpan semua, jika aku jujur dengan perasaanku? Aku percaya dia. Dan yakin dia akan menyimpan rapat-rapat tentang ini. dan kuputuskan untuk jujur padanya. Apapun resikonya. Aku siap.

“Dwi.. aku mau bilang sesuatu..” Dia menatapku. Aku tak sanggup menatapnya. Aku malu.

“Bilang aja..” katanya.

Dengan hati penuh debar. Dengan perasaan tak karuan. Aku mantapkan hati. Menguatkan diri untuk kata-kata yang ingin kuutarakan. Here we go.. one.. two.. go..

Kriikk.. Kriiikkk..

Oke aku masih belum siap sepertinya. Dwi menatapku heran. Motor mobil berlalu lalang. Hanya sedikit orang yang lewat di depan. Aku tegang.

“Rei..” Sepertinya Dwi sudah tidak sabar..

Oke. Siap tidak siap, kusiap-siapkan. “Dwi.. Tolong nanti jangan motong kata-kataku ya. Aku siap apapun nanti reaksi kamu setelah dengar kata-kataku ini.. Oke?” Dwi mengangguk.

“Dwi.. Aku.. Aku.. Akucintakamu. Akucintakamudaridulu..” Kata-kataku terlalu cepat. Aku tidak ingin keberanianku menghilang.

“Aku cinta kamu. Dari dulu.. Entah sejak kapan.. tapi aku sadar sejak SMP kalo aku suka kamu....” dan aku mulai bisa berkata-kata dengan lancar. Sangat lancar sepertinya. Seolah semua resah hati kuungkapkan saat itu juga. Di tempat itu. Kepadanya.

Aku katakan bagaimana aku menyadarinya. Menyadari kalau aku mencintainya. Bagaimana aku cemburu ketika melihatnya di pasar malam itu. Juga ciuman itu. Ciuman yang dulu itu. di Pohon Jambu dulu. Bagaimana ingatan itu masih menyapaku. Dan berita tentang kabar penikahannya dulu. Bagaimana hatiku sakit mendengarnya kala itu. Semua mengalir, lancar tanpa beban. Malah seolah semua beban itu terangkat dengan setiap kata yang meluncur dari bibirku.

Selesai. Semua beban resah hati yang kusimpan didalam peti di sudut terdalam hati telah aku ungkapkan pada Dwi. Jika tadi aku berani memandangnya sesekali sambil bercerita. Sekarang keberanian itu hilang lagi tiba-tiba. Aku tertunduk malu. Menunggu penghakiman Dwi atas kejujuranku.

“...”

“...”

Aku diam. Dwi diam. Lama sekali kami duduk dalam diam.

“...”

Masih diam. Tak ada jam. Tapi kurasa lama sudah waktu terbuang terlewat dalam diam. Lalu dengan kikuk dalam diam digenggam dan diremasnya tanganku. Hanya sepersekian detik. Tapi itu cukup membuatku tersipu.

Mengingat itu memang jalanan umum jadi tidak mungkin kami saling bergenggaman tangan lama. Namun itu kurasa cukup. Cukup membuat jantungku berdegup kencang kebat kebit bukan kepalang. Jadi.. Apa tanggapannya.. Aku masih menunggu..

“Rei.. Dwi.. dulu pernah hampir tunangan. Karena...”

Dwi bercerita jika dulu wanita yang berpacaran dengannya kebelet sekali ingin agar dia menikahinya. Yang tentu saja ditolak Dwi dan keluarganya. Mengingat dia masih sekolah. Padahal wanita itu hamil saja tidak. Mungkin dia tergila-gila, sangat tergiila-gila dengan Dwi sehingga tidak rela jika tak bisa mengikatnya dalam tali suci pernikahan. Pihak wanita itu meminta pertunangan saja yang dilangsungkan. Namun Dwi tak bisa. Dia menolak. Wanita itu mengancam ini itu tapi Dwi tidak peduli. Bukan salahnya. Toh wanita yang posesif luar biasa itu pun hanya gertak sambal saja. Semua kata-katanya hanya angin lalu tak bermakna. Dan Dwi melepasnya. Sampai akhirnya ketika lulus, Dwi langsung bekerja di Hotel tempat ayahnya dulu (atau masih. Aku lupa) bekerja. Disanalah dia bertemu gadis yang sekarang berencana ingin dinikahinya. Anak dari manajer hotel tempatnya bekerja.

Aku senang mendengarnya bercerita. Tapi aku bingung, bagaimana dengan tanggapannya tentang kejujuran yang dengan susah payah kuungkap.

“Rei udah Isya?” tanyanya mendadak. Aku menggeleng.

“Sholat dulu yuk sebelum pulang. Mumpung di Akbar..” ajaknya.

Aku mengangguk. Kami berdiri melangkahkan kaki. Menuju masjid Akbar yang tak begitu jauh dari tempatku duduk. Setelah mengambil wudhu, kami mulai bersiap sholat. Dwi adalah imamku. Imam sholatku tentu. Selesai sholat tak lupa kami bersalaman. Kuambil tangannya dan kucium dengan penuh syahdu. Dia imamku. Aku terharu.

Kulepas genggaman tanganku. Dan mulai kubaca dzikir penuh khusyuk. Kupanjatkan doa-doa untuk kedua orang tua, untuk diriku dan tak lupa untuk Dwi, ku doakan kebahagiaannya. Setelah selesai kami beranjak, dan segera bermaksud pulang.

Dalam perjalanan pulang yang terasa cepat. Tak terasa kami sudah didepan rumahku. Aku turun dan berterima kasih atas waktunya. Dia menggamit telapak tanganku dan mengajakku bersalaman erat. Tegas dan enggan lepas.

“Rei.. Makasih” Sambil tersenyum dia mengatakan itu lalu melepaskan jabatan tangan kami dan segera berlalu.

Apa itu? Itukah jawabannya atas kejujuranku? Tidak ada kata-kata, hanya genggaman tangan penuh makna. Disertai senyuman penyejuk jiwa. Jadi dia tak marah? Lalu bagaimana perasaannya? Sampai sekarangpun aku tak tahu. Namun aku cukup bahagia, telah berbicara jujur dengannya.

Itulah ceritaku. Memori ciuman pertama dibalik rimbunnya pohon jambu bersama seseorang yang merupakan cinta pertamaku. Bisakah dia kukatakan cinta pertama? Karena bahkan cintaku tak sempat bertumbuh. Tapi, dari dan keatas dirinya aku mengenal kata cinta. Cinta kepada seorang pria. Walau cintaku tak terbalas olehnya. Cerita ini tetap kugenggam penuh makna dan penuh rasa terima kasih didada.

**

Memori ciuman pertamaku kuakhiri sampai disini. Terima kasih atas segala apresiasi. Kutangkupkan tangan penuh haru untuk setiap pembaca yang menyempatkan diri untuk mengunjungi ceritaku. Sampai berjumpa dilain waktu, dilain kisah. See you.. #KecupHaru

Cerita ini kuakhiri dengan sambil mendengar lagu dari Michael Buble yang berjudul You and I. Lagu ini kurasa pas sekali untuk mewakili rasa yang dulu kumiliki dari dan keatas diri seorang Dwi. So, just lets hear it (Coba dengerin lagunya yah..) together lagu ini. Simak liriknya untuk kalian resapi..

Here we are. On earth together
It’s You and I, God has made us
Fall in love. It’s true
I’ve really found someone like you

Will it say the love you feel for me?
Will it say that you will be by my side?
To see me through
Until my life is through

Well, in my mind
We can conquer the world
In love, You and I
You and I.. You and I

I am glad at least in my life
I’ve found someone
That may not be here forever
To see me through
But i found strength in you

‘Cause in my mind
Youwill stay here always
In love. You and I
You and I.. You and I.. You and I

In my mind
We can conquer the world
In love, You and I
You and I.. You and I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar