Sabtu, 23 Mei 2015

Lanang Part VI

***
"Pak Lek... Pak lek sudah sadar?".

Sayup- sayup kudengar suara yang lembut menyapa gendang telingaku. Dengan susah payah kucoba untuk membuka mataku yang masih terasa sangat berat. Kepalaku pusing. Tubuhku lemas. Entah aku tak tahu apa yang terjadi. Yang pasti, sekarang aku telah menemukan diriku tergeletak diatas amben kayu dan Jarwo tengah duduk disamping ranjang dengan wajah polosnya yang dipenuho kekhawatiran.
***
"Pak... Pak Lek tadi kenapa Jar...????", kucoba untuk mengangkat tubuhku yang masih terasa lemas, namun gagal. Aku ambruk lagi.

"Sudah sudah... Pak Lek jangan bergerak dulu....." Jarwo dengan sigap menghalauku untuk kembali berbaring di ranjang. "Tadi Pak Lek pingsan... Untungnya Pak Lek ndak apa- apa... Tadi ada Paman yang bantuin Jarwo buat ngangkat Pak Lek kesini." jelas Jarwo sambil memijit- mijit badanku pelan.

"Paman?". Aku mengernyit.

"Iya.... Tadi ada paman- paman gitu kesini."

"Siapa?". Aku penasaran dengan siapa yang sedang dibicarakan bocah ini.

"Dia masih disini kog Pak Lek... Nungguin di depan."

"Bisa kamu panggilkan?".

"Bisa Pak Lek... Sebentar ya..." jarwo kemudian bangkit dan bergegas menuju ruang depan. Sesaat terdengar dialog yang tak begitu jelas kudengar. Lantas diikuti suara langkah kaki yang terdengar mendekat.
Brak, pintu terbuka dan Jarwo muncul dari balik pintu bersama seorang lelaki seumuranku yang berpakaian seperti seorang guru.

"Ini paman yang tadi bantuin dan nolongin Pak Lek..." jelas Jarwo sambil menggenggam erat tangan lelaki itu.

Aku mendongak kearah lelaki itu. Seketika saja mataku tertumbuk dengan matanya. Mendadak aku kaget. Ya Tuhan. Kenyataan kah ini? Lelaki itu.... Lelaki itu.... Sepertinya aku begitu familiar dengan wajahnya....

Hohoh... Maaf bget bwt smw yang udah nungguin cerita ini. Akhir- akhir ini aq sibuk di kerjaan ama tugas kuliah, jadinya gak sempet up n nulis cerita. Kalaupun sempat itu wktu lg senggang aj. N idenya dikit, jd oyi low updatenya dikit- dikit.

***
Perlahan- lahan lelaki tinggi itu berjalan kearahku. Wajahnya begitu rupawan. Dihiasi kumis tipis dan janggut yang nampak jantan. Rambutnya disisir rapi. Dan ia menenteng sebuah tas hitam yang nampak lusuh dan kumal. Mataku tertumbuk pada sebuah name tag yang terpasang dibajunya. Prabowo Saptadjie. Ya Tuhan. Aku benar- benar tak bisa mempercayainya.

"Kamu pasti masih ingat denganku kan, Ndar?". Lelaki itu berdiri tepat dihadapanku. Sembari menyunggingkan senyum mematikan.

"Ka...ka...kamu.... " aku terbata. Sulit untuk mempercayai semuanya saat ini.

"Iya, Ndar........... Aku Bowo...."

"Bowo!??". Aku setengah memekik.

"Iya... Kamu sudah baca surat yang kukirim kan? Sekarang aku datang untuk menunaikan janji yang dulu pernah kuucapkan padamu, Ndar.......".

Lelaki itu beringsut. Dan kemudian menoleh kearah Jarwo yang masih menatap heran kearah kami berdua.

"Nah, Le (nak) ... Kamu main saja sama temen- temenmu sana. Biak Pak Dhe yang menjaga Pak Lek mu ini. Kamu tenang saja. Pak Dhe ini temennya Pak Lek mu."

kemudian Jarwo mengangguk sambil tersenyum lega.

"Injih Pak Dhe... Jarwo nitip Pak Leknya dulu ya...." lantas Jarwo bergegas pergi meninggalkan kami berdua di kamar ini. Bowo hanya tersenyum sambil mengangguk.
***
"Bagaimana kau bisa sampai disini dan menolongku, Wo?".

Aku setengah menjauhkan tubuhku dari Bowo yang duduk disebelahku. Entah kenapa aku agak risih dengan dia yang sekarang. Ia tampak begitu bermartabat dengan setelan seragam dan dandanan seperti ini. Bukan Bowo yang lemah dan rendah seperti dulu.

"Akan sangat panjang jika aku menceritakannya, Ndar....." bowo menatapku dengan senyum tipis dan tatapannya yang masih seperti tatapan elang. "Yang terpenting sekarang.... Aku sudah ada disini, Ndar.... Aku sudah menepati janjiku untuk menemuimu....."

"Tapi Wo...." aku menepis tangan Bowo yang mulai merengkuh jemariku dengan lembut. "Aku bukanlah Wendar yang seperti dulu."

Aku bangkit dan berdiri membelakangi Bowo yang masih terduduk diatas amben kayu yang keras. "Aku bukanlah Wendar yang dahulu lemah dan selalu terkungkung. Kau lihat diriku sekarang kan Wo... Aku sekarang telah menjadi seorang Warok dan..... Kau juga lihat kan tadi gemblakku?."

"Aku tak perduli seperti apa dan bagaimana ku sekarang. Aku sama sekali tak memperdulikannya." suara Bowo sedikit gusar. Ia juga bangkit dan mendekatiku. Kami berdua sekarang saling berhadapan. Kedua tangannya memegang bahuku dengan kuat.

"Justri sekarang aku datang untuk menyelamatkanmu.... Membebaskan kau dari lingkaran tradisi yang gelap ini.... Aku akan menyelamatkanmu."

"Apa maksudmu, Wo.....!" aku kembali menepis tangan Bowo.

"Kau tak pernah tahu, Ndar..... Selama aku terpisah darimu, aku selalu memikirkanmu. Aku selalu memikirkan bagaimana cara untuk bisa bertemu lagi denganmu. Bagaimana caranya aku bisa menunaikan janji masa kecilku padamu."
Setengah kecewa Bowo membanting tinjunya ke udara.

"Kau tak pernah tahu bagaimana perjuanganku agar bisa berdiri dihadapmu seperti ini."

"Memangnya apa yang sudah kau lakukan? Bukankah selama ini kau telah melupakanku? Sepuluh tahun yang lalu kau meninggalkanku tanpa kepastian."

"Justru saat inilah aku akan memberimu kepastian Ndar... Sekaranglah saatnya aku menjawab kepastian yang kau harapkan itu. Sekaranglah waktunya."

"Kepastian macam apa yang kau maksudkan itu?".

Bowo mendekat kearahku. Lantas dengan sigap dipeluknya tubuhku. Pelukannya begitu kuat. Tenaganya sekarang kian baja. Aku tak bisa mengelak. Merasakan tubuh kokoh Bowo memerangkap tubuhku.

"Asal kamu tahu, Ndar.... Aku kabur dari Warok Joyo bersama seorang tentara belanda. Aku diangkat anak sama dia dan aku disekolahkan di sekolah rakyat. Aku mulai bertekad, aku harus jadi guru agar bisa ditugaskan disini, di Ngaseman, untuk menemuimu, Ndar.,.... Untuk menemuimu..." kurasakan Bowo terisak. Nada suaranya yang tegas mendadak saja parau dan bergetar.

"Aku ingin membahagiakanmu, Ndar.... Aku hanya ingin itu.... Tak lebih....".

"Tapi Wo... Lihatlah diriku sekarang. Aku bukanlah Wendar yang dulu. Aku sudah terlanjur dirantai oleh adat yang tak bisa kulepaskan. Aku sudah mendapat kewajiban sebagai warok. Dan aku takkan pernah bisa mengelak."

"Siapa bilang menjadi warok itu kewajiban?".

"Wo... Asal kamu tahu. Ketika seorang lelaki ponorogo dilahirkan, maka mereka mempunyai dua takdir yang sudah terpanggung di bahu mereka. Kau tahu itu? Kalau ndak jadi warok, ya jadi gemblak." Perlahan kulepaskan pelukan Bowo ditubuhku. Aku sudah tak pantas dan tak berhak menerima pelukan itu lagi darinya. Aku sudah berbeda. Aku memang mencintainya. Tapi sampai kapanpun aku takkan pernah bisa memilikinya. Inilah takdir. Dan tak ada seorangpun yang bisa menentang takdir.

"Kurasa kedatanganmu kesini cuma sia- sia, Wo.... Aku hargai kegigihanmu untuk menemui dan menepati janjimu terhadapku. Sungguh, aku sangat menghargainya. Tapi sekarang.........." aku setengah menarik napas panjang. "Aku sudah tak bisa lagi dan takkan pernah bisa lagi untuk bersamamu."

"Kenapa, Ndar? Tidakkah alasan itu konyol?".

"Andai kau jadi diriku... Kau takkan berpikir kalau ini semua konyol."

"Tapi kenapa secepat ini kau lupakan tentang kita, Ndar? Racun apa yang telah digunakan Pak Lek Danu untuk mencuci otakmu? Hingga kamu jadi seperti ini?". Kulihat tatapan mata Bowo menjadi buas. Beringas. Penuh amarah. Aku tahu dia pasti amat sangat kecewa dengan keputusanku.

"Jangan pernah kau bilang kalau almarhum Pak Lek Danu mencuci otakku, Wo..."

"Tapi itu memang kenyataannya.."

"Kau tak mengerti takdir.."

"Takdir katamu???" Bowo menyeringai sambil tersenyum kecut. "Persetan dengan takdir.... Bukankah yang harus kita lakukan adalah melawan takdir itu? Kau orang bodoh Ndar kalau kau terlalu mudah menyerah pada takdir."


"Aku tak perduli lagi apa yang kau katakan Wo.. Yang pasti aku sangat memohon maaf kepadamu. Aku sudah berubah. Aku bukan Wendar yang dulu. Dan kau sudah mengetahuinya."

"Kau bodoh, Ndar....."

"Ya... Aku memang bodoh..."

"Kau bodoh, Ndar..."

"Dan aku akan lebih bodoh jika aku tetap mencintaimu Wo....."

Aku menatap kaku pada Bowo yang berdiri terpaku dihadapanku. Wajahnya telah pias oleh air mata. Badannya bergetar oleh amarah yang membuncah.

"Baiklah kalau kau memang lebih memilih takdir dibanding diriku... Tapi demi Tuhan aku sangat kecewa padamu..... Aku benar- benar kecewa, Ndar......"

Perlahan Bowo mulai berbalik. Melangkahkan kaki meninggalkan diriku. Aku terisak. Begitupun dia. Aku tahu perasaannya sekarang. Begitupun dia tahu bagaimana perasaanku. Tapi sampai kapanpun kami memang takkan pernah bisa berbuat apa- apa. Sampai kapanpun takdir takkan pernah rela melihat kami berdua. Ya. Dan tangan - tangan takdir telah menuliskan keputusannya. Sehingga saat itu. Kita takkan pernah bisa mengelak. Kita hanya mampu terjengkang. Tertekuk. Menunduk. Dan terjatuh dibawah kaki- kaki takdir.


TAMAT

EPILOGUE
BEBERAPA TAHUN KEMUDIAN

Seorang bocah lelaki berumur lima belasan berlari dengan tergesa sambil menenteng sepasang sepatu kumal dan tas selempang yang putus talinya. Seragam biru- putihnya yang berlumur keringat dan debu sudah tak terurus lagi bentuknya. Nafasnya tersengal. Langkahnya kian melemah. Ia nyaris kehabisan nafas. Namun ia tetap berlari menantang angin. Tiba- tiba saja ia terhenti begitu sampai didepan sebuah halaman rumah yang luas. Senyumnya berbinar begitu matanya menatap sesosok lelaki setengah umur sedang berdiri kerahnya. Lantas perlahan kakinya ia kayuh menuju lelaki itu. Ia mendekat. Si lelaki setengah umur cuma mengangkat bahu. Dan begitu sampai dihadapannya, si bocah lelaki segera memeluk si lelaki setengah umur.
"Kamu sudah pulang, Ndar?".

"Sudah Pak Dhe."

"Terus kenapa itu mukanya kog lecek?".

"Kata teman- temanku, aku ini seorang gemblak, apa itu benar Pak Dhe?". Si bocah lelaki tampak sedikit terisak.

"Lho.. Lho... Lhoo.. Ndak usah didengerin ucapan mereka itu. Kamu kan anak angkatnya Pak Dhe... Ndak mungkin Pak Dhe jadikan kamu gemblak...."

si Lelaki setengah umur menunduk dan mengelus dagu bocah itu dengan sayang. Sebentar ia tersenyum tipis.

"Apa itu benar Pak Dhe?". Si bocah lelaki menatapnya polos.

"Tentu saja. Memangnya kalau kamu jadi gemblaknya Pak Dhe, memangnya kamu ndak mau?"

Si bocah setengah menerawang seakan- akan memikirkan sesuatu.

"Memangnya gemblak itu apa Pak Dhe Bowo?".

Si Lelaki setengah umur tak menjawab. Ia hanya tersenyum sembari memegang bahu si bocah lelaki.

"Sudahlah... Ayo masuk dulu... Nanti Pak Dhe Bowo ceritakan didalam."

Lantas si lelaki setengah umur dan si bocah melangkahkan kaki kedalam rumah sedang yang berdinding bambu anyam itu.

***
Bowo masih terpekur diam sembari menatap selembar kertas putih kusam digenggamannya. Tulisan cakar ayam di kertas itu tak ia hiraukan. Tatapannya nanar. Surat itu adalah surat permohonan maaf dari Wendar yang memohonnya agar tidak menemuinya lagi.

"Kamu bodoh, Ndar.... Kamu bodoh...." desisnya pelan sambil mengepulkan asap rokok tingwe yang disesapnya.

Dan tiba- tiba kertas yang digenggamnya ia remas dengan penuh amarah. Dan dilemparkannya ke tanah. Ia gusak rambutnya dan ia berteriak keras- keras.

"Kamu Bodoh Ndar........!!!!!".

Sepurane Wo, ing akhir sawijining crito. Aku luwih milih opo sing wis dadi kasunyatan tinimbang kabebasan kang mbok uri- uri iku.

Maafkan aku Wo, pada akhirnya. Aku lebih memilih takdirku daripada kebebasan yang kau elu- elukan itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar