Sabtu, 23 Mei 2015

Lanang Part V

(TELU LAS)
JANJI

UPACARA Ruwat Nagari memang selalu menyita perhatian. Sepanjang jalanan kabupaten riuh ramai dengan kerumunan orang. Sesak. Hampir tak bisa bernafas. Upacara tolak bala itu memang selalu menjadi daya tarik tersendiri tiap tahunnya. Di pelataran pendopo kabupaten, orang- orang berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Reog.
***
Aku hanya diam saat Perempuan setengah tua itu terus mengoles- oleskan bedak ke seluruh wajahku. Mbok Minah. Ahli tata rias itu masih saja sibuk menghias wajah- wajah kami sebelum pertunjukan dimulai. Sebentar lagi kami akan mempertunjukkan tarian pembuka . Dan setelah itu, pertunjukkan Reog akan ditampilkan sebagai suguhan utama.
***
Aku menoleh pada Pak Lek yang duduk pada gerombolan lelaki separuh umur. Ia menatapku sembari tersenyum. Aku hanya menundukkan wajah. Malu. Dalam alasan yang tak pernah kuketahui sedikitpun. Aku mulai malu jika Pak Lek menatapku. Padahal dahulu, berapa kalipun ia melirik dan mengarahkan pandangannya padaku, aku sama sekali tak perduli. Aneh. Mungkin aku mulai merasakan sesuatu pada Pak Lek.
***
Tapi tiba- tiba bayangan Bowo berkelebat di pikiranku. Ah. Sedang apa dia sekarang? Apa dia akan datang ke upacara ini? Ah. Tiba- tiba saja aku berharap sesuatu yang mustahil. Bowo tak akan mungkin datang kesini. Warok Joyo pasti menguncinya sendirian di rumah. Mustahil ia ada. Aku tersenyum kecut.

"Ndar....".
Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Ternyata Wawan. Ia segera mendekat dan duduk disamping ku. "Kamu kenapa to kog bengong seperti itu? Nanti kesambet lo."

Sesaat aku menerawang jauh.
"Aku.... Lagi inget sama Bowo Wan.... Dia datang gak ya hari ini. Aku pengen dia bisa nonton pertunjukan kita. Tapi sepertinya aku terlalu mengharap hal yang mustahil."

Wawan tersenyum. Kemudian merapatkan duduknya kearahku. Ia genggam pundakku dengan lembut.

"Siapa bilang mustahil, Ndar. Kamu tenang saja. Bowo pasti datang menonton kita."

aku melongo. Tak percaya.

"Memangnya warok Joyo akan mengijinkan Bowo kesini? Bukankah dia akan dikunci sepanjang hari sebelum diboyong ke Dolopo? Bukannya Warok Joyo melarangnya bertemu denganku?".

Namun Wawan hanya tersenyum. Mencoba menepis rasa tak percayaku.

"Tenang saja, Ndar.... Kamu pasti ketemu sama Bowo... Dia pasti datang kesini.....".

Akhirnya aku mengangguk. Mencoba mempercayai apa yang dikatakan Wawan. Aku tak tahu apa yang telah Wawan dan Bowo rencanakan. Tapi aku hanya bisa menunggu. Menunggu Bowo. Kuharap aku bisa menemuinya sebelum ia benar- benar terpisah dariku.

"Yawes, ayo ndang siap- siap. Udah dipanggil Pak Lindhu noh." wawa bangkit. Akupun mengikutinya. Kemudian kami mulai melangkahkan kaki di pendopo kabupaten untuk mendengarkan arahan Pak Lindhu. Instruktur tari kami yang berumur sekitar empat puluhan itu.

PERLAHAN namun pasti, pertunjukan tari Jathilan dimulai. Kami mulai membentuk formasi awal sebelum memulai tarian. Dan gamelan perlahan mulai mengalun. Dentuman gendang yang meneriakkan nada Pelog dam Salendro seakan menghentak tubuh- tubuh kami. Tangan- tangan kami mulai terayun. Kaki- kaki kami mulai menjejak kuat ke tanah. Dan kepala kami menggedik seirama gamelan yang kian kencang. Kami larut. Menjadi satu dengan irama. Kuda anyam dikepitan kaki kami terhempas pelan. Lunglai. Seakan turut menyempurnakan lenggok kelembutan gerakan kami.
***
Dan mataku diam- diam mulai menyebar ke seluruh penjuru ruangan pendopo. Para penonton yang terkesima oleh penampilan kami duduk pada barisan terdepan. Sementara pada baris kedua, kulihat Pak Lek Danu dan para warok lain bergerombol menyaksikan gemblak- gemblak mereka unjuk kebolehan. Dan tiba- tiba aku tertegun. Disana. Tepat di barisan terakhir. Diantara kerumunan orang- orang yang nyaris memenuhi pendopo, Bowo berdiri sambil menatapku tajam. Ia tersenyum tipis padaku sambil menganggukkan kepalanya. Ya Tuhan. Apakah aku sedang bermimpi? Tak mungkin Bowo ada disini. Aku tak percaya. Kukedipkan mataku, berusaha meyakinkan kalau aku sedang bermimpi. Namun ia masih berdiri disana. Ini nyata. Bowo benar- benar datang menontonku. Aku terperanjak kaget namun tetap memfokuskan diri dengan tarian. Ini benar- benar sulit dipercaya.

Ing salah sawijining dino,
Aku percoyo,
Yen pancene koe ono kanggo aku,
Mesti aku iso sesandingan karo koe.

AKU segera berlari begitu pentas selesai. Mengejar Bowo yang terus mengarahkanku ke halaman belakang pendopo. Aku terengah. Nyaris terjatuh. Dan aku berhenti tepat dihadapan Bowo yang berdiri kokoh dengan senyuman menawan. Aku hanya menatapnya tajam. Tak mempercayai semua ini.

"Ndar.......". Bowo menyebut nama ku dengan lembut sembari mendekatkan diri padaku.

"Kamu..... Bagaimana kamu bisa dateng kesini, Wo...???". Aku juga berjalan ke arahnya. Kemudian segera memeluk tubuhnya. Halaman belakang pendopo ini sepi. Karena semua orang pasti sedang berkumpul di Pendopo. Menyaksikan pertunjukan reog yang sekarang sedang dipentaskan.

"Aku.... Bisa kesini karena bantuan Wawan Ndar..."

aku tertegun. "Wawan?".

"Tadi pagi, Wawan disuruh Pak Dhe buat nganter sarapan buatku. Dan diam-diam, Wawan ngasih kunci kamarku padaku. Jadi aku bisa kabur dan menemuimu sebelum kita terpisah, Ndar." Bowo setengah berteriak saking bahagianya.

"Jadi kamu benar- benar akan pindah ke Dolopo?".

Bowo menatapku lekat. Ada sesirat penyesalan dalam kelopak matanya.
"Aku ndak bisa berbuat apa- apa, Ndar.... Aku bakal dibunuh sama Pak Dhe kalau berani m,embangkangnya lagi."

Aku hanya terpekur. Mendengarkan ucapan Bowo.

"Tapi percayalah, Ndar... Suatu saat nanti aku pasti kembali kesini dan membebaskanmu."

Bowo kian mempererat pelukannya. Tangannya merengkuh jemariku dengan kokoh. Aku kian terdiam. Dadaku bergemuruh.

"Apapun caranya.... Aku pasti akan menepati janjiku."


"Iya, Wo... Aku percaya sama kamu.. Aku percaya.....".
Aku terisak. Dan kian lebur dalam pelukannya.

Kami berdua terisak bahagia. Pelukan kami kian erat. Rengkuhan tubuh Bowo begitu kuat.

"Ndar...". Bowo berbisik pelan pada telingaku.

"Iya Wo...".

"Aku tresno karo koe." (aku suka sama kamu).

Aku terdiam sesat. "Aku.... Juga tresno karo koe, Wo.....".

Aku dan Bowo lantas berlari pergi meninggalkan pendopo kabupaten. Aku ingin menghabiskan waktu yang kumiliki sebelum aku terpisahkan dengan Bowo. Kami terus berlari lewat pintu belakang, sehingga tak seorangpun menyadari kepergian kami berdua. Aman.
***
Kami berdua berhenti tepat di depan rumah Warok Joyo. Sesaat aku terdiam menatap Bowo. Kenapa dia mengajakku kesini? Apa yang dia rencanakan?. Tapi segera Bowo menepis keraguanku. Ditariknya tanganku kuat dan diseretnya aku masuk kedalam pagar rumah.

"Kamu tenang saja, Ndar... Disini ndak ada siapa- siapa. Cuma kita berdua."

Bowo mulai mengeluarkan kunci dari saku celananya. Kemudian dengan sigap membuka pintu dengan kunci itu. Dengan sekali putaran, pintu terbuka dan Bowo menyeretku masuk kedalam.

"Ki.. Kita mau ngapain disini Wo...?". Aku berhenti, sembari melepaskan genggaman tangan Bowo di tanganku.

"Aku mau buktikan perasaanku sama kamu, Ndar." bowo menatap tajam ke arahku.

"Apa maksudmu wo?".

"Sudahlah, sekarang ayo ikut aku ke kamarku!".
Bowo langsung menarik tanganku. Aku hanya terdiam. Membiarkan Bowo menariktubuhku dan membawaku ke dalam kamarnya.

Bruk! Aku ambruk pada dipan kayu yang hanya beralaskan tikar dari rotan anyam. Aku terdiam menatap Bowo yang berdiri tegak di hadapanku.

"Kamu.. Mau ngapain Wo..?". Aku gemetaran.

"Tenang saja Ndar.... Aku akan melakukannya sebagai bukti aku menyayangimu."
Bowo lantas mendekat padaku. Sambil satu persatu melepaskan kancing kemejanya. Hingga sekarang ia telanjang dada. Hanya mengenakan celana pendek hitam. Sesaat kupnndangi tubuh kokohnya. Tubuhnya nampak begitu terbentuk diusianya yang masih muda. Dadanya lumayan bidang dengan bulu- bulu halus yang membentuk garis dibawah pusarnya.
***
Bowo langsung menubrukku yang masih terkulai. Tubuhnya melekat erat pada tubuhku. Dan bibir kami saling melumat satu sama lain. Buas. Aku hanya pasrah. Terdiam oleh setiap gerak liar Bowo.
***
Dengan sigap dilucutinya semua pakaianku. Sehingga aku hanya terkapar tanpa sehelai benangpun. Ia semakin buas menghimpitku. Kurasakan tonjolan keras diselangkangannya yang perlahan menggesek- gesek pantat telanjangku. Kuraih gundukan yang masih terberungkus celana itu. Dan kuelus sebentar. Kudengar Bowo melenguh perlahan. Tubuhnya mengejang, merasakan getaran hebat dari sentuhanku pada daerah sensitifnya.
***
Bowo kemudian bangkit, melepaskan celana hitam dan celana dalamnya. Sedikit demi sedikit, nampaklah bagian bawah tubuhnya yang sempurna. Dan mencuatlah batang besar yang lumayan panjang diantara bulu- bulu hitam halus yang tak begitu lebat. Kepalanya merah dan nampak tegang.

"Lakukan saja... Wo... Lakukan..."
Aku setengah berbisik pada Bowo.

Tanpa aba- aba lagi, Bowo segera membalikkan tubuhku. Sehingga kini aku berada diatas tubuhnya. Sementara dia terlentang dibawhku sambil menutup mata. Tanpa banyak menunggu, aku mulai merangkak diatas tubuhnya. Dan kemudian.... Kuarahkan batang Bowo yang mengeras kearah belahan pantatku.
***
Dan kami berdua pun menyatu. Tenggelam dalam hasrat yang tak perlu kami pelajari untuk dapat menyelaminya.

(LIMO LAS)
LAN IKU SENG DADI PILIHANKU
(Dan itulah yang jadi pilihanku).

"ARRRRRGGGGGHHHHH........!!!!!!"
Bowo mendesis dan menggelepar diatas tubuhku. Tubuhnya mengejang. Kemaluannya tak henti menyemburkan cairan hangat dan lengket di lubangku. Nafasnya terengah. Kencang menghgempas bagian belakang leherku. Sementara aku hanya terdiam. Terkulai lemah tanpa daya.

"Ndar..... Kamu ndak nyesel kan melakukan ini denganku?". Bowo berbisik pelan ditelingaku.

Aku hanya terdiam. Tak punya jawaban. Akal sehatku masih membumbung tinggi bersama nafsu birahi yang perlahan menguap dan terkikis.

"Jika Pak Lek mu melakukannya karena menyayangimu. Maka aku juga bisa Ndar.... Aku lebih menyayangimu dari pada Pak Lek Dhanu.... Aku lebih menyayangimu......" Bowo memeluk lembut tubuhku. Tangannya perlahan mengusap kepalaku. Sebentar dikecupnya pipiku.

"Iya... Wo.... Aku tahu...... Aku juga menyayangimuuu........" aku terisak dalam pelukannya. Dikuasai rasa haru dan bahagia yang membahana.

"Kamu tenang saja, Ndar... Walaupun aku diboyong warok Joyo ke Dolopo atau keluar Jawa sekalipun. Aku tetap menyayngimu Ndar..... Suatu saat nanti, aku pasti akan datang menjemput dan membebaskanmu.... Percayalah....."

"Iya... Wo... Iya.......".

Kami berdua kembali hanyut dalam pelukan. Tak perduli lelehan lengket membanjiri tubuh kami.
***
BRAKKKKKKKKKKK!!!!
TUBUH Wawan terhempas oleh tenaga warok Joyo yang membabi buta. Ia ambruk pada lantai kayu yang keras. Warok Joyo membungkuk. Dan kemudian menampar kencang wajah Wawan hingga mulutnya menyemburkan darah segar.

"KURANG AJAR KAMU!!!? BERANI- BERANINYA KAMU NGASIH KUNCI KE BOWO!!!!?? KAMU MAU TAK BUNUH YA????? SONTOLOYO......!???"

"AMPUNNN PAK LEK... AMPUUUUUUUNNNN..........' Wawan berteriak sekencang- kencangnya begitu tangan kasar Pk Dhe Joyo menghantam mukanya untuk kesekian kali.
" Kenapa Pak Dhe nuduh saya yang memberikan kuncinya ke Bowo...???"
Namun sekali lagi malah tamparan keras yang menghujam wajahnya. perih. muka Wawan kian babak belur.

"Kamu ndak usah ngelak lagi Wan.... sontoloyoo!!!!! Anjar lihat kamu ngasih kunci kamar ke Bowo. kamu masih mau ngelak lagi????? kurang ajar kamu......" Warok Joyo tak henti mengeluarkan amarahnya. ia kian murka. " Kamu tahu ndak.... apa yang kamu lakukan itu bisa bikin Bowo ketemu sama Wendar. Bowo bisa kaburrr .........kamu tahu?????."

Kemudian Warik JOyo bangkit dan dengan paksa menyeret tubuh Wawan keluar dari sanggar. " Sekarang ayo kita lihat apa yang dilakukan si bocah sontoloyo itu setelah dapat kunci rumah."

(LIMO LAS)
LILAKNO
(relakan)

Aku masih terbaring lunglai diatas tubuh bowo yang hanya mengenakan celana pendek. Begitupun aku. Nafas kami masih memburu oleh gelombang nafsu yang belum reda juga meski sudah berlalu. Keringat membasahi kening dan membanjiri setiap inci tubuh kami. Kupeluk erat tubuh Bowo. Dan kucium lembut pipinya.

"Jangan tinggalin aku ya... Wo.... Aku mohon.... Jangan tinggalin aku........." aku sedikit berbisik. Mendekatkan wajahku pada lehernya.

"Aku sebenarnya juga ndak mau ninggalin kamu Ndar... Aku sayang sama kamu.... Aku ndak mau terpisah jauh dari kamu......". Bowo membalas lembut pelukanku.

"Tapi kita berdua ndak punya pilihan Ndar....".

"Apa maksudmu?".

"Pak Dhe Joyo pasti akan membunuhku kalau tidak mengikuti perintahnya. Aku sudah berulang kali mencoba kabur darinya. Dan mungkin bila aku melakukannya lagi, maka Pak Dhe akan mengejarku kemanapun aku pergi. Aku tahu Pak Dhe itu orangnya ndak pantang nyerah kalau sudah punya kemauan Ndar... Aku takut....".

Sesaat kami berdua diam. Hanya deru nafas dan detak jantung kami yang terdengar. Bowo kian erat memelukku. Wajah kami bertatapan. Mata kami saling memandang.

"Tapi kamu beneran janji bakal balik kesini kan?".

Bowo mengangguk. "Pasti, Ndar... Aku pasti datang dan menyelamatkanmu."

Aku tersenyum mendengar ucapan terakhir Bowo. Kukecup pipinya sekali lagi. Dan dia membalas mencium keningku.

"Andaikan kita bukan Gemblak Ndar, pasti kita bebas menunjukkan perasaan sayang kita."
***

TAPI tiba- tiba, BRAKKK!!!
Terdengar suara pintu depan di banting dengan keras. Aku dan Bowo terperanjat. Segera bangkit dan memunguti pakaian kami untuk dipakai. Terdengar langkah kaki kian dekat menuju kamar dimana kami berdua berada. Dan kemudian pintu pun dibuka dengan paksa. Dijebol. Pintu terbuka dan muncullah sosok Warok Joyo yang beringas berdiri sementara tangan kanannya menjambak rambut Wawan disampingnya.

"Lihat Wan apa yang mereka lakukuan...... SONTOLOYOOOO!!!!! JANCOKKKKK Kaliannn.........."

Warok Joyo menghempaskan tubuh lemah Wawan dan berjalan kearah kami. Tanpa basa- basi ia menuju Bowo. Dan dengan beringas mencekik leher Bowo hingga ia hampir tak bisa bernafas. Aku histeris. Ketakutan. Berulang kali tamparan keras dari tangan Warok Joyo mendarat di pipi Bowo.

"LEPASKAN PAK DHEEE.... LEPASKANN BOWO... LEPASKANNNN....!!!!!!". Aku meraung dan mencakar-cakar tubuh Warok Joyo dengan beringas.

Namun aku lantas ambruk oleh sentakan tubuhnya yang kuat. Aku terkapar diatas lantai kayu.

"HEHHH...... Curut (tikus) satu ini mau menantang saya ya...???" desisnya menatapku tajam.

"Lepaskan Bowo.... Pak dhe... Lepaskan...." aku terus merintih kesakitan. Badanku remuk tertatap lantai kayu yang keras.

"Kamu mau kurang ajar sama saya Hahh???? Bilang sama warokmu! Ngadu sana........ Suruh dia jaga kamu dengan benar........ Jangan pernah kamu bisa mencintai Bowo.... Bowo itu milik saya.... ".

Warok Joyo masih saja menampari Bowo. Ia kian beringas. Emosinya meletup- letup. Bowo kian menjerit kesakitan. Wawan pun ambruk pada lantai kayu. Dan aku kian meringkik ketakutan.

"ANJARRR..... CEPAT SIAPKAN DOKAR (andong)...... AkU MAU PERGI KE DOLOPO SEKARANGGGGG!!!!!". Pekik Warok Joyo sambil menarik kasar tubuh Bowo yang tak bertenaga keluar pintu rumah. Ia akan membawa Bowo pergi ke Dolopo sekarang juga.

"Jangan bawa Bowo pergi Pak Dhe... Kumohon ..... Jangan pisahkan aku sama dia........."

(NEM BELAS)
KANGEN

Lewat angin sore, titip kangening ati
Mung pangapurane, durung biso nemoni
Kangen, aku kangen sliramu
Rindu, aku pengen ketemu

ANGIN malam dingin menghempas menusuk- nusuk kulit. Dalam kelam, gemintang nyaris raib diterkam kegelapan. Lampu- lampu sentir bergoyang. Redup memberikan cahaya temaram. Aku tertelungkup diatas ambenku. Hatiku perih. Tiba- tiba saja ada sesuatu yang menggedor- gedor dinding perasaan ku. Aku rindu pada Bowo. Ya aku sangat merindukannya. Seminggu sudah Bowo pergi meninggalkan aku sendiri. Ia sekarang ada di Dolopo. Terbentang jauh dari tempatku berada saat ini. Aku mendengus. Mungkin memang inilah hukuman bagi cinta terlarang. Air mataku meleleh. Membanjir.
***

Brekk..
Tiba- tiba pintu kamarku terbuka. Dan muncullah sosok Pak Lek Dhanu. Perlahan Pak Lek melangkahkan kakinya mendekatiku yang masih tertelungkup diatas amben. Ia kemudian duduk disampingku, tangannya membelai halus kepalaku.

"Kamu itu kenapa to, Ndar?? Pak Lek panggil dari tadi gak nyahut- nyahut. Kamu belum makan kan? Itu Pak Lek belikan rawon kesukaanmu."

Namun aku tetap diam. Tak bergeming. Aku sedang tak ingin bicara dengan siapapun saat ini.

"Sudahlah Ndar... Ndak baik kamu seperti ini terus. Ndak seharusnya kamu terus mengharapkan Bowo. Kalian ini ndak ditakdirkan untuk bersama. Lupakanlah saja dia".

Aku lantas menancapkan tatapan pada Pak Lek, aku terkesiap mendengarkan ucapan terakhirnya.

"Kenapa Pak Lek? Kenapa aku ndak boleh mengharapkan Bowo? Apa karena aku seorang gemblak? Apa karena aku ndak punya hak untuk jatuh cinta dan dicintai?". Aku setengah murka. Air mataku mulai membanjir.

"Bukannya begitu Ndar... Hanya saja." Pak Lek menerawang. Tampak memikirkan sesutu.

"Hanya saja apa?".

"Pak Lek ndak bakal rela membagi atau memberikanmu pada siapapun Ndar.... Meskipun kamu cuma gemblak Pak Lek, tapi Pak Lek ndak bakal mau menukarmu dengan apapun. Termasuk sama Bowo. Pak Lek menyayangimu, Ndar....."

"Tapi kalau Pak Lek menyayangiku, maka Pak Lek gak bakal membiarkan aku tersiksa begini. Aku tersiksa tanpa bowo, Pak Lek, aku tersiksa tanpa dia!". Aku terisak. Tubuhku tergoncang. Dan ambruk pada tubuh Pak Lek.

"Maafkan Pak Lek Ndar... Maafkan Pak Lek..."
***
Sekali lagi Bowo membalikkan tubuhnya dibalik amben kayu dengan gelisah. Nafasnya memburu. Kepalanya tiba- tiba pening. Ia mulai menyadari sesuatu. Ia begitu merindukan Wendar. Entah kenapa tiba- tiba saja bayangan Wendar yang mencumbunya begitu memenuhi setiap senti memori otaknya. Ia tak bisa apa- apa. Ia tanpa daya.

"Aku kangen sama kamu, Ndar...." bisiknya pelan.

SEPULUH TAHUN KEMUDIAN
Ponorogo diawal tahun 80-an kering dan meranggas. Dedaunan jati dan mahoni perlahan tumbang dari ranting dan menghempas tanah berdebu yang kering tanpa tersiram hujan. Sudah hampir dua bulan hujan tak juga turun. Sepertinya sang surya memang tengah mempertontonkan keangkuhan dan kegagahannya pada dunia.
***
Beberapa anak lelaki tampak bermain gundu di hamparan tanah kering yang berada di halaman rumahku. Mereka nampak asyik menembak- nembakkan kelerengnya pada kelereng anak yang lain. Beberapa saat kemudian mereka tertawa- tawa. Lantas melanjutkan kembali permainan diiringi dialog tak penting khas bocah- bocah lelaki umur enam belasan. Aku hanya tersenyum memandangi mereka. Sembari menyeruput kopi kotol yang mengepul disampingku. Kusahut pula pisang goreng yang masih terasa panas dan kunikmati siang terik ini. Rasanya amat sangat nikmat. Menikmati kesyahduan dan ketenangan kampung yang ditiupi angin semilir yang menghempas lembut. Meskipun panas tak kenal ampun, namun terap terasa kesejukan dan ketenangan.

"Pak Lek..... Pak Lek Wendar kog bengong aja to dari tadi? ".

Seorang bocah lelaki berdiri di hadapanku sambil tersenyum. Tangan kanannya menjinjing tas selempang yang kumal dan kuno. Sementara tangan kirinya membawa sepasang sepatu pantofel yang ukurannya besar. Mungkin lebih besar dari ukuran kakinya. Dan seragam biru putih yang dikenakannya tampak sudah tak tertata lagi.

Aku mendongak kearah bocah itu. Tersenyum sebentar. Kemudian membalas uluran tangannya padaku. Ia cium punggung tanganku dengan lembut.

"Kamu sudah pulang Jar....".

Bocah itu mengangguk dan tersenyum. "Sampun Pak Lek..... Gurune sami rapat, dados kulo kalihan rencang- rencang sami wangsul enjing "

(udah pak lek, gurunya rapat, jadi aku sama teman- teman pada pulang lebih awal.)

"Oh... Begitu.... Yawes kamu sekarang ganti baju sana... Kamu hari ini ada latihan nari kan?".

Aku bangkit dan menggusak rambut Jarwo, bocah lelaki itu. Ia hanya tersenyum kecil. Wajah polosnya begitu menggemaskan.

"In... Injih Pak Lek...". Jawabnya. Kemudian ia mulai melangkahkan kaki memasuki rumah. Aku bangkit dan mengikutinya dari belakang.
Dan aku terhenti di depan sebuah foto yang terpajang pada dinding ruang tamu. Foto aku dan Pak Lek Danu setelah pementasan acara ruwat nagari . Foto lusuh yang berhasil merobek dan memporak- porandakan seluruh memori masa laluku.

"Pak Lek......." tanganku membelai lembut wajah Pak Lek Danu dalam foto berbingkai bambu anyam itu. "Aku sudah melakukan janjiku. Seperti apa yang kau minta, aku sudah jadi Warok... Dan sekarang... Lihatlah... Aku juga punya gemblak, Pak Lek. "

tiba- tiba jantungku bergemuruh. Mataku panas. Badanku bergetar

"Meskipun Pak Lek sudah ndak bisa melihat Wendar menepati janji. Tapi Wendar yakin Pak Lek, Pak Lek pasti tahu....".

Perlahan tanganku menelusuri rentetan tulisan pada bagian bawah yang tercetak dengan tinta hitam. DANU SENTANI SATYODHEWO (1933-1982).

***
"ayo Pak Lek, kita berangkat sekarang."
Suara lembut Jarwo membuyarkan lamunanku. Ia berdiri diambang pintu sambil menenteng buntelan yang berisi properti tari. Aku menoleh kearahnya. Tersenyum sebentar, namun tak menjawab.

"Aku lihat Pak Lek selalu melihat foto itu. Sebenarnya itu fotonya siapa Pak Lek??". Jarwo mendekatiku sambil menunjuk kearah foto yang kupandangi. Tatapan polosnya mengisyaratkan keingin tahuan.

"Ini...."

"Siapa ?".

"Ini... Kakungmu (kakek) Jar.... Ini Kakungmu... Namanya Kakung Danu...". Ucapku lirik sambil menunduk kearah bocah lelaki yang tingginya seperutku itu. "Tapi dia sudah meninggal setahun yang lalu. Karena sakit jantung, le....".

Jelasku pelan. Jarwo hanya mengangguk takzim sambil menatapku dengan tatapan polosnya.

"Anu... Pak Lek..."

"Apa Jar?".

"Tadi... Waktu pulang sekolah aku ketemu sama Pak Suryo, itu lo, yang suka nganterin surat. Dan dia nitipin ini ke Jarwo." sebentar Jarwo merogoh saku celana pendeknya. Dan menyerahkan sebuah amplop cokelat yang warnanya pudar.

"Apa ini?".

Tapi Jarwo menggeleng. Ia tak tahu. "Yang pasti itu buat Pak Lek...."

Aku menelan ludah sembari menerima surat itu. Aku mendadak penasaran. Siapa pengirim surat ini. Aku mendadak penasaran. Siapa pengirim surat ini. Maka segera kubalik amplop dan menemukan kalimat cakar ayam yang ditulis dalam aksara jawa. Aku tertegun. Benarkah ini?. Benarkah tulisan ini?. Aku tahu betul tulisan siapa ini. Ini tulisannya. Ya. Aku yakin ini pasti tulisannya. Maka segera kufokuskan mataku pada deretan kalimat yang tertulis pada satu sisi amplop cokelat itu.

Tiba- tiba saja bibirku bergetar membaca selarik kalimat tersebut. Badanku mendadak lemas. Benarkah ini Bowo. Benarkah ia yang menulis surat ini untukku?. Maka dengan segera kurobek bagian atas amplop cokelat itu dan kemudian kukeluarkan isinya. Selembar kertas berwara buram. Lusuh. Perlahan kumulai membuka lipatan kertas itu. Dan mulai membaca isinya.

Kanggo Wendar seng tak tresnani.

Sama seperti janjiku padamu dulu. Aku pasti akan datang kembali menemuimu. Dan sekarang, aku akan menepati janji itu, Ndar. Kuharap esok pagi aku bisa berjumpa dan menatap indah matamu lagi.

Bowo.

Tanpa sadar mataku terasa panas begitu menyelesaikan membaca surat itu. Entah kenapa tiba- tiba tanganku gemetar, jantungku berdegup kencang. Ternyata surat ini benar darinya. Dari Bowo. Sebentar lagi dia akan kembali menemuiku. Sebentar lagi dia akan menepati janjinya. Ya. Bukankah seharusnya aku bahagia? . Tapi mendadak keraguan datang menyelimuti bathinku. Masihkah dia akan menyukaiku jika melihat keadaanku sekarang? Masihkah dia mau mengenalku setelah melihat aku telah menjadi warok yang memiliki seorang gemblak? Tiba- tiba saja badanku lemas dan aku ambruk pada lantai kayu yang berdebu.


1 komentar:

  1. KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.

    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


    BalasHapus