Sabtu, 23 Mei 2015

Lanang Part IV

AKU dan Bowo terus mengayun kaki keluar pagar sanggar. Melewati jalanan berdebu yang dipenuhi batu batu kerikil. Dan berhenti pada sebuah gubuk kecil di pinggiran sawah. Tak ada orang disekitar sini. Yang ada hanya hamparan padi yang ujung- ujungnya mulai menguning. Kurasa, inilah tempat yang tepat untuk aku berbincang pada Bowo tentang perasaan ku.
***
"Kenapa to, Ndar, kog pake lari- lari ke sawah segala? Memangnya ndak bisa diomongin di sanggar?".

Bowo menatapku aneh. Sebelah alisnya terangkat, mengisyaratkan sebuah interupsi atas apa yang atelah aku lakukan padanya. Menariknya ke sawah sepi seperti ini. Konyol. Mungkin itu pikirnya.

"Ndak bisa Bowo. Aku ndak bisa ngomongin ini disanggar, aku ndak mau ada seorangpun melihatku mengatakan ini padamu."

Aku kikuk. Wajahku bersemu. Sementara Bowo terus melihatku dengan tatapan penasaran. Aku merasa kian ditelanjangi olehnya.

"Memangnya, kamu mau ngomong opo to, Ndar?".

Aku terpaku. Diam. Jantungku berdegup hebat. Kuhela nafas sedikit. Berharap debarannya berkurang. Namun sial. Tubuhlu malah bergetar. Dentuman di hatiku kian kencang.

"Ndar?"

"Eh... I... Iya....".

"Kamu kenapa to? Kamu sakit?".

"Ah... Ndak kog... Aku ndak apa- apa."

Bowo meraih pundakku dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya menggenggam tanganku. "Memangnya kamu mau ngomong apa, kog sampe gugup begitu?."

Masih menunduk. Aku berbisik.

"Tapi ka... Kamu jangan marah ya, Wo......".

Kudengar Bowo tertawa kecil. Sekilas kulirik senyumannya yang menggoda. Demi Tuhan dia memang tampan.
"Kenapa aku harus marah? Memangnya kamu mau ngomong apa."


Beberapa detik aku diam. Otakku bekerja keras untuk menyusun kata- kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku pada Bowo. Keringat membanjiri lekukan pelipis dan leherku.

"Wo.....". Bisikku pelan.

"Iya, Ndar..."

"Kamu tahu ndak. Semenjak kamu nolongin aku waktu pingsan di jalan. Kurasa, ada sesuatu yang aneh dalam diriku."

"Sesuatu yang aneh? Apa maksudmu, Ndar??".

"Semenjak pertama kalinya mataku bertatapan dengan matamu. Dan semenjak wajahku berjumpa dengan wajahmu. Sepertinya...... Sepertinya........". Aku gelagapan. Rasanya tak sanggup meneruskan kata- kataku.

"Sepertinya kenapa Ndar?".

"Wo...."

"Iya Ndar..."

"Sepertinya..... Aku......seneng (suka).... Sama kamu...... Wo...."

Begitu menyelesaikan kata- kataku, aku kian dalam menunduk. Berusaha menyembunyikan air mataku yang telah meleleh darinya. Dari Bowo. Aku benar- benar malu. Aku juga menyesal dengan apa yang kukatakan barusan. Kamu bodoh, Ndar. Kamu itu laki- laki. Kenapa bilang suka pada laki- laki? Bagaimana jika Bowo marah? Dia akan segera membunuhmu.
***
Kupejamkan mataku. Menunggu apa yang terjadi. Barangkali sebentar lagi Bowo akan memukulku, atau bahkan mencekikku hingga mati. Aku siap. Aku sudah rela. Yang penting aku sudah mengutarakan perasaanku.
Namun lama menunggu. Tak ada yang terjadi. Kubuka mata. Kulihat Bowo menerawang jauh ke angkasa biru. Dia terdiam. Seakan merenung- renung sesuatu.

"Kamu... Marah ya Wo.... Maafkan aku.... Kamu jangan marah.... Aku memang goblok....". Aku mengkeret dihadapannya.

Bowo menarik nafas sejenak. Dan memalingkan wajahnya menghadapku.
"Kamu tahu kan Ndar, kalau kita berdua laki- laki?".

"Te... Tentu saja, Wo." aku mengangguk.

"Yang namanya laki- laki itu, diciptakan ya buat perempuan."

Sekali lagi aku mengannguk. Namun kali ini tanpa suara.

"Sebenarnya, aku juga meraskan hal yang sama padamu saat kita pertama bertemu, Ndar.... Aku juga suka sama kamu..... Tapi ada sesuatu yang membuat aku ragu, Ndar."

"Ragu kenapa, Wo?".
Kuberanikan memegang tangannya yang kokoh. Kali ini, aku berani menatap matanya.
***
Bowo masih menerawang jauh. Angin sawah yang sejuk menghempas rambutnya yang tebal. Hingga poninya menutupi hamparan keningnya yang nonong (lebar). Terdengar pula suara burung- burung emprit dan kelontang botol- botol kaca yang digantung di sepanjang atap gubuk untuk mengusir bangau.

"Aku ragu jika aku dapat memiliki kamu, Ndar..... Kita ini gemblak. Kita berdua budak. Tugas kita ya melayani warok. Kita tidak boleh jatuh cinta. Kita ndak boleh mencintai. Apalgi mencintai lelaki."

aku hanya menatapnya. Tanpa kata.

"Kita cuma boleh mengabdikan diri pada Warok, Ndar. Kita hanya boleh memberikan dan menyerahkan diri kita pada mereka. Sebelum nanti kita dibebaskan.........".

Bowo membalas genggamanku. Aku kian erat menggenggamnya.

"Aku juga ingin menyayangimu, Ndar. Aku juga ingin mencintaimu. Tapi apakah aku bisa? Apakah aku boleh?". Bowo perlahan terisak. Namun tanpa air mata.

"Aku ndak tahu, wo. Aku hanya ingin bersamamu. Aku ndak peduli apapun yang terjadi."

Kudekatkan tubuhku pada Bowo. Kepalaku kutempelkan pada pundaknya. Sementara tanganku merangkul lengannya yang kuat.
Ia hanya terdiam. Menyandarkan kepalanya padaku.

"Apa kata Pak Lek mu kalau dia tahu kita seperti ini, Ndar."

"Jangan sampai, Wo. Jangan sampai ada seorangpun yang tahu kita seperti ini." jawabku.

Bowo lantas membalas pelukanku. Diputarnya kepalanya menghadapku. Kali ini, matanya bertubrukan dengan mataku.

"Aku mencintaimu, Ndar..."

Bowo mendekatkan pipinya padaku. Ditempelkannya pipinya yang lembut dengan pipiku. Kemudian dengan lembut beranjak mencium keningku.

"Aku juga mencintaimu, Wo...."
bisikku sambil mempererat pelukanku di tubuhnya.

note;
lonceng botol, biasnaya dibuat dari bekas botol kaca yang pada lehernya diikatkan tali dengan bandul batu. Sehingga ketika ditiup angin. Batu akan menghantam pelan botol sehingga membunyikan suara. Biasnya digunakan untuk mengusir burung yang suka memakan padi.

SEWELAS)
PAK LEK, MAAF......

TERDENGAR suara dentuman gamelan memekakkan telinga. Memenuhi ruangan. Menggetarkan dinding- dinding dan lantai kayu. Dengkingan salompret dan seruling mengiris- iris karsa. Dan gesekan biola jawa menyebarkan hawa mistis yang mencekam. Aku melongok dari jendela kedalam ruang latihan. Sementara Bowo dibawahku terus menahan berat karena menggendongku. Mataku menyapu sekeliling. Beberapa bocah sedang berdiri menarikan tari Jathilan. Sementara, para lelaki yang sudah agak tua membentuk barisan melingkar sambil memukul- mukul dan memainkan gamelan.
***
"Latihannya........ sudah dimulai ya, Ndar..??", bisik bowo dengan suara tertahan karena menahan beban.

Aku menengok kearahnya. "Sudah, Wo. Kita terlambat nih, Pasti Pak Lek sama Pak Dhe mu marahin kita nanti. Kataku sambil memberi isyarat pada Bowo agar menurunkanku dari gendongannya.

"Terus gimana dong? Kita masuk saja apa gimana?", Tanya Bowo sambil memijit mijit pundaknya yang pegal.

Namun tiba- tiba Mas Narno muncul sebelum aku sempat menjawab. Mas Narno menghampiri kami dan segera memasang muka galak.

"Kalian berdua ini dari mana saja to? Sudah jam latihan kog malah keluyuran main.... Niat tampil di Ruwat Nagari ndak sih???".

Kami berdua menciut. Seperti maling ketahuan.

"Se... Sepurane Mas.... Maeng aku karo wendar enek perlu. Dadi rodok telat tekane." jelas Bowo sedikit takut.

(ma, maaf mas, tadi aku sama wendar ada perlu, jadi agak telat datangnya.)

Mas Narno menghela napas.
"Yawes, sekarang kalian langsung masuk. Ditungguin dari tadi lho. Pada mau dihajar sama warok kalian po pye (ya?). Kalau niat tampil ya harus serius latihan".

"Injih mas."
Kami berdua mengangguk. Takut. Kemudian segera beranjak mengikuti Mas Narno masuk kedalam ruang latihan.
***

Aku duduk terpisah dengan Bowo begitu sampai di dalam ruang latihan. Bowo duduk bersama Warok Joyo dan gemblak- gemblaknya. Sementara aku duduk disamping Pak Lek Danu.

"Kamu ini dari mana saja to, Ndar. Kog ndak bilang Pak Lek kalau mau pergi." tanya Pak Lek yang sedang membaca sebuah buku yang judulnya ditulis dengan aksara jawa yang rumit. Aku tak tahu buku apa itu. Pengentahuanku tentang aksara jawa belum terlalu banyak.

"Emm.. Anu Pak Lek... Maaf... Tadi ada perlu sebentar sama Bowo."
jawabku sambil merogoh buntelan yang berisi propeti tari milikku.

"Bowo?". Tiba- tiba Pak Lek mengalihkan pandangannya dari buku itu ke padaku. Rokok tingwe yang disesapnya terus mengepulkan asap.

"Injih Pak lek. Gemblaknya Warok Joyo."

"Kamu boleh deket- deket sama Mas Narno. Tapi kamu ndak boleh deket- deket sama gemblak lain. Apalagi sama si Bowo itu. Pak lek ndak suka."

Aku terkesiap mendengar apa yang baru saja Pak Lek katakan.

"Kenapa aku ndak boleh berteman sama mereka Pak Lek. Kan mereka juga sama kayak Wendar...."

"Pokonya kalau Pak Lek bilang ndak boleh, ya ndak boleh...." terdengar Pak Lek menekankan suaranya sehingga suaranya terdengar kencang dan kasar. Wajahnya mengisyaratkan kemarahan. Aku diam. Ketakutan. Belum pernah aku lihat wajah Pak Lek yang seperti itu.

ENTAH kenapa Pak Lek jadi marah- marah begitu kami pulang dari sanggar. Sepeda onthel yang biasa ia sandarkan pada cagak (tiang) depan rumah, ia ambrukkan begitu saja. Ia juga segera masuk ke kamarnya tanpa mengajakku. Aneh. Aku hanya termangu menatap Pak Lek. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi. Apa yang telah membuatnya jadi semurka ini.
***
Kuberanikan diri melongok pintu kamar Pak Lek yang sedikit terbuka. Kulihat Pak Lek menyesap air putih dalam kendi. Disekelilingnya, bantal dan seprai terlihat berantakan. Pak Lek pasti telah membanting- bantingnya.
Klek.....!
Kubuka pintu perlahan dan kulangkahkan kakiku memasuki kamar. Diatas ranjangnya Pak Lek terlentang. Nafasnya tak beraturan. Wajahnya masih dipenuhi amarah. Aku takut. Namun kupaksa untuk mendekatinya.

"Pak Lek.... Pak Lek kenapa to?". Setengah takut aku memandangi Pak Lek. Dia masih saja diam. Tak menjawab. Kedua tangannya ia tangkupkan diatas wajahnya.

"Pak Lek....?".

Namun Pak Lek tetap diam.

"Pak Lek kenapa to marah marah gini? Memangnya Wendar punya salah apa sama Pak Lek?".

Tanganku menyentuh punggung kokohnya. Mencoba sekuat hatiku untuk meluluhkan hati Pak Lek yang membeku.

"Kenapa kamu tega sama Pak Lek, Ndar? Kenapa.....???".
Tiba- tiba Pak Lek bangkit dan duduk menghadapku. Aku tertegun. Kaget.

"Te... Tega sama Pak Lek... Apa maksudnya Pak Lek???". Tanyaku tak mengerti apa yang dimaksud Pak Lek.

"Padahal Pak Lek ini sudah mencoba buat sayang sama kamu. Pak Lek sudah berusaha buat memperhatikan dan membahagiakan kamu. Tapi kenapa kamu tega menduakan Pak Lek, Ndar? Apa Pak Lek ndak membuatmu bahagia?".

Deg, jantungku berdegup tak beraturan. Pak Lek cemburu. Pak Lek cemburu kepadaku.

"Pak Lek sayang sama kamu, Ndar.... Kenapa kamu tega menghianati Pak Lek?".

Aku mendengus. Sembari menatap wajah pias Pak Lek. Aku tak tahu harus bicara apa. Tenggorokan dan kerongkongan ku tercekat.

"Kenapa kamu tega menghianati Pak Lek ,Ndar... Kenapa.......".

"Ma... Maksud Pak Lek apa?". Tanyaku tak mengerti. "Aku ndak pernah berpikir untuk menghianati Pak Lek sedikitpun. Aku tetap gemblak Pak Lek. Apa maksud Pak Lek menuduhku seperti itu."

Pak Lek menatap lekat wajahku. Aku baru tahu. Jika cemburu, Pak Lek bisa sangat menakutkan. Dia begitu nampak beringas. Wibawanya yang biasanya ia tunjukkan padaku, mendadak berubah kemurkaan.

"Kamu suka sama Bowo kan?".

Ucapan Pak Lek begitu menusuk jantungku. Hatiku tiba- tiba saja perih. Dari mana Pak Lek tahu tentangku dan tentang Bowo.

"Kenapa Pak Lek ngomong begitu?".

"Jawab saja yang jujur ,Ndar.... Kamu suka sama Bowo kan?". Suara Pak Lek mulai bergetar. Parau. Ia mulai terisak.

"Pak Lek.... Aku....."

"Tega kamu Ndar, tega kamu........."

"Aku sayang sama Pak Lek... Aku cuma sayang sama Pak Lek...... Ndak ada yang lain...."

"Ndak usah bohong ndar..... Pak Lek tahu.... Kamu suka sama Bowo.... Pak Lek tahu bagaimana tatapan mu terhadapnya....... "

"Pak Lek ngomong apa sih???", cetusku keras. Kupandang Pak Lek dengan tatapan menyeringai. Aku benar- benar tidak menyangka kalau Pak Lek akan berkata demikian.

"Jangan pernah Pak Lek ngomong kayak gitu lagi.... Wendar ndak suka Pak Lek.......".

"Tapi itu kenyataan kan, Ndar.... Kamu suka sama Bowo kan, Ndar??".

"Apa salah kalu Wendar menyukai Bowo.... Apa salah Pak Lek? Bukannya setiap orang berhak buat jatuh cinta????".

Pak Lek seketika tertegun mendengar kata- kataku. Sesaat ia menghela nafas panjang.
"Tapi kamu salah kalau kamu jatuh cinta sama dia, Ndar.......".

"Salah kenapa Pak Lek?".

"Kalian ini kan laki- laki....."

Aku mendengus.
"Lalu apa aku sama Pak Lek juga bukan laki- laki? Pak Lek sayang sama Wendar, dan Wendar juga menyayangi Pak Lek. Bukankah itu sama salahnya???".

Pak Lek hanya menatapku kaku. Aku terus memberondongnya. Aku sebal. Tak seharusnya Pak Lek melarangku untuk suka dengan orang lain.

"Pak Lek ngomong apa sih???", cetusku keras. Kupandang Pak Lek dengan tatapan menyeringai. Aku benar- benar tidak menyangka kalau Pak Lek akan berkata demikian.

"Jangan pernah Pak Lek ngomong kayak gitu lagi.... Wendar ndak suka Pak Lek.......".

"Tapi itu kenyataan kan, Ndar.... Kamu suka sama Bowo kan, Ndar??".

"Apa salah kalu Wendar menyukai Bowo.... Apa salah Pak Lek? Bukannya setiap orang berhak buat jatuh cinta????".

Pak Lek seketika tertegun mendengar kata- kataku. Sesaat ia menghela nafas panjang.
"Tapi kamu salah kalau kamu jatuh cinta sama dia, Ndar.......".

"Salah kenapa Pak Lek?".

"Kalian ini kan laki- laki....."

Aku mendengus.
"Lalu apa aku sama Pak Lek juga bukan laki- laki? Pak Lek sayang sama Wendar, dan Wendar juga menyayangi Pak Lek. Bukankah itu sama salahnya???".

Pak Lek hanya menatapku kaku. Aku terus memberondongnya. Aku sebal. Tak seharusnya Pak Lek melarangku untuk suka dengan orang lain.

"Tapi Pak Lek cuma pengen kamu sayang sama Pak Lek, Ndar....... Pak Lek ndak mau kamu berpaling sama orang lain....... Karena Pak Lek menyayangi kamu kamu, Ndar....... Karena Pak Lek mencintai kamu........" bisik Pak Lek perlahan.

"Maafkan Pak Lek kalau tiba- tiba jadi marah begini..... Pak Lek kayak gini karena Pak Lek ndak mau kehilangan kamu, Ndar..... Pak Lek ndak mau.........".

Batinku terenyuh. Jantung dan tubuhku gemetaran. Seluruh sel- sel tubuhku jadi lemas.

"Maafin Pak Lek, Ndar..... Maafin Pak Lek........."

Pak Lek segera merengkuh tubughku kuat- kuat. Aku hanya diam terpaku. Biar saja Pak Lek mencurahkan perasaannya sekarang. Toh. Aku juga yang salah.

"Jangan pernah kamu berpikir buat ninggalin Pak Lek, Ndar.... Jangan pernah........."

kubalas pelukannya. Hingga kami berdua kian hanyut dalam pelukan hangat. Pak Lek mencium keningku. Dan kian mempererat pelukannya.

"Pak Lek janji.... Pak Lek akan membahagiakan kamu Ndar.... Pak Lek janji............"

"Iya Pak Lek........ Maafkan Wendar.... Maafkan Wendar......."
***
PLAKKKKK!!!!!
SEBUAH tamparan keras kembali mendarat di pipi kanan Bowo. Ia ambruk. Pelipisnya menghantam lantai kayu. Bibirnya berdarah- darah.

"Kamu sudah mulai berani sama Pak Dhe Wo.....!!!!!!! KAMU SUDAH MULAI BERANI SAMA AKU, LE!!!!!!".
Warok Joyo terus menendang- nendang tubuh Bowo yang terkulai lemah dihadapannya.

"APA MAKSUDNYA SURAT INI, WO.... APA MAKSUDNYAAA..... JELASKAN SAMA PAK DHE... KENAPA KAMU MENULIS SURAT SEPERTI INI KEPADA WENDAR..... KAMU SUDAH GILA YA!!!!".tukas Warok Joyo sambil mengacungkan sebuah lembaran kertas berwarna putih kusam.

Sementara Bowo hanya terdiam menahan sakit. Ia masih tersungkur lemah pada lantai kayu.

"Setelah kamu berulang kali mencoba kabur dari Pak Dhe.... Sekarang kamu malah mau mencintai Wendar?????? Kamu benar- benar sontoloyo, hahhh???!!!!".

Warok Joyo kembali menendang tubuh Bowo. Terdengar erangan kecil daro Bowo.

"Apa kamu ndak tahu kalau tugasmu itu cuma untuk mengabdi kepadaku. Kamu ndak boleh jatuh cinta sama siapapun. Apalagi sama Wendar sialan itu......... ".


"Ke... Kenapa.... Pak Dhe....".
Bowo mulai bangkit. Namun tenaganya masih terlalu lemah ia kembali ambruk dan terkulai.


Warok Joyo menurunkan kakinya, berjongkok dan dengan kasar menjambak rambut Bowo. Bowo kesakitan. Namun Warok Joyo malah menjambaknya kian keras.

"Kamu itu gemblak..... Kamu ndak boleh suka sama orang lain... Kamu cuma boleh suka sama warokmu, Wo... Ngerti kamu hah????".

Kepala Bowo terhempas ke lantai. Pelipisnya berdarah. Wajahnya kian hancur lebur.

"Pak Dhe ndak bakal membiarkan kamu jatuh cinta sama Wendar.... Ndak bakal pernah..... Pak Dhe akan membawamu ke Dolopo.... Ke tempat yang jauh dari si Wendar sontoloyo itu..... Biar kamu ndak bisa ketemu dia lagi, Wo.... Hahahahahaha......".

Tawa Warok Joyo meledak. Ia kemudian beranjak pergi. Meninggalkan Bowo yang meringis kesakitan di lantai kayu. Bowo meraskan kesakitan yang sangat pada wajahnya. Perlahan pandangannya menjadi kabur. Ia pingsan.

(ROLAS)
PILIHAN YANG SULIT

MALAM itu aku terkapar di peraduanku dengan gelisah. Berkali- kali ku gulingkan badanku untuk mengusir kegelisahan. Namun nihil. Pikiranku masih saja terombang- ambing diatas awan. Aku benar- benar dihadapkan pada pilihan yang sulit. Aku harus memilih antara Bowo atau Pak Lek Danu. Pilihan yang sulit memang. Aku menyayangi Pak Lek. Tapi aku juga tak bisa meninggalkan Bowo. Ia menjanjikan kebebasan terhadapku. Aku tak tahu kebebasan seperti apa yang ia maksud. Yang pasti. Dia telah berjanji untuk membuatku benar- benar hidup sebagai lelaki bebas. Bukan seorang gemblak yang selalu terkungkung tradisi dan aturan kuno.
***
"Hhhaaaahhhh........"
Kuhempaskan nafasku kuat- kuat. Sedikit meregangkan otot dan sel syarafku yang tegang. Kulirik Pak Lek Danu yang telah tertidur disampingku dengan hanya mengenakan kain sarung. Aku tersenyum getir. Entah ini kali keberapa aku harus melayani hasrat birahinya. Aku....... Tiba- tiba kembali memikirkan tentang ke'lelaki'an ku. Masih pantaskah aku disebut lelaki? Jika aku terus menjadi objek nafsu manusia yang berjenis kelamin sama denganku. Ah... Masa bodoh. Bukankah aku sudah mencoba untuk melupakan hal itu.
***
Dan seketika itu pula aku jadi teringat Bowo. Bocah lelaki itu entah kenapa selalu muncul dalam pikiranku. Jantungku selalu berdesir tiap mengingat wajahnya. Dan aku juga tak tahu kenapa kelaminku selalu menegang tiap membayangkan tubuhnya yang kokoh. Kurasa aku memang sudah gila. Namun gila dengan alasan yang realistis.
***
"Aku janji,Ndar.... Suatu saat... Jika aku bisa bersamamu... Aku pasti akan membuatmu bebas Ndar... Kita berdua akan bebas. Kita berdua akan menjalani kehidupan kita tanpa dikekang oleh aturan- aturan para Warok yang merawat kita. Aku janji."

Tiba- tiba saja aku teringat perkataan Bowo itu. Aku masih ingat betul saat ia mengucapkannya. Saat itu, ia hendak pulang dari sanggar setelah kami latihan bersama. Dia menggenggam erat tanganku. Dan berjanji. Dan akupun membalasnya dengan senyuman.

"Iya, Wo.... Aku percaya sama janji kamu....".
***
BOWO masih saja celingukan dari balik pintu kamarnya. Tangannya memegangi pipinya yang lebam dan sakit. Ia menoleh keluar pintu. Ke kanan dan ke kiri. Ia menhela napas lega. Tak ada seorangpun yang masih terjaga. Pak Dhe joyo pun nampaknya sudah terlelap. Ia lantas melangkah pelan keluar kamarnya menuju ke sebuah kamar di samping kamarnya. Kamar itu, milik Wawan. Temannya sesama gemblak Pak Dhe Joyo. Berbeda dengan Anjar dan gemblak lain yang memusuhi dan membuntutinya, Wawan lebih dekat dan membela Bowo. Ia selalu baik dan mau membantu Bowo kapanpun. Bahkan saat ia mau kabur dulu, sebenarnya ia bisa hampir berhasil juga atas bantuan Wawan. Namun ternyata, nasib baik memang belum berpihak padanya.
Perlahan Bowo mengetuk pintu kamar Wawan. Pelan. Ia tak mau ada orang lain yang mendengarnya. Kemudian pintu berderit dan terbuka. Muncullah sesosok bocah lelaki yang lebih pendek dari Bowo. Rambutnya keriting. Dan pada hidungnya, bertengger kacamata minus yang bentuknya kuno.
"Ada apa Wo... Kog malem- malem begini kamu belum tidur...". Ucap Wawan sembari menguap.

"Shhhh... Pelan- pelan aja ngomongnya... Nanti Pak Dhe dengar...." Bowo segera memberikan isyarat pada Wawan agar ia mengecilkan suara.

"Iya... Iya...", jawab Wawan berbisik.

"Aku mau minta bantuan sama kamu."

"Bantuan? Bantuan apa Wo?".

Bowo merogoh saku celananya yang hitam. Kemudian menyerahkan sebuah kertas kusam yang dilipat rapi pada Wawan. "Kamu kan besok latihan ke Angudhi Laras, aku minta tolong ya, tolong kasih ini ke Wendar ya......"

Wawan menerima kertas tersebut. Sesaat ditimang- timangnya kertas tersebut dan menatap Bowo dengan tatapan menyudutkan. "Surat apa ini?".

"Sudahlah.... Kasih saja...."

"Tapi kenapa ndak kamu saja yang ngasih ke Wendar Wo...??"

"Kamu ndak tahu ya Wan. Pak Dhe sudah melarangku untuk latihan disana. Pak Dhe sudah ndak mengijinkan aku buat ketemu Wendar. "

Wawan tetap menatap Bowo.
"Jadi besok kamu ndak latihan?".

"Ndak, Wan. Besok aku akan tetap dirumah. Pintu kamarku akan dikunco Pak Dhe dari luar sehingga aku ndak bisa kemana- mana. Jadi tolong sampaikan surat ini ke Wendar. Aku mohon... Sebelum aku benar- benar dibawa Pak Dhe ke Dolopo."

Wawan mengangguk dan lantas memasukkan kertas yang diberikan Bowo tadi ke saku bajunya. "Ya sudah, aku akan kasih ke Wendar besok."

"Iya. Terima kasih ya, Wan."

"Sama- sam......."

Belum sempat Wawan menyelesaikan kata- katanya. Tiba- tiba terdengar suara pintu kamar Pak Dhe Joyo terbuka. Setengah terkaget Wawan segera menyuruh Bowo untuk masuk kembali kedalam kamarnya. Biar saja Wawan yang menghadapi Pak Dhe agar tidak curiga.


"Lho..lho.. Kamu kog belum tidur to, Wan... Ini sudah jam dua belas malam lho..."
Pak Dhe Joyo menghampiri Wawan yang masih berdiri diambang pintu kamarnya. Bibirnya menyesap cerutu.

"Be... Belum Pak Dhe... Tadi habis dari belakang, tiba- tiba saja ngelak (haus). Jadi aku ngambil minum tadi." jelas Wawan berpura- pura.

"Ooalah..."

"Lha Pak Dhe sendiri kog belum tidur??".

"Pak Dhe lupa ngunci pintunya si Bowo. Bisa- bisa dia mau kabur lagi kalau ndak dikunci pintu kamarnya. Dia kan orange ndak kenal menyerah to Wan. Pak Dhe mau jaga- jaga saja."

Pak Dhe Joyo lantas menuju pintu kamar Wendar yang bersebelahan dengan kamar Wawan. Dimasukannya kunci kedalm lubang di bawah gagang pintu. Diputarnya kunci tersebut kekanan, dan klek. Pintu telah terkunci. Bowo sudah tidak bisa kabur lagi.

"Besok Bowo akan tetap dikamar ini sampai kita pulang dari latihan. Biarin dia didalam seharian."

"Tapi, bagaimana kalau Bowo nanti lapar Pak Dhe?", sela Wawan dengan nada panik.

"Biarin saja dia kelaparan. Bahkan kalu dia mati pun, biarkan. Itulah akibatnya kalau berani menentang Warok Joyo." Tegas Pak Dhe dengan tatapan mengerikan. Dia tertawa pelan sambil terus menyesap cerutu yang kian mengepulkan asap.

"Kalau kamu berani ngebantuin Bowo... Maka kamu akan mengalami hal serupa, Wan... Ngerti kamu?".

"In... Injih Pak Dhe...". Wawan mengangguk ketakutan.

KEESOKAN paginya.
Ruang latihan sanggar Angudhi Laras sudah ramai dengan orang- orang sedari tadi pagi. Hari ini adalah geladi resik sebelum pementasan Ruwat Nagari besok. Beberapa orang dari sanggar lain pun sudah memenuhi ruang latihan, hampir semuanya penuh sesak.
***
Aku baru saja turun dari sepeda onthel yang dikemudikan Pak Lek Danu. Kami baru sampai. Segera Pak Lek menyandarkan sepedanya pada sebuah pohon Terembesi dan mengunci rodanya dengan rantai dan gembok. Begitulah kebiasaanya mengamankan sepedanya. Pak Lek kemudian berjalan masuk menuju sanggar. Aku mengikutinya dari belakang. Sesaat aku melirik pelataran sanggar yang luas. Aku melihat sebuah andong mewah terparkir disana. Andong milik Warok Joyo. Ah. Bowo pasti sudah sampai disini sedari tadi. Kuharap aku segera bisa melihat wajahnya. Aku sudah kangen padanya.
***
Tep.tep.
Kakiku baru saja menjejak masuk kedalam pintu sanggar. Tiba- tiba aku mendengar suara cempreng yang memanggil- manggil namaku. Aku berhenti, sementara Pak Lek terus masuk ke ruang latihan. Biarkan dia masuk duluan.
Aku menoleh kearah sumber suara. Dan mendapati sesosok bocah lelaki berambut keriting dan berkacamata minus. Tingginya nyaris sama denganku.

"Kamu.... Wendar kan..??". Bocah lelaki itu setengah menunjuk kearahku.

"I.. Iya... Kamu siapa, kog tahu namaku?".

"Aku Wawan, gemblaknya Warok Joyo. Temannya Bowo." bocah lelaki itu menyodorkan tangannya. "Aku baru kali ini ikut latihan disini. Tapi aku sudah sering lihat kamu waktu njemput Bowo."

"Oh... Temannya Bowo ya...".

"Iya." ia mengangguk.

"Terus Bowo nya kemana?". Tanyaku penasaran.

"Justru itu... Aku ingin menyampaikan sesuatu sama kamu."
Kemudian Wawan merogoh saku celananya sebentar. Ia mengorek isinya. Kemudian menyerahkan sebuah kertas kusam yang dilipat rapi ke padaku. Aku menerima kertas itu sembari melayangkan pandangan ke Wawan. "Apa ini?".

"Itu surat dari Bowo. Buat kamu. Dia sudah ndak latihan disini lagi. Aku yang akan menggantikan posisinya. Pak Dhe Joyo sudah melarang dia buat bertemu kamu, Ndar,...."

"Apa?". Aku menelan ludah. Sungguh aku tak mempercayai kata- kata Wawan barusan. "Kamu pasti lagi bercanda kan Wan?".

Tapi Wawan menggeleng. Ia serius. "Aku beneran serius Ndar... Kamu dan Bowo sudah ndak boleh bertemu lagi. Bahkan aku dengar...... Pak Dhe mau ngebawa si Bowo ke Dolopo biar dia melupakan kamu, Ndar."

Aku terpaku diam. Tiba- tiba saja aku kehilangan semangat. Ya, kabar barusan seakan telah menyedot habis kekuatanku. Bagaimana jika aku tak bisa ketemu Bowo lagi?.

"Yasudah, aku pamit duluan Ndar, nanti aku dicariin Pak Dhe." wawan beranjak kembali ke ruang latihan. Sementara aku masih terbengong menatap kepergian Wawan dan sebuah surat di tangan kananku.

"iya Wan... Monggo (silahkan).

MATAKU masih saja memandang hampa pada lipatan kertas tipis di tanganku. Sesaat kutimang- timang surat dari Bowo itu. Kemudian perlahan, kubuka lipatan- lipatannya sehingga kini kertas itu terbua lebar. Kupandangi tulisan - tulisan cakar ayam yang memenuhi hampir seperempat bagian kertas itu. Mataku fokus menelusuri tiap deretan kata- kata.

Sing tek tresnani,
Wendar.

Masio awake dhewe ora iso nyatu saiki. Tapi percoyoo, ing sawijining dino ngarep, aku bakal teko lan jemput awakmu. Aku bakal nepati janjiku. Aku bakal andudohke koe kabebasan sing tenanan. Kabebasan urip dadi lelananging lanang.
Percoyoo, Ndar.
~Bowo~

Yang kusayangi, Wendar.

Meskipun kita tak pernah bisa bersatu saat ini. Tapi percayalah, bahwa suatu saat nanti, aku akan datang menjemputmu. Aku akan menepati semua janjiku. Dan aku akan memperlihatkan kepadamu kebebasan yang sesungguhnya. Kebebasan menjadi seorang lelaki sejati.
~Bowo~

Tiba- tiba saja mataku terasa perih. Dadaku bergemuruh oleh gelombang perasaan yang menghempas seluruh rasa rinduku pada Bowo. Gemetaran tanganku memegang surat itu. Bibirku terisak. Pelan. Nafasku semakin berat.

"Bowo......... Aku merindukanmu........". Bisikku perlahan sembari mengusap linangan air mata yang akhirnya jatuh tak tertahan.

"iya, Wo......Aku bakal nunggu kamu sampai kapan pun, Wo.... Sampai kapanpun.........."
Tangisku pecah diantara alunan seruling yang kian kencang terdengar dari dalam ruang latihan. Bunyi gendang seakan menggedor dan menggebuk- gebuk batinku. Aku ambruk menyandar tembok kayu. Kuremas kertas ditanganku dengan kuat. Aku percaya. Bowo pasti akan membuktikan janjinya padaku. Aku benar- benar percaya.
***
"Uuuuuuukkkkhhhhhh..............hhh"
Bowo kembali merintih sambil mengguling- gulingkan badannya. Mencoba mengusir rasa sakit yang luar biasa. Tangannya kuat mencengkeram perutnya. Badannya terasa lemah. Ia tak punya tenaga sama sekali.

"Ampuni aku Pak Dhe.... Ampuuuuni akuu................".
Bowo melenguh lemah sembari terus memegangi lambungnya. Dari tadi malam sampai sore ini dia belum menelan sebutir nasi pun. Kerongkongannya juga kering karena tak setetes airpun menyiraminya. Ia masih terkunci di kamar ini. Pak Dhe dan teman- temannya belum kembali dari latihan di sanggar. Jam dinding menunjuk angka enam. Langit sudah petang. Perutnya kian meronta dan menjerit. Jika Pak Lek belum pulang juga, mungkin Bowo bisa mati kelaparan.

"Ammm.....puuuunnnn....pakkkk....ddddheeee......".
Tubuh Bowo kembali begrguling diatas amben yang hanya dilapisi tikar anyam. Peluhnya menetes deras di tubuhnya. Badannya mengejang. Tatapannya kabur. Kepalanya pusing. Perutnya kian seperti ditusuk- tusuk pisau. Ia menggigil. Dan kemudian...... Bowo pingsan.
***

"Pak Dhe... Ayo kita pulang..... Kasihan Bowo Pak Dhe... Dia pasti sedang kelaparan sekarang."

Sekali lagi Wawan merengek pada Warok Joyo. Ia ingin cepat segera pulang. Ia kasihan pada Bowo. Pikirannya tak tenang. Jangan- jangan telah terjadi sesuatu pada temannya itu.

"Kamu ini kenapa to, wan... Mbok ya tenang sedikit kenapa? Pak Dhe kan masih pengen ngobrol sama teman- teman Pak Dhe.... Lagian kan masih sore ini."
Warok Joyo tak menghiraukan Wawan sama sekali. Ia tetap sibuk menghisap cerutu dan mengobrol dengan teman- temannya sesama Warok.

"Tapi aku kasihan sama Bowo Pak Dhe... Dia belum makan sampai sore begini... Aku takut dia kenapa- napa...."

tiba- tiba Warok Joyo menatap Wawan tajam. Tatapannya menyiratkan kemarahan.

"Apa kamu mau Pak Dhe kurung kayak Bowo?."

Wawan terdiam. Ia takut dengan ancaman Pak Dhe. "En.... Endak Pak Dhe...."

"Kalau gitu... Tetap disini.... Biarkan Bowo dirumah... Ndak usah mikirin dia....", Pak Dhe Joyo lantas bangkit dan menuju kearah teman- temannya bergerombol dan berkumpul. Kemudian mereka berbincang.

***
Aku mencari- cari ruang latihan. Pelahan kuayunkan kaki menuju ruangan yang besarnya mirip aula kantor desa kami. Aku mau menemui Pak Lek dan mengajaknya pulang. Sudah sore. Aku belum mandi dan makan. Makanya aku ingin segera pulang kerumah.
***
Kakiku terus melangkah. Namun tiba- tiba langkahku terhenti tepat di depan ruang latihan. Aku mendengar suara Pak Lek dan Warok Joyo. Mereka nampak sedang bicara serius. Kulihat sekeliling. Sudah tak ada orang lain yang terlihat disini. Mungkin semuanya sudah pulang kerumah masing- masing. Hanya terlihat beberapa orang yang memang dekat rumahnya dari sini. Mereka sedang duduk- duduk di halaman sanggar dan mengobrol
***
Aku menunduk dibawah jendela. Menempelkan telingaku pada tembok kayu. Berharap aku bisa mendengar perbicangan apa yang terjadi antara Pak Lek Danu dan Warok Joyo. Dan ternyata. Aku berhasil. Samar- samar. Aku bisa mendengar percakapan antara mereka berdua.

"Sepertinya.... Telah terjadi kesalahan antara gemblakku dan Gemblakmu Danu........".
Terdengar suara Warok Joyo yang berat memulai dialog.

"Iya... Aku sudah tahu." timpal Pak Lek.

"Hem.... Kamu tahu kan, ndak seharusnya Bowo itu punya hubungan khusus sama Wendar..... Ndak pantas seorang gemblak mencintai gemblak lain......".

"Iya.... Aku ngerti Joyo... Aku juga ndak suka lho sama hubungan mereka."

"Makanya Danu...... Besok, sehabis pentas Ruwat Nagari... Aku akan langsung memboyong Bowo ke Dolopo.... Kuharap kamu bisa menjaga Wendar....... Dan menghentikan hubungan mereka yang terlarang........".

Kudengar Pak Lek menghela napas sejenak. Kemudian menimpali lagi perkataan Warok Joyo. "Baguslah kalau begitu. Dengan begitu, Wendar dan Bowo ndak bakal punya kesempatan buat berhubungan lagi. Biarkan mereka saling melupakan."

"Iya. Makanya aku juga minta sama kamu. Tolong jangan beri kesempatan buat Wendar mengingat- ingat Bowo... Aku mohon."

"Pasti Joyo... Aku ndak bakal sedikitpun memberi kesempatan buat Wendar menyebut nama Bowo."

lantas mereka berdua tertawa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar