Sabtu, 23 Mei 2015

My First Kiss Part I

MY FIRST KISS

Hiruk pikuk manusia tumpah ruah di lapangan bulu tangkis ini. Sorak sorai dukungan terdengar dari tiap sudut luar lapangan. Yel—yel pun kian semarak didendangkan untuk setiap pemain yang bertanding.

Pertandingan bulu tangkis antar RT memang telah menjadi kegiatan rutin yang selalu diselenggarakan tiap tahunnya di lingkungan antar warga di daerah kami. Teriakan, nafas tertahan masih terdengar dari setiap pasang mata yang menyaksikan pertandingan yang bisa dibilang seru ini. Malam kian larut tapi manusia yang datang malah semakin mengerubut. Seperti tidak rela melewatkan pertandingan setahun sekali ini.

Namun sayang, aku tidak berada diantara mereka. Tidak ikut menyaksikan pertandingan bulu tangkis yang aku yakin memang seru. Aku sebenarnya ada diantara mereka (teknisnya begitu). Tapi sosokku tidak membaur dan terlindung dari tiap pasang mata.

Aku sedang berada dibalik rimbunnya pohon jambu biji bangkok yang saking rimbunnya menyerupai semak yang seperti membentuk sebuah kubah. Bagaimana aku bisa berada dibalik rimbunnya pohon jambu ini? Well, aku_tepatnya_kami, sengaja bersembunyi disini.

‘Dia’lah yang mengajakku bersembunyi. Entah mengapa. Namanya Dwi Putra Sugiantoro. Umurnya 7 (tujuh) tahun, Sedang aku, Rei, umurku 5 (lima) tahun waktu peristiwa ‘ini’ terjadi.
Dwi (begitu aku memanggilnya) mengajakku masuk kebalik rimbunnya pohon jambu tepat sebelum pertandingan bulu tangkis itu dimulai. Letak pohon itu dengan lapangan bulu tangkis lumayan dekat. Tapi dengan daun-daunnya yang padat merapat, kami terlindung dari mata-mata yang kurang awas. Lagipula siapa yang akan memperhatikan kami? Mereka akan lebih fokus pada jalannya pertandingan bukan?

Kami menonton dari balik daun yang hanya tersibak sedikit. Hanya sedikit. Seolah kami bukan menonton tapi ‘mengintip’. Dwi duduk dibelakangku. Kepalanya sejajar denganku. Pipi kami bertaut berbagi hangat. Kulit pipinya lembut ku rasakan.

Pertandingan bulu tangkis itu terbagi dalam 3 (tiga) babak. Dua pertandingan double dan satu pertandingan single. Urutannya double, single, dan ditutup dengan double lagi.

Sepanjang pertandingan pertama kami masih terus ‘mengintip’ dengan posisi yang sama, tidak berubah. Walau terkadang pipinya selalu bergerak lembut beradu dengan pipiku. Tapi posisi tubuh kami tetap terjaga. Aku di depan dan dia di belakangku. Walau kurasa posisinya makin erat merapat ketubuhku. Pertandingan pertama pun selesai. Wakil dari RT kami menang. Kami pun riang. Walau dengan suara tertahan.

Ketika pertandingan kedua kami bosan. Dia yang bosan tepatnya. Wajahnya dia tarik ke belakang. Aku meliriknya. Dia tersenyum manja. Entahlah. Tapi itu pikirku kala itu. Ketika aku berbalik ingin ‘mengintip’ pertandingan lagi, tangannya menggapai pipiku. Dialihkannya wajahku menghadap dirinya. Masih dengan senyum manjanya.

Selama beberapa detik yang terasa selamanya, kami hanya saling pandang berhadapan. Senyumnya mulai menerbitkan senyum diwajahku. Walau aku tak ada pikiran apa-apa, tapi aku bingung jika harus menghabiskan waktu hanya dengan pandangan mata saja. Lagi, kucoba mengalihkan wajahku ingin ‘mengintip’ lagi pertandingan yang mulai seru itu. Terdengar dari sorak-sorak dan jeritan-jeritan tertahan para suporter.

Dan lagi, diraihnya kembali wajahku. Sekarang kedua tangannya disamping pipiku. Dia tersenyum. Masih dengan senyum manjanya. Membuat bibirku tergelitik mengembangkan senyumku juga. Dalam detik itu dunia kami terpisah dengan orang-orang lainnya. Seolah hanya ada dia dan aku. hanya ada kami dibalik rimbunnya pohon jambu ini.

Dengan kedua tangannya yang masih diwajahku, tangan kanannya mulai menjelajah. Kali ini diusapnya rambutku pelan. Membuatku nyaman. Dan detik berikutnya nafasku tertahan.
Dalam gerakan kilat dia mencuri ciuman dari bibirku. Tapi tunggu, jangan bayangkan ciuman basah penuh desah. Itu hanya ciuman sekilas pertemuan dua bibir, bibirnya dan bibirku. Kalian tahu, hanya bersentuhan sepersekian detik dan dilepas. Hanya itu. Tapi karena itu nafasku tertahan. Entah karena apa. Aku 5 tahun waktu itu. belum mengerti apa-apa.

Ciuman kilat itu, ciuman pertamaku.

Setelah melakukan ‘ciuman kilat’ itu dia tersenyum dan menatapku sayu. Melihatku yang diam dengan nafas tertahan dia mengelus rambutku dan mendekatkan wajahnya padaku.
“Rei ga papa?” bisiknya lembut ditelingaku. Nafasku terlepas saat itu juga. Segera kuisi paru-paruku didetik berikutnya.

Aku menggeleng. Dia menarik wajahnya dan tersenyum (lagi).

Dalam senyumnya aku mulai tenang kembali. Dia mulai mengangsurkan wajahnya lagi kearahku. Semakin mendekat. Terlalu dekat. Aku memejamkan mataku cepat.

“Aku mau cium Rei lagi. Boleh?” Bisiknya sangat lembut padaku.

Riuh suara penonton diluar arena pertandingan seakan redup. Hanya terdengar dengung yang sedikit senyap. Suara bisikannya ditelingaku malah terdengar nyaring terdengar sampai terngiang. Dia. Mau. Cium. Aku. Diamauciumaku. Diamauciumaku. Lagi? (Okeeee.. Dulu aku tidak begini. Dulu aku hanya diam dan mengangguk saja).

Kami saling berpandangan (lagi). Senyumnya masih terkembang walau kurasa sedikit tegang. Aku balas nyengir kuda tak tahu harus berbuat apa. Wajahnya semakin mendekat, dekat sekali, amat sangat terlalu dekat sekali. Mataku lagi-lagi terpejam. Dalam pejam kurasakan bibirnya menyentuh bibirku lembut. Ditekannya bibirku. Aku bingung tak tahu harus apa. Jadi aku hanya memasang bibir saja. Beberapa saat yang terasa selamanya, bibirnya menekan bibirku. Entah kenapa, tapi kubuka mataku. Dan kulihat dia disana. Ada dia dengan mata yang terpejam berkonsentrasi menekan-nekan bibirnya dengan bibirku. Matanya mulai terbuka dan bibirnya terlepas perlahan dari bibirku. Senyumnya terkembang amat sangat lebar dan terlihat puas sekali. Seolah dia memenangkan medali emas untuk cabang bulutangkis.

Pandangan matanya bertatapan dengan mataku. Tatapannya sayu. Hatiku bergemuruh. Aku tak mengerti, tapi aku sangat senang sekali. Tatapannya terlihat penuh binar bahagia. Matanya seolah berkata ‘Terima kasih. Aku senang’. Terdengar mengada-ada memang. Tapi jelas itulah yang kurasakan.

Sorak-sorai pertandingan mulai terdengar kembali. Kali ini jelas dan keras terdengar. Kami masih saling tatap dan kualihkan pandangan tak kuasa ingin ‘mengintip’ pertandingan lagi. Dia paham. Diraihnya tanganku dan digenggamnya. Ditolehkannya wajahku dan disibakkannya sedikit daun untuk ‘mengintip’. Posisi kami kembali seperti awal lagi. Aku di depan dan dia di belakang. Bedanya tangan kanannya menggenggam tanganku erat. Dan pipinya makin terasa hangat dan rapat di pipiku. Dengan itu kami menghabiskan malam sampai pertandingan berakhir.

Dibalik rimbunnya pohon jambu itu bibirku tak lagi perawan. Pipiku hangat bukan buatan. Dan tangan kananku selalu terkepal, teringat genggamannya. Dalam malam itu pikiranku selalu terkenang. Di pohon jambu itu, malam itu, pipi itu, genggaman itu, dan yang pasti ciuman itu.. Hatiku tertawan dan sulit tuk lepas kawan.. Dan dimalam itu mimpi-mimpi kebersamaan kami selalu terulang. Sangat sering sekali terulang. Selalu terngiang-ngiang..
*

THE BADMINTON BATTLE

Mimpi itu masih terulang kini. Bahkan selang beberapa tahun. Aku telah kelas 5 SD kini. Umurku pun telah bertambah. Aku 9 tahun kini. Aku masuk sejak SD ketika usiaku masih 5 tahun. Sedangkan dia masuk SD ketika sudah berumur 7 tahun. Dia harus masuk TK dahulu dan ekstra setahun untuk memperlancar cara membacanya.

Sedangkan aku telah bisa membaca tanpa seorangpun yang mengajari. Tanpa Playgroup, PAUD, TK dan semacamnya. Ketika melihat huruf aku seolah langsung tahu bagaimana harus membacanya. Waktu melihat angka otakku langsung mengingat bentuknya. Seluruh huruf dan angka seolah sudah tersusun rapih dalam database otakku.

Tidak begitu halnya dengan pertumbuhan dirinya. Walau Dia mengalami kesulitan dalam belajar. Tapi sepertinya tubuhnya bertumbuh dengan pesat. Walau usianya masih 11 tahun tapi struktur tulang wajahnya mulai terbentuk. Wajahnya rupawan bukan buatan seperti cetakan sang Arjuna dalam dunia pewayangan. Posturnya juga terlihat padat. Tidak besar dan berotot, tapi tegap dan liat seperti atlet bulutangkis. Karena kebetulan itulah olahraga favoritnya juga aku.

Kami masih sering menghabiskan waktu berdua. Kadang kami berlatih bulu tangkis bersama-sama. Dia jauh lebih jago dibanding aku. pukulannya ketika servis tiada celah, tidak terlalu tinggi tapi pas. Backhand-nya sama keras dengan pukulannya yang biasa. Dropshot-nya tajam bukan buatan. Pukulan smash-nya keras sulit ditahan.

Ketika kami berlatih (mungkin lebih tepat disebut bermain-main), banyak anak yang menantangnya bertanding. Semua anak itu umurnya di atas umur kami. Tapi dia tidak gentar. Dihadapinya mereka satu persatu.

Bukan Dwi namanya jika dia tidak bisa melawan setiap lawan yang menghadang. Dengan cepat dia melibas 2 (dua) orang penantang. Gerakan Dwi lincah bagai cheetah. Anggun selaksa kijang. Dropshot-nya membuat lawan susah mengejar. Dan yang paling spektakuler adalah pukulan smash-nya yang benar-benar sulit ditahan. Bahkan dari 2 (dua) orang tadi, satu pun tidak ada yang bisa mengembalikan smash-nya.

Masih ada 3 (tiga) orang lagi yang menantangnya. Aku mulai menguap. Kantuk menyerang. Dan Dwi melihat. Dia menghampiriku. Wajahnya terlihat menyesal entah kenapa.

“Rei Ngantuk? Maaf ya aku cuekin kamu. Tapi aku susah nolak tantangan” Raut mukanya mendung.

Aku tersenyum “Ga papah. Maen lagi gih. Aku tunggu disini” Matanya intens menatapku. Digenggamnya tanganku.

“Beneran?” aku mengangguk.

“Ya udah, aku selesai in secepatnya ya..” Sambil tersenyum dia pamit.

Aku memang lelah dan mulai mengantuk. Tapi aku tidak tega meninggalkannya berjuang seorang diri tanpa dukungan dariku. Sebisa mungkin kutahan kantukku. Lawannya kali ini sudah SMP kelas 3. Sedikit (oke. Lumayan) lebih tangguh dibanding dua lawan sebelumnya.

Perolehan skor pun sedikit tipis. Saling kejar mengejar angka. Mataku susah untuk kompromi. Dwi melihatnya. Aku terbangun. Kaget. Aku tak ingin fokusnya pecah. Tapi percuma. Dia sudah melihat kantukku. Akibatnya shuttlecock berhasil mendarat mulus di area lapangannya. Dwi meminta ijin minum. Sepertinya dia lelah. Dia menuju kearahku. Dan kuangsurkan botol minuman miliknya.

Ketika sampai diambilnya botol itu lalu “Maaf. Lawannya sedikit lebih kuat. Tapi Rei jangan tidur dulu. Akan cepat-cepat kukalahkan dia. Dan kita pulang bareng. Oke?” Tegasnya seolah perlu kepastian dariku.

Aku mengangguk. Berapa lama pun akan aku tunggu pikirku. Dia kembali kelapangan dengan tekad yang kian kuat. Terlihat dari pancaran matanya. Dwi memang seperti itu. dia pantang lari dari lawan yang menghadang. Siapapun lawannya, akan dihadapinya apapun hasilnya. Tidak peduli menang atau kalah.

Pertandingan dilanjutkan. Dwi mulai terlihat gencar menyerang. Kali ini permainannya dikombinasikan dengan netting (permainan di depan net), juga bola silang. Setelah netting dia akan mengangkat bola ke belakang, kadang ke tengah lalu netting lagi. Lawan pun kocar kacir mengejar bola. Kombinasi yang dilakukan oleh Dwi mulai terlihat hasilnya. Lawan terlihat kehabisan nafas. Lagi, Dwi memainkan kombinasinya, setelah lob jauh ke belakang dengan cepat bola diarahkan ke depan dengan net tipis. Sangat tipis. Lawan mengejar dan sliipp.. Lawan melakukan split tiba-tiba. Tapi percuma, bola terlalu tipis. Walaupun bola terangkat tapi masih menyangkut di net. Poin lagi untuk Dwi.

Sepertinya Dwi memang ingin cepat-cepat menyudahi permainan ini dengan cepat. Sehingga dia mengeluarkan seluruh kemampuannya. Malang untuk lawan ketika tadi dia melakukan split dia menyerah. Kakinya sepertinya kesakitan. Tepatnya paha bagian dalamnnya yang selalu dipegang lawan.

Pertandingan pun berakhir dengan kemenangan Dwi. Cepat. Terlalu cepat. Lihatlah sahabatku itu. bukankah dia hebat? Aku tersenyum puas. Tapi kantuk mulai menerjangku kembali. Aku menguap.

Dwi mendatangiku “Yuk” Ajaknya.
“Woi.. yang laen besok aja ya. Gue capek” Katanya menyudahi pertandingan malam ini.
*

PHOTO-I-DON’T-KNOW-WHAT-THAT-IS

Aku masih kelas 5 SD kala itu. Ketika bermain dilapangan dekat rumah sepulang sekolah, Dwi menemukan botol aneh didekat tempat sampah. Botol itu seperti botol obat bekas suntikan. Botolnya kecil, seperti botol minyak wangi oplosan ukuran 10ml. Seperti itulah botolnya.

Yang aneh dari botol itu bukanlah bentuk dari botol itu sendiri. Akan tetapi, isi di dalam botol itu. sepertinya di dalam botol itu ada semacam kertas. Entah kertas apa. Namun jika melihat dari ketebalannya, kertas itu seperti kertas foto.

Dwi berusaha mengambil isi di dalam botol itu, tapi sulit sekali. Karena lubangnya memang kecil. Tidak muat dilalui oleh jari kami. Lalu dipukulnya botol itu dengan batu namun botol itu tak kunjung pecah. Sepertinya botol itu cukup kuat walaupun ukurannya mini. Amat sangat mini.

Tak hilang akal Dwi beranjak dari lapangan dengan terburu-buru. Dan ketika kembali, digenggamnya palu. Sambil menyeringai puas kearahku, dia memintaku mengangsurkan botol itu padanya. Ditaruhnya botol itu dan dihantamnya kuat-kuat. Botol itu retak. Dan beling kacanya mulai berserak. Disingkirkanya kaca-kaca itu dengan hati-hati. Lalu dengan sigap diambilnya kertas itu.

Ternyata benar. itu kertas foto. Karena didalamnya terdapat gambar. Ih ih ih.. Foto apaaa ituuu.. Di dalamnya ada wajah seorang wanita yang menjulurkan lidahnya. Ekspresi wanita itu antara ingin terpejam tapi terbangun, mudahnya ekspresi merem melek (bahasa bakunya apa ya?? Hahay). Wanita itu menjulurkan lidahnya dengan pose menjilat. Menjilat suatu benda ditangannya. Tepatnya benda yang digenggam ditangannya. Benda itu sepertii..

Dwi intens memandangi foto itu. Lalu dia merebutnya untuk dirinya sendiri. Tidak ingin berbagi denganku.

“Rei masih kecil. Ga boleh ya” katanya padaku. Hah? #Apalah. Sama-sama kelas 5 ugh.

Dengan sigap disimpannya foto-yang-aku-masih-tak-tahu-apa-itu di dalam kantong celana pendeknya. Aku merengut, dia tersenyum riang. Tangannya membelai dan mengacak-acak rambutku. Aku manyun. Bibirku minta dicium #Eeehh (ralat) Bibirku manyun bukan buatan. Hahaha..

“Kita pulang. Laper” Ditariknya tanganku dan dibawanya aku beranjak dari tempat itu.

Aku mengangguk. Aku memang sudah mulai lapar. Jadi aku setuju. Foto itu sementara terpinggirkan. Diganti oleh kukuruyuk perutku yang minta diisi sesuap nasi.

Kami makan dengan lahap. Dia makan dirumahku tapi membawa piring dan lauk pauk dari rumahnya. Dia memang tetangga sebelah rumah. Ketika makan, tangan kirinya memegang sesuatu. Diam-diam kulirik kearahnya. Ternyata dia memegangi foto itu. matanya terlalu fokus menatapi foto-yang-entah-apa-itu..

Rasa penasaranku yang tadi hilang, kini mulai naik lagi kepermukaan. Aku memutuskan untuk bertanya kembali.

“Dwi.. itu foto apa? Kok..”

Ditutupnya bibirku dengan jari telunjuknya “Ssstt.. Rei masih kecil. Ga boleh tau dulu. Nanti kalo udah waktunya aku kasih tau” Aku terdiam. Merengut. Dia tersenyum. Mengacak-acak rambutku.

Hmmppttthh.. pipiku menggelembung.

“Rei, aku janji. Tapi nanti. Oke?” Aku mengangguk.
Dengan kata-katanya aku lemah. Dalam tatapannya aku percaya. Foto-yang-entah-apa-itu pun terlupakan. Tapi tidak bertahan lama. Sampai satu kejadian membawanya kembali untuk suatu penjelasan..
*

THE ‘SUNATAN’

Akhir Juni masih ditahun itu ada undangan datang ke rumahku. Undangan sunatan tepatnya. Undangan sunatan dari seorang Dwi Putra Sugiantoro. Seminggu setelah pembagian Rapot, undangan itu sampai ke rumahku.

Ketika hari H tiba, dari pagi-pagi aku sudah datang ke rumahnya, melepas kepergiannya untuk berangkat ke dokter. Tapi dia belum pulang dari rumah sakit setelah lama kumenunggu. Aku bosan. Dan aku pamit pulang. Masuk ke kamar dan guling-gulingan ditempat tidur mengusir bosan. Tanpa sadar, aku tertidur.

Ketika bangun dia ada disana. Disampingku. Lengkap dengan kain sarung birunya. Biru adalah warna kesukaannya. Dia merengut manja menatapku yang baru bangun tidur. Sudah siang ternyata. Tidurku lelap juga..

“Rei, kok ga nunggu dirumahku?”

“Aku bosan. Kamu lama pulangnya. Sakit ga?”

Dia menggeleng “Ga. Kayak digigit semut”

“Liat dong..” Pintaku penuh harap.

Lagi-lagi, dia menggeleng “Ga boleh. Kalo mau dikamarku aja” jawabnya.

Apa bedanya dikamarku atau dikamarnya? Tapi aku terlalu kenal dengan wataknya. Jika dia bilang kamarnya, maka kamarnyalah jawabannya. Dia nyaris tidak pernah menarik kata-katanya.

“Oke. Yuk” aku bangkit dari tempat tidur dan menarik tangannya bergegas.

Ssshhh.. Desisnya.. “Rei. Pelan..”

“Maaf. Lupa. Hehe..” Nyengirku sambil menjulurkan lidah.

Dijalan menuju rumahnya kami bertemu abang tetangga sebelah. Bang ucok dia biasa dipanggil. Bang ucok memanggil kami. Memanggil Dwi tepatnya untuk datang kearahnya.

“Nah ini dia yang udah jadi laki. Nih ambil” Disorongnya amplop putih kearah Dwi. Didaerah kami memang ada kebiasaan seperti itu. Memberi amplop dengan sejumlah uang kepada anak yang baru disunat.

“Sini abang liat” Dwi mendekat. Tangannya menepis tubuhku menjauh. Tetap. Dwi melarangku melirik juniornya. Pandangan matanya menyiratkan itu. aku tertunduk lesu.

“Hm.. bagus bentuknya. Biar cepet sembuh sering-sering diliat cewek yang disuka. Biar bangun. Trus jahitannya lepas sendiri. Awas jangan ngelangkahin tai ayam.. bisa bengkak burung kau..” Kata Bang Ucok cepat.

Dwi manggut-manggut lalu mohon diri. Kami lanjut melangkah ke rumahnya. Yang ternyata sudah tidak begitu banyak tamu yang datang. Orangtuanya menyambut kami. Tapi Dwi membawaku langsung menuju kamarnya. Ditutupnya pintunya.

“Rei.. Sini” Diajaknya aku duduk bersisian dengannya ditempat tidur.

Aku menurut. kutaruh bokongku disebelahnya. Digenggamnya tanganku. Seolah ingin memastikan kesiapanku melihat juniornya yang telah dikhitan. Aku yang tadi biasa saja, menjadi gugup karena tingkahnya.

Dilepasnya tanganku. Dan dialihkan fokusnya pada sarung birunya. Disingkapkannya sarung biru tersebut. Kepalanya mengundangku melirik isi sarungnya. Aku dekatkan kepalaku. Dengan perlahan. Maju. Semakin maju. Yup. Sudah mulai terlihat. Makin terlihat. Amat sangat jelas terlihat. Juniornya ternyata sakit parah (itu pikirku waktu itu). Junior Dwi dibebat perban dan diberi banyak betadine (sepertinya).

Penasaran. Aku turun dari ranjang. Kepalaku sejajar dengan selangkangannya. Aku berlutut diantara kakinya. Kudekatkan lagi kepalaku. Kuturunkan sarung birunya. Kedua tanganku kuletakkan diatas paha kokoh miliknya. Kudengar suaranya sedikit terkesiap.

Kepalaku makin mendekat ke arah selangkangannya. Amat sangat dekat sekali. Mengamati junior miliknya. Apa yang menyebabkan dia ‘terluka parah’ seperti itu. Badan Dwi kurasakan menegang. Dengan jarak wajahku hanya beberapa centimeter dari perkakas miliknya, yang entah mengapa makin lama makin mengembang dan membesar. Aku mengangkat kepalaku dengan kedua tangan masih diatas pahanya. Menatap matanya.

“Kamu sakit?” Dia menggeleng. Wajahnya tegang.

“Kok diperban gini kalo ga sakit. Dokternya salah motong ya?” Dia melongo (#JawDrop) tak percaya dengan pertanyaanku. Yang entah polos atau bodoh pikirnya (mungkin).

Dia membuang nafas. Wajahnya tidak lagi tegang. Malah dia tertawa. Iya. Tertawa. Tertawa dengan amat sangat lepas. Seolah seluruh ketegangan yang dia rasakan tadi lenyap. Aku garuk-garuk kepala tak mengerti. Sambil tertawa dia menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Rei.. Rei.. Hahaha.. aduh.. aduh.. sakit..” Dia mengaduh. Tapi entah mengapa masih terus tertawa.

“Gara-gara Rei nih. Aduh. Rei lucu” Aku manyun mendengar kata-katanya.

Kulihat lagi juniornya. Sudah tegang sempurna sekarang. Itu kan yang namanya ‘ngaceng’.. pikirku. Kenapa Dwi ngaceng? Kata bang Ucok bisa ‘bangun’ kalo dilihat sama cewek yang disuka. Tapi aku bukan cewek? Bang Ucok ngaco tuh..

Dwi masih tertawa sambil mengaduh. Kenapa dia aduh-aduhan gitu sih. kuelus pahanya dengan kedua tanganku untuk meredakan rasa sakitnya. Dia malah gelagapan. Apa salahku? Aku bingung.

“Rei.. Rei.. Udah.. Stop” Apa elusanku tidak enak? Aku melongo tidak mengerti.

“Masih sakit?” kataku “kok tadi aduh-aduhan?”

“Gara-gara kamu tuh Rei. Lagian kamu ngeliatinnya sampe begitu. Kan bikin tegang” aku masih tak mengerti. Bagaimana mungkin hanya dilihat bikin tegang. Aku biasa saja ketika dia melihatku waktu kami mandi bersama.

Dengan manyun aku berkata “kok aku.. huufth”

“Rei..” dielusnya kepalaku. Dibelainya rambutku.

“Kamu masih inget foto yang waktu itu kita temuin Rei?” Aku mengangguk.

Bagaimana aku bisa lupa? Aku kadang masih terngiang dengan apa isi foto-yang-entah-apa-itu.

“Waktu kamu ngeliat ‘anu-ku’ tadi itu persis banget sama pose yang ada difoto waktu itu. Karena itu aku jadi tegang” Aku manggut-manggut walau tetap tak mengerti. Pose? Pose apa? Beda kali. Kan aku ga ngejulurin lidah kayak yang difoto-yang-entah-apa-itu..

“Beda ah” Dia menggeleng

“Sama Rei..” Aku tidak membantahnya. Percuma.

"Beda.."

Dia menggelengkan kepalanya “Sebentar. Ini Fotonya..”

Dimasukkannya tangan ke bawah kasurnya. Dan diambilnya sesuatu dari bawah sana. Tadaaaaa.. Foto itu ternyata bersembunyi disana.

“Mungkin udah waktunya kamu liat.. Biar kamu lebih dewasa. Ga kayak sekarang.. hahaha” Dia mengejekku. Jelas sekali, dia mengejekku.

Lagi-lagi, entah untuk yang ke berapa kali, aku merengut.

“Mana?” kataku akhirnya.

“Ini..”

Akan kuteliti foto-yang-entah-apa-itu degan seksama dan cermat secermat-cermatnya. Tidak akan kulewatkan satu bagianku. Ku ambil foto itu, Kudekatkan kebawah wajahku. Kuamati, kuteliti dengan seksama. Sangat cermat.

Wajah itu wajah wanita. Ekspresi merek meleknya (masih belum tahu EYD yang tepat apa ya?) tersirat disana. Ada ekspresi nikmat seolah.. seolah.. hmm.. makan es krim? Seperti itulah. Tangannya yang menggenggam sesuatu.. sesuatu itu.. tunggu jangan ketangan dulu. Itu paha? Paha siapa? Tidak mungkin paha wanita itu. Paha itu berambut soalnya. Kepalaku agak pening melihat foto itu. Entah kenapa.

Balik lagi ketangan yang menggenggam tadi.. itu.. itu.. itu apa sih.. aku menengok ke arah Dwi, mata kami bertemu lalu dia mengalihkan pandangan sambil bersiul. Aku balik lagi ke foto itu. sebelum balik mataku tertuju kearah sarung biru milik Dwi. Seolah tersadar. Itu.. ituu.. Jangan-jangan yang digenggam tangan itu.. Huuwwaaaaaaaa... Emmaaaaakkkk.. Tuluuunngg.. tuulluuuunngg..

Kulempar Foto-yang-kini-terjawab-itu-apa secara tiba-tiba. Namun dengan cepat Dwi menangkapnya. Seolah sudah mengantisipasi reaksiku yang sedikit berlebihan. Tapi.. tapiii.. Foto-yang-sudah-terjawab-apa-itu.. iyuuuuhh.. itu foto dewasaaa.. emaaaakkk.. attuuuttt..

Badanku memanas, mukaku memerah. Keringat mengucur deras dari wajahku. Dwi panik.

“Rei.. Rei.. aduh.. gawat nih.. Tuh kan udah kubilang kamu masih kecil..” Nada suaranya panik namun jelas sekali ada senyum yang ditahan disana.

“Dwi.. Dwi.. Ituu.. ituu..”

“Itu stensilan..” Jelasnya menjawab pertanyaanku yang sulit kuucapkan.

Stensilan? Apaan tuh? Hadeeuuuhh..

“Itu foto dewasa kaliii.. masa itu stensilan. Mangnya stensilan itu apaan?”

Tangan Dwi menepuk menutupi mukanya. What?! Apa yang salah? Pertanyaanku?

“Udah. Jangan dibahas. Ini rahasia. Oke?” Katanya. Aku mengangguk. Tentu saja. Aku gila jika menceritakannya pada orang lain. That’s a big no no gituu..

“Sama kan?” Apa yang sama pikirku..

Lalu pemahaman tiba-tiba menghantamku. Pose itu. Foto-yang-sudah-terjawab-apa-itu. Lalu posisiku yang berada diantara kedua pahanya, tepat di depan selangkangannya. Huuuwwaaaaaaaa...

“Nah kan. Ngaku juga.. Hwahahaha..” Tawanya berderai puas. Sangat puas. Mukaku memerah. Malu bukan kepalang.

Huuuwwwaaaaaaaaaa.. Eemmaaaaaaakkkkk...
*

THE TV SERIAL

Kejadian ini terjadi ketika liburan kenaikan kelas 5 (Lima).

Sejak kecil aku mengalami gejala susah tidur (insomnia). Dari sejak SD kelas 3 aku selalu tidur larut malam. Dan disela waktu insomniaku, seringnya kuisi dengan menonton tv. Menunggu kantuk menjemputku keperaduan.

Hari itu malam sudah semakin larut namun kantuk belum juga hinggap. Aku keluar kamar dan turun kebawah. Dengan niat menonton tv menunggu kantuk tiba.

Aku hanya menggonta-ganti channel tv karena serangan iklan yang masih terus mendera. Ketika aku temukan satu stasiun tv yang menayangkan film serial, aku fokus. Kuletakkan remote-ku.

Serial tv ini bercerita tentang petugas-petugas forensik dalam mencari alasan dan bukti nyata dari sebuah kasus. Kalau tidak salah judul serial tv ini CSI. Dan pemeran utamanya seorang pria dewasa dengan rambut memutih? (aku sedikit lupa).

Aku fokus menontonnya. Kali ini serial itu bercerita tentang pembunuhan seorang pria yang ternyata adalah seorang gay. Apa itu gay? Ketika menonton kata itu selalu hinggap dipikiranku. Kata-kata baru selalu berefek seperti itu padaku.

Dari adegan per adegan yang ditayangkan aku bisa mengambil kesimpulan jika gay adalah hubungan asmara antara pria dengan pria yang saling tertarik dan saling menyukai.

Otakku sulit mencerna kala itu. bukankah hubungan asmara itu hanya terjadi antara seorang wanita dan juga pria? Seperti yang kadang diucapkan oleh Ustad Taufik dalam setiap pengajiannya.

Tapi dicerita film itu ada hubungan yang lain. Hubungan yang tidak selalu berpusat pada wanita dan pria tetapi juga antara pria dengan pria lainnya. Ustad Taufik pernah bercerita tentang situasi yang hampir sama. Tentang kaum Nabi Luth.

Setiap mendengar cerita itu aku merinding. Namun setelah menonton serial tv itu pikiranku terpaku pada kata itu. Kata yang mulai malam itu menghantuiku. Kata ‘gay’ itu. Bahkan untuk menyebutnya aku tak berani. Seolah ada dosa dari kata itu.

Malam itu aku sulit memejamkan mata. Selalu terngiang dengan adegan-adegan yang terpampang dalam serial tv durjana itu. Harusnya dulu kuganti channel waktu itu. kuhabiskan sisa malam itu dengan pikiran-pikiran tentang kata itu. Kata-yang-tak-berani-kusebut-kala-itu.

***

THE FIGHT (PERTENGKARAN)

Kami sudah kelas 6 sekarang. Persahabatan kami masih selalu terjaga. Kami masih main bersama walau intensitasnya tidak seperti dahulu kala. Sebenarnya wajar, karena bahkan aku dan dia tidak satu sekolah. Kami dekat hanya karena dia tetangga dekatku.

Kami masih sering bermain gundu, gasing, dampu? ciplek tujuh? petak umpet da kasti bersama-sama. Dalam setiap permainan dia selalu unggul. Sepertinya bakatnya dibidang olahraga memang terlihat jelas. Berbanding terbalik dengan kemampuan akademisnya.

Dwi tumbuh menjadi anak yang luar biasa tampan. Jago dibidang olahraga. Setiap permainan tradisional pun mahir dilakukannya. Namun memang, hanya satu kekurangannya yaitu kemampuan akademisnya.

Pernah suatu ketika aku melihat nilai raportnya. Nilainya bisa dibilang standar. Yang paling mentereng adalah nilai olahraganya yang nilainya 90. Juga nilai PKN dan kesenian yang mendapat nilai 80.

Tapi sepintar (maaf. Aku yang tersinggung jika ada yang bilang dia bodoh) apapun dia, dia tetaplah sahabat yang paling kusayang.

Waktu itu kami sedang bermain membentuk tanah liat di bawah pohon jambu air yang letaknya tidak begitu jauh dari pohon jambu biji bersejarah itu.

Ketika sedang membentuk tanah liat, datang seorang gadis RT sebelah menghampiri. Menyambangi Dwi tepatnya. Gadis itu bertanya perihal catatan PR yang dipinjam Dwi.

Dwi segera pamit dan secepat kilat membawa buku itu dan menyerahkannya pada gadis itu. Lalu dia kembali menekuni tanah liat yang sedang dibentuknya menyerupai pesawat. Gadis itu masih disana. Menatap penuh mesra kearah Dwi. Aku mendadak gerah. Apakah pengaruh cuaca?

Teman-teman yang lain lalu menimpali dengan siulan-siulan yang kentara sekali antara mengejek dan memprovokasi. Bingung menjelaskannya. Aku sedang gerah. Ingat?! Cuaca ini.. Gerah ini karena cuaca kan?

Suuiitt Suuiittt

Ciiee Ciieeee

Tiba-tiba ada yang menyeletuk “A... A.. Ada yang bawa pa.. pa.. pacar nih yeeee” kata si Qnoy yang berbadan hitam dan juga gagap.

Yang lain menimpali “Uhuuyy.. udah sono yang mau asoooyyy..” What?! #Lhoo kok aku yg protes? #kipasKipas. Tambah gerah.

Gadis itu masih disana. Dengan wajah merona. Wajah Dwi pun merah padam. Dwi menatapku tajam. Aku masih gerah (ralat) aku makin gerah. Jadi kupaksakan tersenyum saja. Sedikit tertawa.

“Neng, udah tuh.. ajak mojok aja berdua” Eeett dah pikirku.

Gadis itu semakin merona. Dan detik berikutnya dia berlalu dari hadapan kami semua. Gadis itu pergi dengan senyum lebar menghiasi pipi. Aku tiba-tiba keki. Entahlah.. #Gerah

Ketika anak-anak yang lain makin gencar menyorakinya, wajah Dwi semakin merah bukan buatan. Bukan merah merona, tapi merah seolah penuh amarah. Dwi melirikku tajam. Heii.. bukan aku yang mengolok-olok dia. Kenapa tatapannya begitu seram kepadaku.

“Re.. Rei.. si.. si.. Dwi cocok ye sa.. sama cewek ya.. ya.. yang tadi” Tanya si Qnoy tiba-tiba.

Aku bingung harus menjawab apa. Dwi makin gencar menatapku. Seolah menunggu jawaban yang akan keluar dari mulutku. Jawabanku seolah menentukan hidup dan matiku. Aku dag dig dug. Tatapan Dwi terlihat menyeramkan. Salah sedikit hidupku pasti berakhir. Wajahnya penuh amarah gituu..
Aku merengket. Terpojok dalam pandangannya. Belum pernah Dwi terlihat menakutkan begitu. Ini pertama kalinya kulihat dia begitu.

Kuberanikan diri menjawab “Cocok” sambil mengangguk

“Cocok banget. Yang satu cantik yang satu ganteng bang..et..” Lhoo lhooo.. atuuuutttt. Pandangan Dwi tajam. Sedikit terluka mendengar perkataanku.

“BERISIK LO PADA. KAGAK ADA KERJAAN LAEN APA?!” Amarah Dwi meledak. Dengan keras ditendang-tendangnya kerikil-kerikil kecil tajam kearah anak-anak yang duduk melingkar. Termasuk aku.

“AAWWW..” salah satu kerikil yang ditendang Dwi terkena tanganku. Mengiris kulit ariku. Membuatnya berdarah.
Aku mengaduh. Lalu tanpa aba-aba, tanpa kuperintah, air mata tumpah ruah keluar tanpa jeda. Aku menangis. Tanpa suara. Hanya air mata. Bukan karena kerikil yang mengiris kulit, tapi karena kata-kataku menyakitinya. Menyakiti sahabat yang kusayang. Bodoohhh.. bodohnya aku.

Aku menatapnya penuh penyesalan. Bukan karena sikapnya tapi karena perkataanku padanya. Dwi menatapku terkejut. Merah padam diwajahnya berganti dengan wajah kaget yang menerpa. Aku berlalu. Berlari menjauh. Sayup kudengar teriakan-teriakan “ayo loh Dwi.. Ayo loh Dwi..” seperti itu..

Sampai dirumah aku langsung berlari kekamar mandi. Rumah sepi. Untunglah. Tapi air mata ini. kenapa tidak bisa berhenti? Aku bukan anak yang cengeng. Tapi kenapa ini? Kenapa begini?

Aku basuh mukaku berkali-kali, namun air mata itu masih terasa. Masih mengalir diwajah. Ada apa denganku? Kenapa aku bisa berderai air mata begini? Rasa sakit tidak seberapa yang mengiris kulit ari ini kah? Sepertinya bukan. Lalu apa?

Aku teringat kembali ekspresi wajah Dwi yang merah padam. Bagai terserempet bis kota, aku segera tersadar. Mungkinkah kata-kataku menyakitinya? Tapi aku tidak mengejek ataupun mengolok-olok dirinya. Aku hanya mengatakan fakta. Gadis itu cantik dan Dwi tampan. Cocok bukan?

Lalu dimana letak salahku? Tak terasa air mata telah berhenti ketikaku memikirkan segala pemahaman dadakan ini. Walau aku masih mengiranya saja. Lagipula aku masih tak tahu salahku dimana.

Kubasuh muka kembali dan melihat tampilan wajahku dicermin. Mukaku imut (ralat) kusut. Baru menangis beberapa saat mataku bengkak dan masih tertinggal sedikit sisa warna merah disana.

Ketika keluar kamar mandi,, aku langsung menuju kamar. Hendak mengistirahatkan tubuh dan pikiran yang mendadak berat tiada juntrungan. Sewaktu aku membuka pintu kamar, sudah ada dia disana. Dwi sedang duduk merenung di atas kasurku.

Melihatku masuk, wajahnya menyambutku sesaat sebelum akhirnya tertunduk. Aku bingung. Masihkah dia marah? Bukankah harusnya aku yang marah karena sudah terluka? Bekasnya pun masih ada.

Aku masuk dan duduk diujung kaki tempat tidurku. Menjaga sedikit jarak dengannya yang duduk terpaku pada kepala kasurku. Aku diam. Dia diam. Kami terdiam. Aku bosan. Dia masih diam. Kurebahkan tubuhku dengan kedua tangan telentang.lebar dikedua sisi. Dia mulai melirik. Melirik tangan kananku. Tanganku yang terluka tiada seberapa itu.

Rupanya dia lebih tertarik dengan luka ditanganku. Terlihat dari tatapannya yang tiada bergeming sedikit pun. Aku lihat wajahnya sedikit terpukul dan ada rasa penyesalan disana. Tapi aku masih diam. Aku tak berani buka suara. Aku takut dia masih marah.

Haruskah aku minta maaf akan kata-kataku? Kenapa sikapnya yang seperti ini menggangguku? Perasaan apa ini yang tak ingin dia menjauh? Perasaan ini kuat kurasa ketika melihatnya marah tadi. Aku tak ingin membuatnya marah. Aku ingin hanya akulah yang bisa menenangkannya ketika dia marah atau gundah. Haahh.. sudahlah. Pikiran ini tak membuatku kemana-mana.

“Dwi.. Rei minta maaf..” kataku akhirnya.

Matanya teralih dari luka ditanganku. Dia menatapku. Ekspresinya merana. Kenapa? Apa yang salah?

Dia menggelengkan kepala “Aku yang salah. Aku udah bikin Rei luka” Aku tergagap. Aku pikir dia marah. Ternyata..

Tangannya menutupi mukanya lalu tertarik kebelakang meremas rambutnya. Aku terheran. Hanya bisa terdiam. Dia kenapa?

“Rei.. Maaf ya..” Aku mengangguk. Jelaslah. Aku tak ingin kami bertengkar.

“Baikan..?” kataku mengangsurkan kelingkingku.

Dia turut mengangsurkan kelingkingnya dan mengaitkannya dengan kelingkingku, jempol kami pun bertemu dan menempel penuh syahdu. “Baikan” katanya dengan senyum merekah.

“Sebentar..” Pamitnya. Dalam sekejap dia menghilang dan dalam gerak kilat dia kembali.

Dia kembali membawa alkohol, kapas dan betadine. Aku ngeri. Ya Allah, ini akan terasa perih. Aku memikirkan kemungkinan untuk kabur. Aku harus ijin ke tiolet cepat-cepat.

“Sini..” Diraihnya tangan kananku dan dengan hentakan diperintahkannya tubuhku mendekat kearahnya. Kenapa bukan dia yang kearahku? Hufth..

Dia mulai mengambil alkohol dan membuka tutupnya. Mengambil kapas dan sedikit mencelupkannya. Oo oowww.. ini waktunya..

“Dwi... aku kebelet pipis..” Sambil nyengir kuda aku beralasan.
Alisnya terangkat. Pandangannya menuduhku. Apa? Apa liat-liat? #Lhoo.. #Plaakk.

Ih ih ih.. Jangan bilang dia tahu aku ingin kabur? Ya Allah tolonglah hambamu yang sedang teraniaya ini.. #Eeehh

“Tipuan kuno Rei.. Aku udah terlalu hapal..” Sial. Alasan apa lagi nih?

“Ga usah diobatin lah.. Luka cuma segini mah dijilat juga sembuh. Nih kayak gini nih..” Kuhentak sedikit keras tanganku yang dipeganginya.

Kujilat lukaku yang sekarang hanya terlihat baret tipis merah disana. Kujulurkan lidahku dan kukenyot-kenyot (Ckck.. Bahasanya..) dibagian luka itu. Dia terbengong-bengong tidak percaya melihat tingkahku.

Sambil mengenyot (Eeettt bahasanya..) kulirik dirinya. Dia masih terperangah. Wajahnya mulai memerah. Namun bukan rona marah seperti sebelumnya, kali ini rona malu terpatri disana. Posisi duduknya pun mulai gelisah berkali-kali dia membetulkan letak duduknya. Ada apa? Apa yang salah?

“Haahh.. Rei..” dia mendesah. Membuang nafas yang tertahan. Dibetulkan celananya. Apa celananya kendor?

“Tuh liatkan.. udah ga sakit lagi. Luka gini mah kecil.. tinggal jilat. Bereeesss..” aku tersenyum puas. Dia menggeleng.

“Rei.. Kamu nakal..” Nakal? Aku? Kok bisa?

“Kok nakal?”

“Ekspresi kamu sengaja ya menantang gitu sambil jilat-jilat menggoda.. Kamu udah bikin aku.. bikin aku.. tegang tau ga?”

Apalah.. Tegang? Menantang? Menggoda? Aku? Ekspresi?

Pemahamanku mulai bangkit sedikit demi sedikit. Sedikit banyak aku mempersiapkan diri menjerit..

Jangan bilang.. jangan bilang.. Jangan bilang kalo ekspresiku mirip di Foto-yang-kita-semua-tahu-apa-itu?

Huuuuwwaaaaaaa.... Emmaaaaakkk.. Dwi nakaaaallll...

“Iihh.. Iiihh.. iihh.. Dwi porno ih.. huuwaaa..” Aku tengkurap tiba-tiba. kepalaku tenggelam dalam kasur. Dwi tertawa terbahak-bahak.

Kusembunyikan wajahku disana. Dikasurku yang sekarang terasa panas. Cuacakah? Atau wajahku yang terbakar malu? Panas sekali.. aku susah bernafas ini.. tapi aku malu melihat wajahnya.. Tawanya masih nyaring terdengar. Aku sudah sesak menyembunyikan wajah ini.

Hmpthuaaa.. Legaaa.. kuhirup udara sebebas-bebasnya.

“Hwahahahahaha..” Sial. Puas sekali dia tertawa meledekku.

“Sini tangannya” Katanya akhirnya. Masih berpikir untuk mengobatiku? Ampun deh.

Dengan tawa yang masih dikulum dengan sopan. Dia telaten menotol-totolkan alkohol kelukaku. Aku meringis. Ditutup dengan betadine yang sudah tidak terasa sakit. Dia terlihat puas. Direngkuhnya tubuhku.

“Maaf Rei..” dikecupnya keningku. “Aku pulang dulu ya..” aku mengangguk. Dia melepaskan pelukannya.

Setelah Dwi berlalu, aku tergagu dalam bisu. Kecupnya masih terasa. menggelenyar dengan hangat yang masih tersisa. Aku terlena oleh kecup lembut dari dirinya. Salahkah? Dosakah? Tapi aku memang menyayanginya. Sebagai apa? Sahabat tentunya. Hanya itu? Sepertinya. Entahlah. Sudahlah.

Tiba-tiba aku teringat dengan kata dalam serial tv yang kutonton waktu itu. Kata-yang-tak-berani-kusebut-itu. Mungkinkah? Aku? Bagaimana dengan dia? Aku hanya terdiam dalam tanya yang terus menghujam mendera.

***

THE ACCIDENT


Aku sudah di kelas 6 sekarang. Biasanya anak-anak kelas 6 sibuk dengan pendalaman materi sebagai persiapan Ujian Nasional. Namun tidak halnya denganku.


Sejak awal aku tahu aku punya sifat malas belajar stadium lanjut. Aku malas membuat PR yang diberikan, aku juga malas belajar untuk ulangan. Herannya nilai-nilaikuselalu terjaga.


Walau begitu, tidak jarang aku dihukum oleh guru karena sifat malasku ini. Sejak kelas 4 dulu, aku langganan dihukum berdiri diluar kelas karena lupa mengerjakan PR. Bukan lupa sebenarnya, tapi aku memang tidak berniat mengerjakannya. Untuk apa mengerjakan sesuatu yang sudah kita kuasai, benar? Itupikirku waktu dulu. Terkesan sombong dan meremehkan memang, tapi itulah kerja otakku. Pikiranku agak sedikit terlalu angkuh waktu itu.

Tidak terhitung berapa ratus, mungkin ribu, tulisan ‘aku tidak boleh lupa mengerjakan PR lagi’ kutorehkan didalam lembar demi lembar buku. Tidak jarang guruku meminta tanda tangan dari orang tuaku diakhir satu buku penuh yang sudah kutuliskan dengan begitu indah itu.


Awal-awalnya aku memang selalu meminta tanda tangan emak atau bapakku. Namun, seiring berjalannya waktu dan juga dengan semakin seringnya hukuman yang menimpaku, aku menjadi plagiat tanda tangan yang lumayan terjamin kualitasnya (Khusus yang ini jangan dicontoh yah.. It’s very very dangerous.. Hee..).


Tetap, dengan seringnya hukuman itu aku tidak juga jera, nilaiku pun tetap terjaga. Namun malu yang kuterima luar biasa. Aku lupa kalau adikku juga disekolah yang sama. Dan tak jarang dia melaporkan hukuman-hukuman yang menimpaku dengan teratur kepada orang tuaku. Untungnya Dwi tidak bersekolah disini. Jadikemaluanku (kok bacanya ga enak ya.. Ralat deh), Jadi maluku dapat kutahanselalu (ini juga jangan dicontoh ya adik-adik. Contoh buruk nih).


Satu alasan utama aku malas mengerjakan PR adalah karena aku sangat senang bermain. Jika sudah main, aku bisa lupa waktu. Lupa juga dengan segala tugas-tugas rumahku dari sekolah. Jika disuruh memilih, aku akan menomorsatukan main diatas tugas sekolah.


Jika kalian berpikir temanku hanya Dwi saja, kalian salah. Temanku ada beberapa ketika main, tidak selalu dengan Dwi aku berkutat. Tidak jarang dengan adiknya Dwi pun aku main bersama. Bulu tangkis dan tak jongkok (permainan dimana yang kalah mengejar pemain lain untuk disentuh. Yang tersentuh ganti jaga. Pemain lainbisa berjongkok jika sudah tersudut. Jika pemain sudah jongkok dia aman.Permainan seperti itu.. Kalian tahu?) adalah favoritku. Oh iya, ada satu yang lupa kusebutkan. Petak umpet namanya. Jika sudah bermain seperti itu, tugas sekolah pun terabaikan.


Waktu itu pulang sekolah aku langsung keluar untuk bermain. Kulihat anak-anak lain sedang memanjat pohon jambu air. Tidak ada Dwi disana. Pohon itu memang selalu menjadi sasaran kami jika sudah mulai berbuah. Dan dari jauh kulihat buahnya juga sudah banyak. Tidak heran anak-anak memanjatnya.


Namun pemilik pohon jambu itu galak. Mereka sepasang guru. Sangat galak dan tegas. Terutama jika ada anak-anak yang memetik buah-buahan yang ada dipekarangan mereka. Pekarangan itu asri dengan banyaknya tumbuh-tumbuhan yang mengelilingi dan menaungi. Dipekarangan itu terdapat beberapa pohon berbuah. Diantaranya ada buah delima, jambu biji, juga jambu air. Yang paling sering menjadi incaran adalah pohon jambu air dan delima. Karena pohon jambu biji tidak memberikan tantangan berarti.


Aku menyambangi mereka yang sedang asyik memanjat. Dengan suara-suara tertahan mereka bergerilya dari sudut pohon yang satu ke yang lainnya. Mencari jambu air yang telah ranum buahnya.


Buah jambu air ini sedikit unik. Well, paling tidak menurutku begitu. Buah jambu inimempunyai kulit luar daging buah yang berwarna hijau dengan sedikit, sangatsedikit, semburat merah. Itu pun tidak terlalu nampak kemerahannya. Warna hijaulah yang mendominasi. Tidak seperti pohon jambu air lain yang kulit daging buahnya berwarna merah. Itu sudah biasa, benarkan?


Aku sudah dibawah pohon jambu air sekarang. Aku senang melihat kelihaian merekayang menjarah buah-buah jambu yang telah ranum, Tapi aku sedikit kesal, merekajuga kadang memetik buah yang belum seberapa masak. Terlihat dari banyaknya pentil-pentil buah yang berjatuhan. Aku tergelitik untuk ikut memanjat.


Bisakah aku memanjat? Tentu saja. Kalian pikir aku siapa? Aku bukan anak manja. Urusan memanjat tidak usah ditanya. Aku bisa. Hanya bisa. Tidak terlalu lihai tapi.


Akupun mulai memanjat pohon itu. Sudah mengincar buah yang sudah kutandai dari pengamatanku dibawah. Anak yang lain belum menjamahnya. Perlahan tapi pasti aku mulai mendekat. Seperti mengintai mangsa, Kuamati buah jambu itu lamat-lamat. Banyaknya orang dipohon ini (ada sekitar 3 anak saat itu. Ditambah aku jadi 4 orang anak) membuat pergerakan pindah sedikit tersendat.


Dengan sabar aku hampir sampai ke buah yang sudah kuintai. Yes. Aku sampai. Buah ituterletak disisi pohon paling atas. Jadi hanya ada aku dibatang pohon teratasini. Kujulurkan tanganku, kuraih jambu itu. Setelah dapat, segera kukantongi. Segera aku mempersiapkan diri turun. Namun, baru saja aku menaruh kaki kebatangpohon dibawahku. Kasak kusuk terdengar.


“Woii..Woii.. Bu guru tuh.. Cepetan turun. Bisa abis diomelin kita kalo ketahuan”


“Iye bener. Nyok Turun Nyok. Rei.. Buruan..”


Aku juga melihat wajah pemilik pohon ini dari jauh. Sepertinya baru pulang mengajar. Aku panik. Mereka bergerak secepat kilat dari pohon. Meninggalkan aku yang masih kesulitan karena panik mendera. Kucoba bergerak secepat yang kubisa.Tapi percuma, sudah kubilang kan jika aku hanya sedikit mahir saja? Disinilah kesulitan itu kutemui. Dalam ketergesaan tak kupedulikan pijakan. Kakiku slip dan...
aku terjatuh. Aku jatuh dari pohon jambu.


Aku jatuh dari pohon jambu itu dari ketinggian yang hanya dua meter saja. Terjerembab dalam posisi miring tengkurap dengan dahi menghantam tanah. Malangnya nasibku, Wajahku yang mencium tanah itu mengenai batu kecil sejenis kerikil tapi bukan, yang mengenai ujung alis kananku yang terletak di ujung pertemuan kedua alis. Aku kaget. Amat sangat kaget. Kaget karena terjatuh tentu. Sepertinya aku tidak apa-apa. Tapi tubuhku masih terpaku disana dengan posisi yang sama.


Aku paksakan bangkit. Anak-anak lain syok melihatku jatuh. Namun sepertinya bukanitu yang mengganggu. Mereka menunjuk-nunjuk wajahku. Kurasakan hangat mengalir di bawah mata kananku. Kuarahkan tanganku kesitu. Kusapu daerah itu. akuterkesiap, aku tergagap. Darah. Aku berdarah. Tidak sakit. Tapi darah itu kian mengucur deras. Anak-anak itu panik. Mereka berlarian sambil berteriak-teriak. Bu guru pemilik pohon itu telah sampai dan berdiri dengan tangan dipinggang. Ooooww.. Aku dalam masalah besar sekarang.


Ibu guru pemilik itu terlihat galak bukan buatan. Wajahnya terlihat sangar namun penuh wibawa. Aku tertunduk. Darah menetes jatuh. Aku masih tidak merasakansakit. Aneh.


“Hayoo..Pada maling jambu ya.. Dasar anak-anak nakal. Lho.. lhoo.. itu si Rei kenapa? Kenapa mukanya berdarah-darah gitu..” amarah yang tadinya diniatkan disemprotkan dengan deras, berganti kepanikan seketika.


“Ii..ituu.. tadi si Rei jatuh dari po’on..” Kata anak yang masih bersamaku. Panggilannya Azis (kalau tidak salah ingat. Maklum. Aku tidak terlalu akrab). Dua yang lainnya sudah kabur entah kemana.


“Oalaaahhh..kenapa kamu diemin gitu. Sini. Sini Rei.. Ayo pulang.. ini mah mesti cepet-cepet dibawa ke dokter nih.. Lagi kamu Rei.. Pake acara naik-naik pohon segala.. Emangnya kamu bisa manjat apa? Kamu jangan terpengaruh sama yang lain dong.. bla.. bla bla..”


Kata-kata selanjutnya senyap seketika.. Walau sedikit tidak diterima dikatakan tidak bisa memanjat, tapi aku senang. Karena aku tidak disalahkan. Predikat anak baik ternyata sudah terlanjur melekat padaku. Sehingga setiap siapa pun yang bertemu selalu bermanis-manis padaku. Belum tahu saja mereka. Aku tidaklah sebaik yang mereka sangkakan.


Aku mulai pusing. Pikiranku sedikit mengawang-awang. Aku pun merasa berjalan diatasawan. Langkahku terasa ringan. Efek kehilangan banyak darah mulai kurasakan.


“Reeeiiiiii..Dasar nakal!! Sapa suruh manjat-manjat!! Rasain tuh akibatnya..!” itu emakkutentu saja.


“Itu muka kenapa berdarah? Berantem kamu ya?” Dasar bangor..” Emak oh emak..marahnya ditahan dulu dong, pusing nih erangku dalam hati.


Wajar dia marah. Jika dia panik, dia memang selalu marah seperti itu. Terlebih dengan banyaknya darah diwajahku. Dipukulnya bokongku. Sedikit keras penuh sayang. Sayang dengan anaknya yang sedikit nakal. Bokong dan pahaku masih menjadi sasaran pukulan emakku.


“Bu..udah bu.. Kasian si Rei.. Diobatin dulu tuh lukanya. Tadi dia jatuh dari pohon" Bu guru galak itu melerai emakku yang sedang memarahiku. Aku hanya diam dengan pusing yang mulai melanda.


Emakkusedikit tersentak “JATOH? Hadeuh Rei.. Sapa suruh naek po’on! Dasar.. bla..bla.. bla..” semprot emakku sambil menarik tanganku kerumah.


“IIIINN..III.. IIINN.. hadeuh nih perawan satu kemana sih. Iii.. iiinn..” Emakku teriaksetengah melengking memanggil kakak perempuanku. Teriakan nadanya terlalu tinggisatu oktaf menurutku dan agak sedikit pitchy.. #Lhooo..


Kakakku tergesa-gesa menghampiri. “Ada apa mak?”


“Kamu jaga rumah. Telpon bapak. Ini nih adek kamu yang bangor jatoh dari po’on. Emakmau bawa dia ke klinik di ujung jalan dulu. Ngerti In?” kakakku mengangguk.


Jalan ke klinik tidak terasa. Karena jaraknya memang tidak seberapa. Sesampainyadisana, emak langsung daftar ke petugas daftar sedikit menyerocos. Aku mendengar kata gawat disenandungkan berulang-ulang. Sebentar-sebentar ini gawat, itu gawat, anak saya gawat, aku mulai tidak kuat.

Pusing yang melanda mendera dengan tanpa jeda. Petugas jaga langsung melihatku dan buru-buru mempersilakan masuk ke ruang praktek dokter walau masih ada pasien disana. Emakku maju paling depan dengan tangan menggengam lenganku erat. Aku diseretnyake dalam.


Dokter dan pasien sedikit heran. Namun petugas jaga berusaha menjelaskan dan dokternya pun sigap langsung bertindak. Didekatinya diriku, digiringnya kearah ranjangitu, dilepaskannya bajuku..
wait.. wait.. wait.. kok penjelasannya ambigu yah..ulang yah.. okeh?


Dokter itu sigap. Dibawanya aku ke ranjang pasien untuk diperiksa. Diamatinya lukadialisku. Dibersihkannya luka itu dengan kapas yang telah diberi entah-apa-itu. Dingin kurasakan kala itu. Masih tak terasa sakit anehnya. Dokter itu menyuntik disekitar alisku. Obat kebal katanya waktu itu. Untuk apa? Aku tak butuh. Tanpa obat itu aku tidak merasakan sakit pikirku. Kemudian lukaku dijahitnya. Dua jahitan menghias alisku. Keren bukan?


“Bu.. anaknya hebat yah dijahit gitu ga nangis.. Padahal masih kecil gitu yah..” kata ibu-ibu yang kuserobot gilirannya. Mendengar kata-katanya aku tersenyum bangga.Tapi kata-kata tentang anak kecil itu entah kenapa membuatku gerah. Aku sudah kelas 6 tauuu..


“iya bu.. anak saya ini emang pinter. Kagak cengeng dia mah..” kenapa jadi pada arisan disini pikirku.

Dokter yang ikut mendengarkan sedikit tersentak. Fokusnya beralih lagi padaku. Diperiksanya aku untuk kedua kali.


“Kamu tadi merasa sakit?” tanya pak dokter

Aku menggeleng. Pak dokter mengangguk ringan. Jempol dan telunjuknya mengusap dagu.


“Kalo saya pegang gini sakit?” tanya pak dokter lagi

Aku menggeleng “kan udah disuntik bius”


“Sebelum disuntik kamu ngerasain sakit” ini dokter banyak tanya ya.. Bikin pusing ajah.


“Ga sakit. kenapa gitu dok?” aku baik bertanya.


“bener kamu ga ngerasain sakit?” aku mengangguk.


“Tapikau tadi ngerasain apa waktu saya bersihin luka?” Eeettt nih dokter beneran deh minta disemprot nih. Cerewet banget. Kagak tahu apa kalo aku masih pusing.


“Dingin. Kan dibersihin alkohol bukan ya? Dokter nanyanya aneh ih. Udah belom nih sayah lapar dok..” dokter itu manggut-manggut.


“Benar kamu tadi ngerasain dingin?” aku mengangguk.


“Kamu tadi ngerasain apa waktu saya suntik?” Fix ini mah. Si dokter beneran minta disemprot nih. Nanyanya itu lho.. Cerewet banget banget. Bikin pusingnya dobel.


“Ya kayak ditusuk jarumlah. Udah ih. Laper nih. Mak pulang yuk. Laper ini..” kataku sedikit protes.


“Bentar. Tuh dokternya belum selesai. Udah kamu diam ajah. Dok, gimana anak saya?”


Dokter itu melirikku dan terlihat berpikir “Anak ibu ga papa.. bla.. bla.. bla.. Cuma tadi saya pikir ada luka lain karena dari tadi dia diam saja sewaktu dijahit. Anak lain mungkin akan menangis. Tapi anak ibu hebat. Dia hanya diam. Diamnya itu yang sedikit mengkhawatirkan, tadi saya pikir ada luka yang menyebabkan syaraf perasanya hilang, tapi ternyata semua aman. Makanya saya tadi banyakbertanya.. bla bla bla..” Cepetan donk. Laper nih. Pusingnya menyingkir. Tergantikan oleh rasa lapar yang teramat sangat.


Entah bagaimana aku sudah sampai kerumah lagi. Percakapan dokter itu dengan emakku membuatku bosan. Terlebih dengan rasa lapar yang menyiksa. Sesampai dirumah aku langsung meraih piring dan menyendok nasi banyak-banyak. Dengan lauk pauk yang sudah tersedia aku makan dengan lahap. Teramat sangat lahap sekali. Hingga taksadar ini sudah piring kedua. Terdengar suara bapak dan nenekku dipintu depan. Aku fokus menghabiskan makan.


Bapakdan nenek menghampiriku. Mereka ingin melihat kondisiku. Makanku sedikit terganggu. Mereka meneliti dahiku. Alisku tepatnya. Bapak menepuk-nepuk bahuku. Nenek mengelus-elus rambutku dan mencium keningku.


Mereka beranjak meninggalkanku sendiri dimeja makan. Terdengar mereka membicarakankondisiku dengan emak diruang depan. Makananku habis sudah. Dua piring tandas, namun perut seolah belum puas. Kuraih pisang ambon yang ada sesisir.


Kudengar suara orang tua dan nenekku di depan, berbincang-bincang. Aku dengar suaraseperti “Dokternya kaget si Rei ga nangis, Ga ngerasa sakit. Dokternya takut siRei syarafnya terganggu..” Syaraf perasa kali mak pikirku.


“Ga..Ga papa. Jangan kuatir. Si Rei itu kan dijaga sama Buyutnya. Jadi waktu diajatuh itu, buyutnya hilangin rasa sakit supaya Rei bisa tahan walau diaberdarah waktu itu. Efeknya mungkin dia akan selalu lapar selama seharian..”Suara nenekku menjelaskan.


Aku? Dijaga? Buyutku?


Apa karena itu rasa sakit itu tak terasa? kok bisa? Nenek masih percaya aja sih sama yang begitu-begituan. Udah haji juga ih si nenek mah.. Emang akunya aja kali nek yang kuat bisa nahan sakit pikirku sedikit terlalu membanggakan diri sendiri. Tak sadar pisang sesisir telah terusir masuk semua kedalam perutku.


Suara-suara mereka tak lagi kudengar. Aku langsung ke atas. Masuk ke kamar. Rasa lelah yang mendera tiba-tiba kurasakan. Seolah tenaga terlepas dari raga. Dalam hitungan detik aku tenggelam dalam lautan mimpi indah.


Ketika terbangun hari sudah malam. Tak menyangka, sudah hampir empat jam aku terlelap. Terdengar suara pintuku diketuk. Tanpa menungguku menyahut, pintu terbuka. Dwi terlihat mengintip disana. Aku tersenyum melihat wajahnya. Dia masuk dan tersenyum. Mendekat kepadaku dan duduk disebelahku. Aku masih terbaring.


Dia melihat luka dialisku. Diulurkannya wajahnya. Tangannya menyapu dan mengelus-elus pipiku. Badannya dia turunkan kearahku. Mukanya tampan sekali. Bibirnya merona merekah. Tapi kenapa dia semakin mendekat. Agak terlalu dekat. Wajahku memanas. Jarak kami hanya sebatas tipis saja. Deru nafasnya dapat kurasakan menerpaku begitu juga sebaliknya.


Tangannya memegang erat kedua sisi wajahku. Tatapannya menatap mataku dalam. Sayu. Syahdu. Penuh rindu. Nafas kami beradu. Bibir merahnya terbuka. Tersenyum penuh manja. Aku tergugah. Hatiku berbunga. Entah mengapa.


Dalam beberapa detik posisi kami masih sama. Lalu tiba-tiba, tatapannya kian dalam. Detik berikutnya bibirnya sudah melekat diatas bibirku. Aku tergagu. Diam membisu. Dia terus menekankan bibirnya keatas bibirku lembut dan perlahan disesapnya bibir atas dan bawahku. Aku tergagap. Menggeliat hebat. Lama sekali bibir kami beradu. Nafas kami memburu. Tangannya pun entah sudah berapa lama meremas gemas rambutku. Lalu digigitnya pelan bibir bawahku. Aku mengaduh. Mulutku terbukadan dia tersenyum bahagia. Lidahnya mulai menjalar masuk terarah. Lidahnya menjelajah dengan lembut dan perlahan. Lidahnya menyapa lidahku. Lidah kami bertemu beradu. Lidahnya mengajak lidahku berdansa. Menikmati momen indah tanpa jeda. Lidah kami berdansa penuh haru. Haru karena ‘mereka’ telah diijinkan bertemu. Lalu..



“REEEEEIIIIII...BANGUUUUUNNNNN..!!!”


“Dasar keblug ini anak..!! Bangun! Banguunn..!!”


GUBRAAKK


HAH? APA? Aku gelagapan. Ada yang terasa menepuk-nepuk badan. Kasar. Agak kelewat kasar sebenarnya. Dan aku terjatuh dari ranjang. Hufth..


Aku mengerjapkan mata. Masih tidak menyangka dengan yang baru saja terjadi. Aku mimpi. Bertemu seorang putri. Putri bidadari. #Halah.


Itu tadi beneran mimpi? Huuwwaaaaaa...


Emmaaaaakkkk... Balikkiiinn mimpiii kuuuuu..


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar