Sabtu, 23 Mei 2015

Lanang Part II



SAYUP-sayup kudengar suara tembang diantara gelap malam. Temaram lampu sentir yang redup menggelogok hatiku dengan suasana syahdu. Aku bangkit dari amben (ranjang) dan melangkah menuju pintu. Aku melongok pintu kayu yang sedikit terbuka. Disana, di kursi depan, Pak Lek Danu menyanyikan bowo Wuyung. Suaranya menggetarkan hati. Aku merinding oleh asap rokonya. Entah kenapa, setiap tarikan suara Pak Lek seolah batang- batang rumput teki yang menggesekkan harmoni keindahan. Syahdu. Tembang- tembang Jawa memang selalu menggetarkan jiwa.

"Koe durung turu to , Ndar?", Pak Lek menoleh kearahku yang terpaku di ambang pintu.

(kamu belum tidur to ndar?).

"De..dereng. Dereng saget tilem Pak Lek".

(Be...belum. Belum bisa tidur pak lek).

"Yawes, mreneo." Pak Lek melambaikan tangannya kearahku.
(yaudah, kesini).

Aku segera berlari kearah Pak Lek, mendekatinya, dan duduk di pangkuannya.

"Aku pengen Pak Lek cerita sama aku. Seperti dulu ketika Pak Lek mendongengkan aku sebelum tidur",ucapku pelan.

"Hemm... Yawes... Pak Lek mau cerita sama kamu. Tapi kamu dengerin ya, jangan tidur...", Pak Lek menowel hidungku gemas. Aku hanya menjerit kecil dan tertawa.

"Kamu pernah dengar asal- usul reog , Ndar?".

"Belum Pak Lek."

"Yaudah dengarkan."
***

"Pada jaman dahulu, di Ponorogo ini, ada sebuah kerajaan, Ndar. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja besar yang bernama Raja Kelono Sewandono. Nah, suatu hari, sang raja menyukai dan ingin mempersunting seorang putri dari kerajaan Kediri. Seorang gadis cantik yang bernama Dewi Ragil Kuning. Ketika Raja Kelono Sewandono dan para pasukannya pergi ke Kediri hendak melamar Ragil Kuning, tiba-tiba tiba mereka dihadang oleh raja Kediri yang tidak setuju Ragil Kuning dipinang oleh Kelono Sewandono. Raja itu, namanya Raja Singo Barong, tak rela, karena sebenarnya dia juga mencintai gadis itu. Akhirnya mereka berdua pun berperang untuk mendapatkan si gadis cantik itu. Raja Kelono dengan pasukannya yang terdiri atas bujang anom dan warok. Sedang Singo Barong dengan pasukannya yang terdiri atas singa, harimau, burung merak dan pasukan berkuda."


"Lalu siapa yang akhirnya menang Pak Lek?", tanyaku penasaran.

"Pada Akhirnya, Raja Kelono Sewandono lah yang menang dan mendapatkan Dewi Ragil Kuning."

"Jadi itu alasannya pada akhir pertunjukan reog, pasti dikisahkan kalau barongan kalah dan jatuh tersungkur?."

"Ya seperti itulah."

"Jadi kalau Wendar nari Jathilan. Wendar itu ibarat pasukannya Singobarong yang gagah perkasa Pak Lek?", tanyaku menggebu.

"Benar le, makanya, kamu harus serius nari jathilannya. Kamu harus jadi lananging lanang Ndar. Kamu harus jadi seperti pasukannya Singo barong yang gagah berani." jelas Pak Lek.

Aku hanya mengangguk. Dan tertidur dalam pangkuan Pak Lek.

AWALNYA, Pak Lek hanya menyelusupkan jemari- jemarinya kedalam lubang bajuku. Namun kemudian, Pak Lek malah memasuk- masukkan yang lain pada lubang yang lain.
***
Malam itu hujan tak henti- hentinya turun dari langit gelap. Aku menatap lampu sentir diatas meja yang tertiup- tiup angin dingin. Cahayanya redup. Temaram. Aku meringkuk didalam kain sarung, menunggu Pak Lek yang belum pulang juga sampai larut begini.

"Pak Lek dimana.... Wendar takut....." bisikku lirih.

Tiba- tiba terdengar suara pintu diketuk. Aku terperanjat. Kemudian terdengar suara khas Pak Lek diantara suara bising air hujan.

"Ndarr.... Kamu belum tidur kan ' le (nak)? Buka pintunya Ndar....".

Aku bangkit dari duduk. Sambil membebatkan kain sarung ditubuhku aku berjalan menuju pintu depan.
Kubuka pintu dan muncullah Pak Lek Danu yang basah kuyup. Aku segera meyuruh Pak Lek masuk.

"Pak Lek saking pundi mawon? Kog ngantos teles kebes ngeten?", ucapku sambil menutup pintu.

(Pak Lek dari mana saja? Kog sampai basah begitu?).

"Pak Lek habis dari sanggar, biasalah, acara syukuran Warok Suro." ucap Pak Lek sambil berjalan masuk kedalam kamar untuk berganti pakaian.

Ah. Aku mencium bau alkohol dari mulut Pak Lek saat ia berbicara. Pasti tadi dia dan teman- temannya pesta angciu waktu di sanggar. Kebiasaan Pak Lek tak pernah berubah. Sementara Pak Lek berganti baju, aku kembali duduk diatas kursi anyam yang terbuat dari rotan.

"Ndar... Koyone (kayaknya) Pak Lek masuk angin iki. Kamu bisa ngerokin Pak Lek kan?".

Terdengar teriakan Pak Lek dari dalam kamar.

"Saget Pak Lek. Sekedap". Jawabku sambil membereskan piring dan gelas bekas makan ku tadi.
(bisa Pak lek, sebentar).
***
Aku berjalan gontai dari dapur menuju ke kamar Pak Lek. Aku bisa mencium bau minyak serimpi menyeruak dari kamarnya. Harum. Tapi juga mistis.
Diatas ranjang, aku melihat Pak Lek telah terbaring tengkurap dengan hanya mengenakan kain sarung. Sesaat mataku tepaku melihat lekukan tubuh indah Pak Lek. Kulitnya sawo matang dan terlihat bersih. Lekukan tubuhnya begitu sempurna, terpahat tanpa celah sedikitpun. Jika ada wanita yang melihatnya telanjang begini. Aku yakin, mereka pasti tergila- gila dengan Pak Lek.

"Nah, kui neng mejo ono lengo gas karo duit satus." ucap Pak Lek memecah lamunanku.
(nah itu di meja ada minyak tanah dan uang seratus).

Segera aku menuju meja. Mengambil sebuah piring kecil berisi minyak tanah dan uang koin seratus rupiah bergambar gunungan. Dan bergegas naik ke ranjang dan uduk di samping Lek.

Perlahan- lahan, kuusapkan minyak tanah kepunggung Pak Lek dan mulai mengeroknya dengan koin seratus rupiah itu. Pak Lek hanya terdiam, tak bergeming. Padahal aku menekan kerokan itu dengan kuat, tapi rasanya itu bukan apa- apa baginya.
Sesaat hanya keheningan yang melingkupi kami berdua. Hanya ada suara gemerisik air hujan yang tak kunjung reda. Dan suara desah nafas kami berdua.
Sesekali kupandangi wajah Pak Lek dari belakang. Entah kenapa aku jadi suka mencuri pandang kearahnya. Wajahnya yang tampan dan perkasa tampak kuyu. Begitu pula kumis tebal yang bertengger diatas bibir nya. Kurasa aku mulai menyayangi Pak Lek seperti aku menyayangi ayahku sendiri. Ya, aku menyayanginya sebagai seorang ayah. Tak lebih. Untuk saat ini.

"Sampun Pak Lek." (sudah pak lek)

Ucapku begitu menyelesaikan kerokan terakhir pada punggung Pak Lek Danu. Sekarang, di punggungnya nampak garis- garis bekas kerokan yang merah.

Pak Lek lantas membalikkan badan dan melihat aku yang sedang menguap- nguap. Aku terkantuk- kantuk.

"Kamu sudah ngantuk to, Ndar?".

"Injih, Pak Lek," jawabku sambil mengucek kedua mataku yang lengket.

"Yawes mrene, bobo ning andinge Pak Lek", katanya sambil menepuk- nepuk tikar disebelahnya.

Aku pun segera mendekat kesamping Pak Lek, merebahkan tubuhku yang remuk, dan menyingkapkan kain sarung agar menutupi tubuhku. Aku berbalik memiringkan tubuhku, membelakangi Pak Lek Danu.
***
Perlahan namun pasti, kurapatkan kedua mataku yang terasa kian lengket. Secepatnya aku harus segera tidur, karena besok aku harus ke sanggar lagi, latihan menari dan nembang.

Tapi tiba- tiba Pak Lek memelukku dari belakang. Aku terdiam. Tubuhnya yang bertelanjang dada kini rapat dengan tubuhku. Kurasakan ia menggigil, mungkin karena efek hujan yang perlahan merangsek dinding bambu dan menerobos kamar Pak Lek. Aku tetap diam, tanpa membalikkan wajahku.

Semakin lama, pelukan Pak Lek kian erat. Aku nyaris tak bisa bernafas. Ia posisikan bantalnya agar sejajar dengan bantalku. Kini, wajahnya tepat berada di belakang kepalaku. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat menerpa rambutku.
***
Awalnya, Pak lek hanya menyelusupkan jemari- jemarinya kedalam lubang bajuku. Tapi kemudian, ia mulai memasukkan yang lain pada lubang yang lain. Tangannya perlahan menyusup kedalam bajuku, mengelus dada dan tubuh bagian atasku. Aku tertegun. Tak bisa berkata. Namun kemudian, tangan Pak Lek berhenti pada putingku yang mungil. Tanpa menyibak bajuku, ia meraba dan memelintir puting susuku dengan lembut. Aku hanya memejamkan mata. Aku ketakutan, tak berani menolak.

"Pakk.... Pak Lek mau... Ngapaaiinn.....??", ucapku pelan karena ketakutan. Aku coba geser tubuhku menjauh. Namun tangan Pak Lek tetap tak berhenti mengerjai tubuhku.

"Ssssshhttt.... Kamu tenang saja ,Ndar, Pak Lek ndak bakal ngapa- ngapain kamu", jawab Pak Lek tak kalah pelan, sementara tubuhnya semakin melekat padaku. Pak Lek juga mulai menggesek- gesekkan kelaminnya yang terbebat sarung tipis ke pantatku.

Aku kian ketakutan. Aku tahu. Entah apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa diam dan menutup mata. Aku tak mau Pak Lek marah. Aku tak mau... Aku tak mauu...

***
Dan aku merasakan Pak Lek mulai membuka gulungan sarung diperutnya. Dilonggarkannya sarung itu dan dipelorotkannya. Pak Lek sekarang benar- bemar telanjang tanpa sehelai kain pun.

Ia lekatkan selangkangannya ke pantatku. Ia gesek perlahan dan menekan- nekannya kearahku. Kurasakan ada sesuatu yang keras diantara selangkannya. Itu penis Pak Lek yang sudah mengeras.
***
Lalu tangan Pak Lek mulai turun dari dadaku. Menuju perut, mengelusnya sebentar dan turun lagi hingga menemukan kait celana pendekku. Dengan lembut dibukanya kait tersebut hingga terlepas. Dan Pak Lek memelorotkan celana dan celana dalamku... Aku menjerit dalam hati, Ya Tuhan! Apa yang akan Pak Lek lakukan padaku....???

Begitu berhasil memelorotkan celanaku, Pak Lek menarikku kearahnya. Bongkahan pantatku menempel pada selangkangannya. Sementara penisnya yang mengeras mengobok- obok garis pantatku.
***
Pelan, Pak Lek mulai mengelus- eluskan batangnya pada garis pantatku. Penisnya kian mengeras. Sementara aku, kian bergetar ketakutan. Kedua tangannya naik lagi. Menyelusup kedalam bajuku dan kembali menjamah setiap senti dadaku. Aku menggelinjang. Tangannya terus memelintir dan mencubit kedua putingku, sementara kemaluannya dengan liar terus berserobok mencari- cari lubang anusku.

"Aakkkhhhhh........!!!", aku setengah menjerit saat merasakan kepala penis Pak Lek menjebol bibir anusku. Tanpa pelicin, ia terus mendesakkan batang kudanya memasuki lubangku. Aku meringis, rasanya perih bukan main
Ia terus menekan- nekannya hingga.....blesss.... Semua batang panjangnya terbenam kedalam tubuhku.

"Aaaakkkhhhhh.......hhhh..hhh....", Kudengar Pak Lek melenguh. Pelan, namun kencang membisiki telingaku. Nafasnya kian memburu. Dan dengan cepat, ia terkam leher belakangku. Lidahnya yang basah menyapu tengkuk ku dengan ganas. Aku gelimpangan. Rasanya geli. Namun nikmat.
***
Tanpa aba- aba Pak Lek segera menggerakkan pinggulnya maju dan mundur. Awalnya pelan. Namun kian lama makin kencang.

"Uuuhhh.... Akkkkkhhhh..... Sss...sssaaaa....kittt...Pak...lekkk...". Aku mengerang setiap batang Pak Lek bergesekan dengan bibir pantatku. Rasanya pedih sekali. Sakit sekali.

........ Dan Pak Lek kian mempercepat gerakannya. Penisnya kian cepat membobolku. Selangkangannya kian keras menghantam bongkahan pantatku. Hingga menimbulkan suara yang membangkitkan gairah.... Semakin cepat... Semakin panas.... Semakin liar dan akhirnyaa.........

"AUUKKKKHHHHHH.....ARRRRRGGGHHHHHH......OOOOOHHHHHHH.....HHHHHHHHHHHHHHHH.......".

Pak Lek melenguh panjang sambil menempelkan tubuhnya ke tubuhku dengan erat. Tangannya menarik putingku dengan kencang. Sebentar ia mengejang. Menggelinjang, dan mengerang.....

Hingga akhirnya kurasakan cairan hangat meleleh diantara belahan pantatku bersamaan kemaluan Pak Lek yang menyembul keluar.

"KENAPA PAK LEK TEGA MELAKUKAN ITU????? KENAPAA????".

AKU terus memaki- maki Pak Lek. Aku mencakar- cakar tubuhnya dan memukul- mukul dadanya. Aku emosi. Benar- benar emosi. Tak kusangka Pak Lek yang kuanggap sebagai ayahku sendiri tega melakukannya. Ia telah tega melecehkanku dan merampas harga diriku sebagai seorang lelaki. Aku tak pernah menyangka Pak Lek akan menyetubuhiku. Aku tak mengiranya sama sekali.

"JARENE PAK LEK SAYANG KARO WENDAR... TAPI ENDI BUKTINE????
... PAK LEK A**....... AKU PEGEL KARO PAK LEK!!".

(katanya pak lek sayang sama wendar, tapi mana buktinya??? Pak lek anj***..... Aku benci sama pak lek!!!!)

Aku terus meraung- raung sambil mengarahkan kepalan tinjuku ke tubuh Pak Lek. Namun sia- sia. Tenagaku tak seberapa baginya, hingga tinjuanku memantul, dan malah aku yang roboh. Aku tersungkur sambil terus menangis. Gigiku gemeratak oleh kemarahan.

"Maafin Pak Lek Ndar....... Pak Lek harusnya bisa menahan nafsu Pak Lek..... Harusnya Pak Lek ndak melakukannya pada kamu..... Maafin Pak Lek Ndar.........".

Pak Lek berdiri di hadapanku dengan wajah menunduk. Tubuhnya berguncang, ia sesenggukan.

"Tolong maafin Pak Lek.... Kamu boleh apain Pak Lek.... Kamu boleh tendang Pak Lek... Kamu juga boleh pukul Pak Lek.... Tapi tolong.... Maafin Pak Lek....". Tiba-tiba tubuhnya roboh. Ia kini bertekuk lutut dihadapanku. Wajahnya merah seakan dipenuhi rasa sesal yang menggunung. Ia mendekatiku, dan kemudian memelukku.
***
"LEPASKAAANN.... JANGAN SENTUH WENDAR........!!!!!!!".

SEGERA kulepaskan pelukan Pak Lek dari tubuhku. Aku benar- benar jijik pada Pak Lek. Seakan- akan Pak lek adalah penyebar virus mematikan. Aku tak mau dipeluk atau disentuh oleh Pak Lek lagi. Aku sudah trauma. Kini rasa sayangku pada nya telah menguap dan terkikis habis. Hanya ada rasa benci.
***
Aku lantas bangkit, mengerahkan sisa- sisa tenagaku yang tinggal separuh. Kulangkahkan kakiku pergi meninggalkan Pak Lek. Aku ingin pergi. Tak tahu kemana. Entahlah. Yang pasti tempat yang jauh dari rumah ini. Aku tak ingin melihat Pak Lek lagi.

"Ndaaaarrr.... Koe arep neng ngendi????", teriak Pak Lek.

(ndarr... Kamu mau kemana).
......namun tak ku hiraukan sedikitpun.

KEDUA kaki mungilku terus mengayun tanpa arah. Kerikil- kerikil kecil dan tanah yang basah oleh hujan semalam langsung menyapa telapak kakiku yang telanjang. Sendal jepitku putus, kubuang entah kemana.

"Pak Lek jahat.....".

Gumamku perlahan sambil mengusap lelehan keringat dan air mata. Aku terus berlari. Tak tau hendak kemana. Yang pasti jauh dari rumah, jauh dari Pak Lek. Meskipun harus pergi keluar kampung pun, aku berani. Emosi dan rasa benciku telah mengalahkan segala. Tapi tiba-tiba aku linglung. Langkahku perlahan melemah, dan ambruk ke tanah.
***
"Ah Ndar... Kamu sudah siuman le....".

Pelan- pelan kubuka kedua mataku. Berat. Namun akhirnya aku bisa membukanya. Dan kurasakan kepala bagian belakang ku amat sangat nyeri. Aku celingukan melihat sekeliling dan kutemukan Mas Narno sedang duduk disampingku.

"A... Aku dimana mas?", tanyaku dengan suara lemah.

"Kamu ada di sanggar, Ndar. Tadi ada anak lelaki yang mengantarmu kesini. Katanya dia nemuin kamu pingsan di jalan dekat kampung sebelah. Kamu mau kemana to, Ndar kog sampe nyasar kesana?".

"A... Anak lelaki?", ucapku sembari mengangkat kedua alisku.

"Iya... Dia masih nunggu di luar kog, mau mas panggilin?". Mas Narno segera bangkit dari duduknya dan bergegas keluar kamar. Namun tiba- tiba.....

"Mas......"

Mas Narno berhenti dan menoleh kepadaku.

"Jangan kasih tahu Pak Lek ya kalau aku disini."

Mas Narno mengernyit.
"Memangnya kenapa?"

"Pokoknya jangan kasih tahu Pak Lek." ucapku sambil menunduk.

"Iya sudah.... Mas ndak bakal bilang kog sama Pak Lek mu." jawab Mas Narno sambil lalu. Dia segera keluar kamar.

Sesaat terdengar suara Mas Narno memanggil seseorang. Mereka bercakap- cakap sebentar dan kemudian kudengar ia menyuruh seseorang tersebut untuk masuk kedalam kamar dan menemuiku.........
***
Krieeett........
Pintu berderit perlahan dan terbuka. Aku melongok, mencoba melihat siapa yang muncul dari balik pintu. Dan kemudian, muncullah seorang anak lelaki berwajah tampan. Kutaksir umurnya delapan belas tahun. Setahun lebih muda dari Mas Narno. Kuperhatikan tubuhnya yang kokoh. Ia tampan. Benar- benar tampan. Kulitnya putih tanpa bercak sedikitpun. Dan tampak mulus dan bersih.

"Syukur kowe wes sadar, aku wedi nek koe gak sadar- sadar. Wedi koe nyapo- nyapo." si bocah berjalan mendekatiku yang masih terbaring diatas amben.

(syukurlah kamu sudah sadar. Aku takut kalo kamu gak sadar2, takut kamu kenapa- napa).

"Heheh", aku tertawa kecil. "Suwun ya uwis nolong aku."

(terima kasih ya udah nolong aku).

"Podo- podo". (sama- sama).

Sesaat kami berdua tertawa- tawa dan mengobrol. Aneh memang. Aku tak pernah mengenalnya sebelumnya. Tapi tiba- tiba saja kami berdua akrab dan cepat menyatu. Ia tak pernah berhenti membuatku tertawa oleh celotehan- celotehannya. Dan ia..... Tak pernah gagal membuatku terpesona oleh parasnya yang sempurna.... Ah.... Aneh... Apakah aku menyukainya???? Gila.... Jika iya.... Berarti aku sudah benar- benar gila.

"Sopo jenengmu?", ia memecah tawa kami. Menatap lurus ke arahku sembari mengulurkan tangan,

(siapa namamu?)

"Wendar.... Kamu?", jawabku membalas jabataya.

"Prabowo.... Panggil saja Bowo."

"Jadi kenapa kamu bisa sampai nyasar ke kampung sebelah dan pingsan ditengah jalan begitu?".

Bowo masih menatap tajam ke arahku. Berusaha mengorek informasi detail tentang kejadian memalukan itu. Ya, buatku itu sangat memalukan. Aku nyasar di kampung yang tak pernah kudatangi sekalipun, dan malah pingsan di tengah jalan. Untung saja ia segera menemukanku dan membawaku ke sanggar.

"Ceritanya panjang." jawabku singkat. "Tapi omong- omong, dari mana kau dapat inisiatif untuk membawaku ke sanggar ini. Apa kau kenal Mas Narno?".

Bowo menggaruk- garuk kepalanya sebentar. Seakan akan memikirkan sesuatu. Kemudian ia berbalik menatapku kembali.

"Aku tak kenal Mas Narno atau siapapun di sanggar ini."

"Terus?".

"Aku sering lihat kamu lathian nari Jathilan disini. Setiap aku pulang sekolah, aku selalu lewat sini dan aku lihat kamu. Aku memperhatikanmu."

Aku terdiam mendengar kata- katanya.

"Jadi kubawa saja kamu kesini. Aku kan ndak mungkin bawa kamu ke rumahmu. Iso di gandring aku karo pak lan mbok ku, hehehehe....(bisa dihajar habis- habisan aku sama ayah ibuku). Nanti dikira aku nyulik anake uwong (anak orang)."

Aku ikut tertawa melihat senyumnya. Aneh. Ia seakan menggerakkan seluruh anggota tubuhku. Ketika ia tertawa, entah kenapa aku juga ikut tertawa. Dan ketika ia serius, entah kenapa aku juga ikut serius. Ah... Ini gila......

"Jadi kenapa koe (kamu) sampai pingsan ditengah jalan begitu?". Tanya Bowo. Rupanya dia masih penasaran dengan kronologis kejadian menyebalkan itu.

Aku menghela napas sebentar.
"Sebenernya........aku...........".

KRIEEETTTTT......!!!
Tiba- tiba pintu kamar terbuka dan Mas Narno muncul dari balik pintu. Ia berjalan mendekati kami dan berpaling menghadap Bowo.

"Bowo... Kamu dicariin Pak Joyo tuh, disuruh cepet pulang katane....sudah ditunggu di depan lho ", kata Mas Narno pelan sambil menunjuk keluar.

"Oh... Injih Mas. Nggih mpun, kula wangsul riyin nggih?". Bowo lantas segera bangkit dan berpamitan kepadaku.

(oh, iya mas. Yaudah aku pulang duluan ya?).

"Ati- ati ya, Wo." ucapku.

"Iya... Cepet sembuh ya, Ndar?".

"Iya, suwun." (terima kasih).

Bowo kemudian beranjak keluar kamar dan segera menuju ke halaman depan. Setelah langkah kakinya tak terdengar lagi, aku segera berbalik ke Mas Narno.

"Mas Narno kenal sama Bowo?", tanyaku penasaran. Kulihat Mas Narno menatapku aneh.

"Ya jelas kenal lah, Ndar. Dia kan kadang juga suka ikut latihan nari sama nembang disini. Kamu nya aja yang nggak pernah ngelihat dia."

Ah, rupanya Bowo bohong padaku soal melihatku setiap ia pulang sekolah.

"Ja... Jadi Bowo itu..."

"Iya, Ndar. Dia juga seorang Gemblak... Sama kayak kita.... Dia gemblaknya Warok Joyo yang mimpin kelompok reog di Ngaseman."

(PITU)
PAK LEK SAYANG KAMU, NDAR...

"AYO to Ndar...... Tolong maafin Pak Lek..... Sudahlah, mbok jangan marah marah begitu.......".

Sekali lagi Pak Lek merengek padaku. Namun tak kuhiraukan sama sekali. Aku masih marah padanya. Masalah hilangnya 'kelelakian' ku bukanlah masalah sepele. Jadi tak semudah itu kumaafkan Pak Lek.

"Ndar.... Pak Lek mohon....."

Tapi aku tetap tak bergeming. Diam. Kulihat ia mulai menyerah. Ia tak berhasil melelehkan batu keras di dalam hatiku.

"Yaudah Ndar kalau kamu ndak mau maafin Pak Lek.... Ndak ada gunanya Pak Lek terus merengek- rengek sama kamu...."

Aku masih saja diam. Ia kemudian bangkit.

"Yang penting Pak Lek udah sungguh - sungguh minta maaf sama kamu......"

Pak Lek mulai melangkah pergi dariku.
"Pak Lek melakukan itu karena Pak Lek sayang sama kamu, Ndar... Ndak lebih...."

Deggg!!!
Tiba- tiba saja jantungku berdegup mendengar perkataan terakhir Pak Lek. Tiba-tiba tubuhku mendadak lemas. Kaki dan tanganku gemetaran. Gigiku bergemeratak. Benarkah Pak Lek melakukan itu karena dia menyayangiku???? Aku tiba- tiba dirundung keraguan. Tapi kalau Pak Lek menyayangiku..... Pasti dia takkan tega melakukannya padaku. Ahhh! Aku kian bingung. Kugusak kepalaku untuk menghilangkan sedikit kebingungan.
***
Tep. Tep. Tep.
Suara langkah kaki yang beradu dengan lantai kayu membuyarkan lamunanku. Aku mendongak. Rupanya Mas Narno. Dia berjalan mendekatiku yang masih duduk di ranjang sanggar ini.

"Pokoknya aku ndak gelem (mau) pulang ke rumah Pak Lek."
ucapku sebelum Mas Narno sempat berkata. Aku tahu pasti dia ingin membujukku agar memaafkan Pak Lek dan mau pulang ke rumah Pak Lek. Tapi aku tetap bersikukuh. Aku tidak akan pulang kerumah Pak Lek.

"Sebenarnya kamu itu kenapa to sampai segitu marahnya sama Pak Lek Danu?".

Aku hanya terdiam. Menatapnya. Kemudian dengan pelan, mulai berkata.

"Karena dia telah merebut kesejatian ku sebagai lelaki Mas... Pak Lek sudah menggagahiku... Pak Lek sudah melecehkan ku..... Sekarang aku sudah ndak pantas lagi disebut sebagai lelaki.......", ucapku setengah amarah.

Sesaat Mas Narno tersenyum padaku. Tangannya meraih jemariku dan digenggamnya.

"Ndar.... Kamu tahu ndak. Sejatine wong lanang iku dudu uwong kang iso bebas amratelak ne kabebasane. Ananging sejatine wong lanang iku, yaiku uwong kang iso tabah lan kuat anjalani opo sing wis dadi tekdire tanpo luh satitiko."

(lelaki sejati itu bukanlah lelaki yang bisa dengan bebas menggembar- gemborkan kelelakiannya. Tapi lelaki sejati itu, adalah orang yang bisa kuat dan tabah menjalani takdirnya tanpa mengeluh sedikitpun).

Aku terpaku mendengar penjelasan Mas Narno.

Mas Narno kemudian duduk disampingku. Perlahan dielusnya kepalaku seakan aku ini adiknya. Aku mendadak tenang.

"Kamu jangan pernah sekalipun berpikir kalau kamu jadi gemblak, maka kamu akan kehilangan harga dirimu sebagai lelaki, Ndar. Justru ketika kamu jadi gemblak, kamu harus membuktikan pada dirimu sendiri kalau kamu itu lelaki. Kamu pasti bisa menjalani takdir tanpa nangis dan mengeluh".

"Tapi Mas....."

"Tapi opo, Ndar?", Mas Narno menoleh kearahku.

"Tapi kenapa Pak Lek Melakukannya padaku? Aku laki- laki, dan Pak Lek juga laki- laki. Kenapa Pak Lek ndak mencari wanita lain? Pak Lek kan tampan."

Mas Narno hanya tersenyum simpul mendengar perkataan ku. Ia menghela napas sebentar, dan menghembuskannya perlahan.

"Ndar.."

"Dalem Mas". (iya mas).

"Kamu pernah lihat Pak Lek jalan sama wanita? Dan apakah kamu juga pernah lihat Pak Lek membawa seorang wanita?".

Aku menggeleng. "Ndak pernah Mas."

"Ketika seseorang berikrar menjadi seorang warok, maka dia harus siap dengan tiga pantangan ,Ndar.."

Aku mengernyit. "Pantangan?".

"Seorang warok itu dilarang melakukan tiga perbuatan agar dia tetap bisa menjaga kekuatan dan keperkasaannya sebagai warok."

Aku terdiam.

"Mereka dilarang melakukan perbuatan maksiat, bermabuk- mabukkan, dan berhubungan dengan wanita."

"Lalu...?"

"Karena itulah Pak Lek mu ndak pernah mau menyentuh wanita sedikitpun. Dia bahkan belum punya istri , padahal dia sudah hampir empat puluhan."

"Tapi Mas, aku tetap ndak bisa menerima kalau Pak Lek menyetubuhi lelaki."

Mas Narno kembali tersenyum. Aku penasaran.

"Ndar. Manusia itu ndak selamanya bisa menahan nafsu. Sekuat apapun seseorang menahan hasratnya, maka suatu saat ia akan tiba di suatu batas dimana dia tak bisa lagi menahannya."

Mas Narno menerawang sembari bercerita. Seakan ia tengah memutar kembali memori- memori dalam pikirannya yang telah lama teronggok.

"Dan yang dimiliki seorang warok hanyalah gemblak. Maka kepada siapa lagi mereka akan berlabuh kalau tidak sama gemblaknya..."

"Mas... Aku......"

"Sudahlah, Ndar. Jika Pak Lek memintamu untuk bersetubuh, anggap saja itu merupakan bagian dari pengabdian dari kita sebagai gemblak. Jangan sampai kita dianggap durhaka. Kita tahu seperti apa pengorbanan seorang warok untuk merawat kita. Mereka merawat kita. Memberi makan yang enak- enak kepada kita, memberikan kita pakaian yang bagus- bagus. Dan mereka menyekolahkan kita."

Kepalaku tertunduk. Aku tak bisa berkata apa- apa. Ucapan Mas Narno seakan mengelupas seluruh sisik kemunafikan dalam hatiku. Aku paham. Aku mengerti. Aku tak pernah bisa lari dari hal seperti ini. Karena itu merupakan bagian dari pengabdianku sebagai gemblak.

"Mas Narno...." Aku tiba- tiba menoleh kearah lelaki tampan itu.

"Ya , Ndar..."

"Pak Lek mana, aku mau minta maaf sama Pak Lek."

Mas Narno tersenyum. Menampakan deretan gigi putihnya. Tangannya menggusak rambutku.

"Pak Lek mu masih diluar tuh, dia nungguin terus. Katanya ndak mau pulang sampai kamu maafin dia."

Aku segera bangkit dari amben. Melangkahkan kakiku dengan cepat menuju Pak Lek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar