Sabtu, 23 Mei 2015

My First Kiss Part II

BAD FEELING (I HATE MONDAY)

Aku tak pernah suka hari senin. Sangat sangat tidak suka.

Lagi, aku bangun kesiangan setelah subuh tadi. Emak sudah cerewet dari pagi sekali. Dengan keempat anaknya yang semuanya telah sekolah, dan satu lagi masih kecil, juga suami yang harus diurus membuat pagi hari senin sampai sabtu selalu saja ribut tak terkendali.

Tapi emak adalah wanita tangguh. Seluruh sarapan telah tersedia. Teh manis hangat telah tertata. Emak terdengar bertanya jika tak ingin dibilang memerintah. Mana baju seragamnya? Sekarang hari apa? Pakai apa? Semua anaknya yang mendengarnya segera menuju lemari dan mengambil seragam masing-masing. Kecuali aku.

Karena aku telat bangun. Selalu begitu. Emak sepertinya menyerah dengan kebiasaanku yang sulit kuubah itu. Tapi dia tak putus asa mencoba berbagai cara membangunkan aku dipagi hari. Mulai dari teriak kencang ditelingaku, mengguncang-guncangkan tubuhku hingga akhirnya menyiram mukaku dengan air. Untuk yang terakhir itu, aku menyerah. Aku kalah.

Aku segera menuju kamar mandi dengan santai. Karena aku tahu kamar mandi hanya akan tersedia untuk aku seorang. Yang lain telah rapih dan memulai acara makannya. Kecuali aku.

Aku terkenal lama jika sudah menyangkut acara mandi. Bukan apa-apa. Aku akan sejenak melanjutkan tidur. Menunggu ‘tabungan’ untuk segera disetorkan. Baru aku mulai mandi. Jika belum setoran, seperti ada yang kurang dalam pagi hariku.

Hari ini hari senin. Dan seperti kubilang diawal. I hate Monday. Sangat sangat tidak suka. Karena itu tidak kupercepat mandiku. Tapi hari ini upacara bendera. Aku tak mau dihukum berdiri dihadapan seluruh sekolah. Dengan terpaksa acara mandi kuperpecat dengan gerakan super kilat. Aku hanya perlu menggosok gigi dan jebar jebur alakadarnya. Selesai.

Kunikmati sarapan nasi udukku secepat yang bisa kukunyah. Agak kelewat cepat sebenarnya. Tapi aku memang doyan sekali makan. Dan sangat doyan sekali dengan nasi uduk. Jadi jangan heran jika makanku kilat.

Upacara bendera setiap senin inilah alasanku benci dengan hari ini. Aku benci selalu berdiri di barisan paling depan karena aku paling kecil dan paling pendek. Heran. Padahal makanku banyak, tapi tinggiku tak juga beranjak merangkak tinggi tegak. Tapi tidak. Tinggiku bahkan sepertinya tak berubah sejak kelas 4 dulu.

Aku benci berdiri dibarisan paling depan karena tidak bisa bercanda dengan yang lainnya. Aku selalu mendengar sekilas suara teman-teman dibelakang yang bercanda berbisik-bisik. Membuat iri. Sedang aku berdiri kaku dihadapan guru-guru. Karena berdiriku paling depan itu.

Oh satu lagi alasan kenapa aku membenci hari senin ini. Karena tadi ketika aku berangkat sekolah aku melihat pohon jambu biji bersejarah itu telah ditebang dan dicabut sampai keakar-akarnya. Sudah jelas kan sekarang kenapa aku benci hari ini?

Aku sempat berbalik dan bertanya pada emakku dan mengapa pohon itu ditebang. Emak menjawab. Pemiliknya akan membangun pagar disekeliling rumahnya. Batasnya adalah pohon jambu biji itu. Emak menambahkan agar tidak ada lagi anak yang memanjat-manjat pohon jambu mereka.

Pohon jambu air itu masih utuh karena letaknya agak menjorok ke dalam. Namun sayangnya Pohon jambu biji bersejarah ‘milikku’ tak lagi berdiri disana. Seolah memori ciuman pertama lenyap seketika dan terkubur terbuang sia-sia.
Hatiku tidak tenang hari itu.. Seolah aku bisa merasakan dengan tertebangnya ‘sejarahku’, akan lenyap pula kisah antaraku dengan Dwi. Entahlah. Tapi Feelingku kuat sekali akan hal itu.

Berbicara tentang feeling. Sejak kecil aku sudah memiliki firasat yang kuat. Orang-orang dewasa berebut berharap agar aku berada didekat mereka. Apalagi niat mereka jika bukan untuk memanfaatkanku.

Di daerahku dulu masih ada judi semacam togel. Banyak orang yang masih memasangnya. Dan orang-orang dewasa ini akan datang kepadaku dan mengiming-imingiku berbagai hal. Kadang makanan, tak jarang es krim, ada juga mainan atau memberikanku uang jajan yang kusambut dengan riang.

Umurku 4 tahun waktu itu. Dan mereka selalu bertanya nomor-nomor padaku. Aku tahu tentang angka. Aku sudah hapal itu semua bahkan sebelum aku sekolah. Aku tahu mana itu angka 2, juga beda antara angka 6 dan 9.

Jadi ketika mereka memintaku menyebutkan nomor-nomor kombinasi untuk mereka, ku jawab saja asal sebut angka yang tahu. Tak jarang mereka menulis dikertas dan kucoret. Seperti memeriksa ulangan. Padahal aku belum begitu bisa menulis. Tulisanku masih bergetar dan sangat jauh dari kata rapih. Tapi aku coret saja nomor yang menurutku tidak benar. Entahlah aku melakukan semua itu otomatis saja. tidak kuniatkan bahkan tidak kupikirkan. Seperti tadi kubilang, asal jeplak saja.

Tapi mereka percaya. Dan herannya, angka-angka kombinasi yang kusebutkan selalu berhasil tembus adanya. Mereka senang, aku lebih senang. Karena dengan begitu aku selalu kenyang dan memiliki mainan-mainan. Walau lebih sering makanan yang kudapatkan.

Tapi itu dulu. Sekarang? Sepertinya sudah tidak begitu. Feelingku luntur seiring bertambahnya waktu dan semakin dewasanya aku. Mungkin juga karena kuantitas dosaku juga kian bertumbuh. Entahlah.

Kembali kefirasat tentang pohon bersejarahku. Aku jelas dan kuat sekali merasakan firasat jelek untuk hubungan pertemananku dengan Dwi. Entahlah. Mudah-mudahan saja tidak demikian adanya. Pikiran itu segera terlupa dengan hobiku yang gemar sekali bermain.

Senangnya ketika waktu kecil yang selalu kurindukan adalah, betapa mudahnya kita bisa melupakan masalah yang mengganggu pikiran. Semakin bertambah usia, semakin dewasa kita, masalah yang ada akan selalu membayangi dan sulit tuk sirna begitu saja.

Selama beberapa hari ini aku tidak melihat Dwi. Dia hanya terlihat sekali mendatangiku keesokan harinya ketika aku sedang main diluar rumah. Waktu itu aku sedang main ciplek gunung di depan rumah. Dia mendatangiku yang sedang bermain. Aku senang melihatnya. Dengan senyum terkembang aku menyambutnya dan senyumnya menjawab senyumanku. Jadilah kami senyum-senyuman tidak jelas sekarang.

“Ciiee.. ciieee.. yang lagi senyum-senyuman beduaa..” celetuk satu anak bercanda.

Aku tahu itu candaan. Karena dulu ketika aku kecil, kami selalu menganggap orang besar (dewasa) berdua-duaan kami akan meneriakinya ‘pacaran nih yee’ berulang-ulang. Pun begitu jika ada diantara kami yang terlalu dekat. Bukan bermaksud mengolok-olok, sama sekali tanpa maksud itu sama sekali. Hanya candaan anak kecil. Tapi mungkin dari sini lah segalanya berawal. Di hari senin ini.

Harusnya aku membuat daftar ‘Ten things why i hate Monday’ waktu itu. jika begitu aku tak usah repot-repot mengetik ini dan memfotonya untuk kalian. Iya kalian. Kalian yang sedang membaca cerita ini. Agar kalian tahu, agar kalian paham. (Sial. Aku mengetik ini dihari senin pula. Fix. Lengkap sudah!).

Dwi mendekat dan mulai berbincang denganku. Karena bukan giliranku untuk main. Dia terlihat memperhatikan dua jahitan dialisku. Dia terlihat mengulurkan tangan yang lalu dibatalkannya. Nyaris aku terkesiap tapi tidak. Batal. Karena Dwi tidak jadi menyentuhku. Apakah aku mengharapkan sentuhan itu?

“Ciieeee.. yang mesra.. ciiee ciiee..” Celetuk anak yang lain lagi.

Kemudian dari jauh kulihat gadis itu. Gadis yang waktu itu hampir membuat Dwi dan aku bertengkar. Well, memang bukan salah dia. Tapi jika dia tidak kecentilan didekat Dwi, semua itu tidak akan terjadi. Cuaca siang ini mendadak menyengat.. #Panas #Kipaskipas.

“Nah pacar yang asli udah dateng tuh jemput mas Dwi.. ihihihi.. Ciieee..” Lagi, celetukan-celetukan itu. Hufth.

Dwi melirik kearah si pembicara tadi menaruh pandang. Mukanya mendadak keruh. Namun wajahnya sedikit dibuat biasa saja. Tapi aku terlanjur melihatnya.

“Dwi, kamu udah ngerjain soal-soal try-out dari guru? Kerjain bareng yuk? Aku sebagian besar udah selesai..” Kata gadis itu setelah dia mendekat dengan kami. Senyumnya terlihat puas sekali. Seolah telah dia menangkan hati si Dwi. Hujan mana sih hujan.. Sumpah deh ini gerah..

Aku beranjak. Karena sudah giliranku main. Dengan cepat aku berlalu dari mereka berdua. Sedikit kesal? Aku juga tak tahu. Tapi aku hanya ingin cepat-cepat main saja. fokusku kuat sekali ketika main. Sehingga giliranku lama sekali. Hingga aku mendapat bintang dalam sekali giliran. Dan giliranku pun usai.
Aku melirik Dwi yang masih disana. Ditemani gadis yang aku lupa(kan) namanya itu.

“Rei hebat. Jago juga mainnya..” Dwi memujiku hatiku ringan lagi.

Gadis itu menghampiri. Tiba-tiba kok mendung datang melanda hati?

“Rei, aku pergi dulu ya. Mau belajar bareng nih..” Gadis itu senyum. Dwi senyum alakadarnya. Aku ikut senyum tapi hampa.

“Ehem ehem.. udah. Tinggal aj si Rei mah.. cantikan juga si eneng manis daripada si Rei.. hehee..” goda anak yang entah siapa (maaf untuk anak-anak selain Dwi namanya terlupakan #Halah).

“Aku emang ga cantik bego. Aku kan cowok” sewotku.

“Lagian. Lo bedua Dwi mesra banget. Kayak orang pacaran” Goda anak yang lain menimpali.

“Apakah udin!” semprotku. Dwi mendelik. Gadis itu menatap penuh selidik. Nafasku sedikit tercekik.

“Ya udah. Aku duluan ya Rei.. yuk ah semua” Dwi pamit dan dengan cepat dia berlalu dengan gadis itu. Gadis-yang-aku-lupa(kan)-namanya-itu.

Sejak hari itu, dengan segala celoteh candaan itu, Dwi terlihat menghindariku. Maksudku aku merasa sepertinya Dwi sengaja menghindariku. Karena sudah beberapa hari ini aku tidak melihat dirinya.

Dengan itu aku tegaskan sekarang. Kalian sekarang pasti sudah benar-benar jelas dan paham kenapa aku benci hari senin bukan? Tingkah Dwi sejak hari senin itu, dengan candaan-candaan itu, juga dengan gadis-yang-kulupa(kan)-namanya-itu. Hufth.. Dan tak kalah pentingnya, tentang pohon bersejarahku.. yang tumbang, hilang, dicabut terbuang. Seolah memori ciuman pertamaku lenyap tak berbekas membuat hati kebas.

Aku benci hari senin. Sangat sangat benci. Ada satu lagi alasan tapi itu nanti di chapter yang akan kujelaskan sendiri. Karena ada jeda waktu diantara ini dan itu. The main point is.. I really, really do Hate Monday!

***

THE SUNATAN (PART II)

Dwi memang sepertinya menghindar sejak saat itu. Beberapa kali kami sempat bertemu namun kedekatan yang dulu terjalin seolah menguap entah kemana. Ketika bertemu pun kami saling bertegur sapa biasa saja. Waktu bermain bersama juga tak ada beda. Semua hambar. Semua tak terasa. Walau ingatan tentang kami berdua di Pohon Jambu itu masih terus melekat dan selalu kugenggam erat.

Anehnya dengan sikap Dwi yang seperti acuh tak acuh itu aku biasa saja, walau rindu kadang menyapa. Mungkin karena umurku juga masih muda, jadi tak ada beban pikiran yang menghujam mendera. Aku biasa-biasa saja.

Aku masih suka bermain dengan anak-anak lain. Mulai sedikit (hanya sedikit) rajin mengerjakan PR. Tapi satu yang tidak bisa diganggu gugat, aku tidak suka belajar jika disuruh. Aku lebih suka belajar atas dasar keinginan pribadi bukan perintah orang lain. Bahkan orang tua gemas dan tak jarang memarahiku untuk yang satu itu.

Bukan apa-apa, karena Ujian Nasional masuk SMP segera dimulai. Mungkin karena itu juga aku jarang melihat Dwi. Mungkin dia sibuk dengan pendalaman materinya dan aku dengan kesibukanku.

Terakhir kami bertemu dan bermain badminton bersama. Waktu itu penantangnya, menantang Dwi bermain double. Dwi terlihat bingung. Karena selama ini dia selalu bermain single. Akhirnya dengan segala petrimbangan dia memilihku. Aku ingat kata-katanya waktu itu.

“Aku percaya sama Rei. Kalo sama kamu, aku yakin kita menang” katanya waktu dulu.

Sedikit tidak percaya. Mengingat banyak anak yang lebih jago dariku. Seingatku paling tidak ada 2 (dua) anak waktu itu. Arrie dan Doni kalau tidak salah. Ditambah, pertandingan kali ini Dwi ditantang taruhan sejumlah uang. Aku tegang. Jantungku dag dig dug bukan kepalang. Ini pertandingan perdanaku.

Pertandingan berlangsung ketat. Aku tahu mengapa mereka menantang Dwi. Karena permainan double mereka sudah kawin. Sepertinya mereka sudah terbiasa bertanding berpasangan. Lain halnya dengan Dwi. Ini permainan double pertamanya dan yang pertama juga buatku. Namun Dwi hebat. Dia menjaga area belakang dengan sangat baik.

“Rei jaga di depan aja. Biar aku di belakang” perintahnya waktu itu.

Aku senang. Karena aku tidak yakin aku kuat jika harus mengembalikan bola dari belakang. Backhand-ku lemah begitupun dengan bola lob-ku. Dwi memang pandai menilai situasi jika sudah menyangkut olahraga. Babak pertama harus kami lepaskan karena kami kalah. Skor hanya selisih tipis saja. Tapi Dwi malah terlihat tenang. Aku semakin tegang. Duit dipertaruhkan pikirku selalu waktu itu.

“Rei tenang. Aku yakin kita menang nanti” ujarnya menenangkanku. Aku senang.

Babak kedua memang lumayan sengit. Tapi Dwi dan aku mampu memberi perlawanan hebat. Permainan kami mulai kawin sekarang. Kami tahu posisi yang harus diisi, kemana bola diarahkan juga bagaimana memperlambat atau mempercepat tempo permainan. Tanpa kata-kata, hanya anggukan dan lirikan mata. Aku terkesima.

Akhirnya kami berhasil memenangkan babak kedua dengan skor yang lumayan. Kepercayaan diriku bangkit. Dwi senang. Hatiku riang. Kami menang. Hanya menang sementara. Karena masih ada rubber set menanti.

“Aku senang aku milih Rei. Pilihanku ga salah kan?” aku tersenyum riang.

Kami semakin kompak dibabak ketiga ini. Bola didepan net makanan empukku. Netting tipis merupakan keahlianku. Karena pukulanku lemah aku tidak begitu suka melakukan smash. Jadi aku selalu melatih netting-ku. Karena itu bola didepan net tak pernah kusia-siakan waktu itu. Sedang Dwi menggasak bola yang melambung kebelakang. Sedikit saja bola terlalu tinggi, smash keras dilancarkannya. Lawan mulai ketar ketir, tidak menyangka arah pertandingan akan berbalik begini.

Seperti berdansa, permainan kami sungguh padu padan dan mengisi celah tanpa jeda. Babak terakhir ini pun kami menangkan dengan cukup mudah. Karena lawan telah kalah ketika kepanikan mereka diawal babak ketiga itu sudah melanda. Mereka sering sekali membuat kesalahan tak berarti. Karena itu perolehan skor pun dengan cepat kami raih dan merebut set terakhir ini menjadi milik kami. Dwi senang. Aku riang. Kami menang. Kali ini benar-benar menang.

Pertandingan itu adalah terakhir kali kami berinteraksi dengan begitu dekat dan (sedikit) intens. Setelah itu? Kami mulai disibukkan dengan PM (pendalaman materi) kami masing-masing.

Hari ujian pun dimulai. Tetap saja aku selalu telat bangun dipagi hari. Kebiasaan ini sepertinya susah hilang dari dalam diri. Berangkat ujian aku seeolah tak punya beban. Aku sudah belajar (sepertinya). Aku ingat aku memegang buku. Walau mataku tak pernah lepas dari televisi. Mudah-mudahan soal ujian kali ini tentang film yang diputar semalam. #Halah

Tapi tenang. Aku selalu belajar diwaktu iklan. Jadi persiapanku sudah cukup matang. Aku tidak tahu dengan Dwi. Karena seperti kubilang diawal, kami tidak satu sekolah. Anehnya hanya keluargaku yang SDnya beda dengan banyak anak dilingkungan kami. Dwi masuk SD yang banyak dimasuki anak-anak tetangga. Sedang keluargaku, masuk SD lainnya yang sedikit jauh dan hampir (sepertinya memang) tidak ada tetangga-tetangga yang masuk kesana.

Ujian berhasil kulewati dengan aman. Paling tidak aman menurutku. Entah untuk nilainya. Aku sedikit yakin-yakin tidak. Begitulah aku. Aku tidak terlalu suka memusingkan hal yang belum pasti. Aku paling tidak suka berpikir terlalu dalam. Aku hanya ingin menikmati hidup ini, bukan membebaninya.

*

Pengumuman kelulusan sudah diumumkan seminggu yang lalu. Aku lulus dengan nilai yang lumayan wow. Nilai rata-rataku diatas 90,00. Jadi aku bisa masuk SMP unggulan pertama didaerahku. Aku tidak tahu dengan Dwi karena aku belum bertanya padanya. Tapi ibuku bilang nilai rata-rata Dwi ada dibawahku. Jadi mungkin kami tidak akan satu sekolah (lagi). Aku sedih.

Setelah disibukkan dengan daftar ulang SMP, yang ternyata benar Dwi tidak satu sekolah denganku (lagi). Orang tuaku menggelar acara khitanan-ku. Aku dikhitan ketika umurku sebelas (11) tahun. Ketika lulus SD dan sudah daftar ke SMP. Aku ngeri.

Khitanannya sendiri akan dilangsungkan dirumahku sendiri. Orang tuaku berinisiatif memanggil dokter ke rumah. Biar tidak mengantri kata mereka. Aku jengah.

Aku tidak suka menjadi tontonan warga satu RT yang melihat daerah pribadiku diusik, dikulik. Bagaimana bisa aku tenang dengan semua pasang mata yang menunggu dokter datang dan menatap kearahku nyalang? Aku tegang.

Dokter datang. Aku dibawa kekamar. Orang tuaku menyingkirkan orang-orang yang berkerumun. Meminta supaya jangan terlalu banyak orang didalam kamar. Hanya beberapa saja yang kulihat masih setia menunggui daerah pribadiku dijadikan ajang pertunjukan satu hari (one day show). Aku nyeri.

Ngilu membayangkan mereka melihat aku dan perkakasku dikuliti. Bagaimana jika aku menangis dengan memalukan? Bagaimana jika wajah ketakutanku dipertontonkan? Oh tidak. Aku gerah. Wajahku memerah. Aku tersiksa.

Sudah dokter. Cepat tuntaskan tontonan ini. kulirik kanan kiri. Dwi tak ada disini. Kemana dia? Pintu kamar terbuka. Dwi disana dengan cengiran minta maaf. ‘sorry’ katanya. ‘dari toilet’ begitu alasannya. Aku senang dia ada. Aku gembira.

Dokter mulai mendekat. Aku tercekat. Bapak duduk didekatku menggenggam tanganku erat. Aku kuat. Dokter mulai mengeluarkan peralatan tempurnya. Ada gunting, jarum suntik, botol-entah-apa-itu dan lainnya. Aku menyerah. Menyerah untuk melihat lebih jauh. Aku membisu.

Bapak masih memegang tanganku. Aduh si bapak bisa dilepasin bentar ga? Kan aku pengennya Dwi yang memegang anuku.. tanganku maksudku (ku ku ku >_<’).. Otak ngeres menyingkir. Hush hush..

Dokter itu segera memeriksa, memegang, meremas (yang remasan ini kayaknya imajinasi liar author aja deh hehe..), menyuntik, menggunting, memotong, menjahit dan yang lain-lainnya itu. Aku pura-pura tenang. Padahal aku tegang. Selama proses itu aku merem melek. Wait.. wait.. konotasi merem melek ga enak banget yah..? Ganti apa ya enaknya?

Intinya selama proses yang dilakukan oleh dokter itu, aku kadang memejamkan mataku, lalu mulai penasaran dan melihat dan memejamkan lagi jika mulai terasa mengerikan, seperti itu berulang-ulang. Jadi benar kan kalo aku pakai istilah merem melek tadi..

Dokter berhenti. Selesai. Perkakasku masih aman. Sama terbebat seperti Dwi dulu. Hmm.. apa ini kenyal-kenyal.. Tanganku memegang sesuatu. Bentuknya seperti kulit ada sedikit noda darah. Ini kok kayak.. beneran ga ya ini.. habisnya kok mirip samaaa... ih ih ih.. Jangan jangan.. Jangan jangan..

“Dok ini apa yah?” Dengan polos (bego)nya aku bertanya. Walau sedikit bisa menerka.

“Oh. Maaf itu kulup penis kamu” NAH KAN BENER KAN..

Huuwwaaaaaaa... Emmaaaakkk.. Dokteerrrnyaaa Ooo’OOO’tttt..

Kulup-ituh-tuh hasil guntingan kok ditaruh sembarangan.. huuwwwaaaa.. dokter streeessss.. kulup itu buru-buru kulempar ke tangan dokternya. Dokter gelo eta mah.. Sembarangan ajah naruh kulup ituh ku.. Aku tengsin berat. Lebayku kumat.

Dwi cengengesan. Kuberi pandangan mematikan. Dia terdiam. Aku bergumam ‘kita sama sekarang’. Dia tersenyum. Aku tersenyum. Kami berdua tersenyum.

Orang tuaku mengantar dokter keluar. Tontonan pun berakhir. Orang-orang yang tidak sempat menyaksikan merangsek masuk kedalam. Memberikan selamat. Melihat-lihat ituh-tuh yang sedang terbebat. Aku malu berat.

Dwi menyingkir. Karena banyak orang yang datang melihatku. Aku habiskan waktu itu menerima amplop dan orang yang tak henti-hentinya membuka dan menutup sarungku. Aku ngilu.

Hari ini aku senang. Paling tidak Dwi menyaksikan acara khitanku. Walau kebersamaan kami beberapa lama ini tidak sedekat dulu, setidaknya dia masih mau berkunjung ke acara pentingku (berasa kayak nikah ya?). Walau setelah acara ini tak lama lagi aku akan tersedu-sedu. Aku ingat hari itu. Hari senin yang kusebut dulu. Dihari itu Dwi dan aku.. ah sudahlah.. Lebih baik kita tunggu.. Karena authornya lagi kelabu. Oke, Udah dulu. Ciao, bye bye, See you. (To be continue..)




Cuuuuuutttttttttttt . . .

THE SEPARATION (PINDAHAN STORY)

Tak terasa hari itu semakin dekat. Hari dimana waktu tak sanggup kudekap. Semakin kugenggam erat, waktu berjalan semakin cepat. Tanpa aba-aba dia datang dengan kecepatan kilat. Aku tercekat. Hatiku melarat.

Euforia acara khitananku sudah lewat lebih dari seminggu. Entah kenapa aku merasakan kesenangan semu. Firasat itu seperti menyapa berbisik sendu. Aku tak tahu. Tapi aku merasakan itu. Ketika akhirnya kabar itu sampai ketelingaku. Aku hanya tergagu. Diam membisu. Tak merasa kakiku yang menjejak layu. Waktu seakan tak ramah padaku. Aku kelu. Hatiku sendu, pilu..

Adalah adiknya Dwi yang mengabarkan berita itu. Toro namanya nakal wajahnya. Senyum liciknya selalu terhias lepas. Dengan urat-urat yang jelas terlihat didahi dan sisi-sisi keningnya, sudah dapat dipastikan Toro anak yang sedikit temperamental. Aku pernah melihatnya marah dan mengamuk. Percayalah, itu seram luar biasa. Urat-uratnya bermunculan dengan tegas, membuat wajahnya kelihatan keras.

Tapi Toro baik padaku. Usianya 1 tahun lebih beberapa bulan dibawahku. Dia selalu mengajakku bermain, ketika Dwi tak sedang denganku. Dia selalu berbagi makanan denganku. Entahlah, terhadap anak-anak lain dia tak sebaik itu. Malah dia pernah berkelahi karena ada anak yang menggangguku. Walau aku melawan tapi Toro ikut membantu. Aku ingat ketika dia memegang batu dan tak segan melemparkannya ke orang-orang yang mengganggu. Aku senang dibantu namun aku (agak) takut dengan tingkah nekadnya itu.

Senja itu, Toro dan aku masih bermain di luar. Kami jalan sedikit jauh untuk bermain didaerah persawahan untuk menangkap capung. Ketika kami hanya bisa menangkap capung hijau dan oranye, kami bosan dan lelah tak jua berhasil menangkap yang biru. Mulailah Toro mengatakan semua itu.

“Rei.. aku sama keluarga mau pindah minggu-minggu ini..” JEDEERRR

Apa? Apa tadi? Aku ga salah dengar kan? Pindah? Minggu-minggu ini? Kok tiba-tiba? Dwi.. bisa-bisanya dia ga ngasih tau..

“Cepet amat. Emang pindah kemana?” Tanyaku sesantai mungkin.

“Katanya masih dikota ini juga. Deket kok. Tapi aku juga belom liat rumahnya”

“Yah.. Kagak bisa main bareng lagi donk kita.. Jadi sedih nih..” aku sengaja tersenyum walau hatiku seketika hampa saat itu.

“Masih bisalah. Kata mama deket kok. Aku kan bisa sering-sering main” Kalo Dwi? Ajak Dwi juga atuh..

Aku hanya mengangguk. Senja itu tak kurasa indah. Kabar itu membuat resah. Membikin hati gundah. Pohon jambu bijiku telah tiada. ‘Monumen’ Ciuman pertamaku seolah sirna. Sekarang kabar ini datang menerpa. Aku gulana, aku merana.

Tapi itu sementara. Esoknya aku lupa kabar itu. Seperti kubilang sebelumnya. Senang sekali ketika kita kecil, begitu mudahnya kita melupakan sesuatu dan tidak larut memikirkannya. Anak kecil itu sederhana. Ketika main dia lupa segalanya. Begitupun aku. Waktu bermain dengan teman-teman aku lupa hal itu.

Namun itu tak berlangsung lama. Aku ingat lagi ketika emak mengatakannya diwaktu aku sedang makan. Seketika itu lauk terasa hambar. Menelanpun terasa sukar. Piring terpinggirkan, aku naik kekamar.

Ternyata berita itu benar. Kenapa Dwi tidak mengabarkannya padaku? Lagi, aku mulai sendu. Dadaku bergemuruh. Hatiku terasa pilu. Entah mengapa kubegitu. Aku tak tahu. Tak ingin mencari tahu. Hanya ingin menikmati waktu sendiriku dalam sendu. Aku rapuh.

Sudah 2 mingguan lebih sejak aku dikhitan. Aku masih libur. Daftar ulang sudah dilakukan. Namun pertemuanku dengan Dwi semakin berkurang. Pertemuan intens kami, ketika aku dikhitan. Selebihnya hanya tegur sapa, basa basi sopan yang tiada makna. Seolah kami tidak pernah kenal sebelumnya. Tidak ada apa-apa. Walau benar adanya. Kami bukan siapa-siapa. Hanya teman saja.

Hari itu datang juga. Senin pagi kabar itu menyapa. Kabar kepindahan Dwi dan keluarganya tentu saja. Aku bersiap ikut mengantar dan melihat rumah barunya. Sambil bersiap, dalam hati aku menggerutu. Kenapa mereka tidak pindah dihari minggu? Agar ada alasanku untuk membenci hari itu. Tapi tidak. Mereka dengan hebatnya memilih hari senin untuk kepindahan mereka. Hebat. Sungguh hebat. Seakan daftar alasan mengapa aku benci hari senin bisa kutambah. Terima kasih. Banyak-banyak terima kasih untuk mereka. Siaaaallll..

Ternyata mereka pindah dihari senin, karena ayah Dwi yang bekerja di salah satu hotel berbintang dikota kami baru bisa off pada hari itu. Terserahlah. Bukan urusanku. Seakan hari itu adalah hari menggerutu sepanjang waktu untukku. Ada yang bilang begini, aku menggerutu. Ada yang berkata begitu, aku menggerutu. Aku ingin menghentikan waktu.

Kami telah sampai ke rumah tinggal keluarga Dwi yang baru. Lebih luas dari yang dulu dan ada terasnya pula. Pantas saja. Aku membantu melihat-lihat karena Toro segera menarik tanganku melihat kamar yang akan ditempatinya. Dwi melirik sekilas. Huh, weekk.. ngapain lirik-lirik pikirku waktu itu. aku kesal karena dia meninggalkanku. Kesal memang, tapi aku rindu.

Toro mengajakku melihat kamar yang terletak paling ujung didekat dapur. Sepertinya itu akan dijadikan dapur. Karena ada kompor bertengger manis disana. Aku segera duduk diranjang yang lumayan empuk. Dwi ikut masuk. Toro memasang tampang menusuk. aku clingak clinguk.

“Rei bentar aku ambilin minum dulu ya. Tadi udah disiapin air mineral buat yang bantu-bantu pindah” aku mengangguk. Toro gesit sambil melirik Dwi sengit. Aku mengernyit.

Ada apa dengan mereka? Dua bersaudara ini memang tidak selalu akur. Dwi adalah anak kesayangan dan kebanggan ayahnya. Sedang Toro adalah anak emas mamanya. Jadi begitulah, mereka berdua bersaing siapa yang lebih baik dimata orang tua. Sepertinya. Entahlah. Mungkin hanya pikiran naifku saja.

“Rei..” Dwi duduk disebelahku. “Udah lama ga ngobrol berdua..” aku mengangguk.

“Aku..” “Rei nih minumnya”

Kata-kata Dwi tenggelam oleh suara keras Toro. Aku hanya bisa melongo. Menanti kata dari Dwi, tapi kesempatan itu hilang begitu saja. Bad timing Toro.. Bad timing.. Huufth.. Dwi segera beranjak. Keluar setelah Toro masuk ke dalam. Aku terdiam.

Toro berceloteh panjang lebar. Aku mendengar samar-samar. Konsentrasiku buyar. Pikiranku terpencar. Aku gusar

Aku mengajaknya keluar. Toro menurut. Kemana Dwi? Dimana dia? Apa yang tadi ingin dikatakannya? Kenapa dia langsung pergi begitu saja? kenapa tidak langsung mengatakan saja maksudnya? Lagi, Dimana dia? Aku bertanya-tanya.

Aaahh.. dia di luar. Ternyata banyak anak tetangga (yang mayoritas perempuan. Great!) mulai mengerubunginya. Mengajak berkenalan dengannya. Menyambutnya sebagai tetangga baru mereka. Mengerubunginya. Mendekatinya. Berlama-lama didekatnya. Aku gerah.

Dasar gadis-gadis kecentilan. Tidak bisa melihat cowok bening sedikit. langsung pada menjerit-jerit. Dwi memang tampan. Luar biasa tampan. Usianya yang sepertinya sudah akil baligh makin menegaskan aura memikat bukan buatan. Pantas saja gadis-gadis itu pecicilan. Mereka mengajaknya bermain, mengerubunginya, memegangnya, mendekatinya, yah semacam itulah. Sudah. Aku semakin gerah. #KipasPlease

Aku memanggilnya tiba-tiba. Tak terencana. Aku pun terperangah. Tak percaya dengan mulut yang melepas suara tanpa aba-aba. Dwi memandangku. Toro memandangnya tidak suka. Aku hanya bisa senyum-senyum saja. Masih heran dengan mulutku yang tanpa permisi itu. Tapi aku suka. Karena Dwi bisa lepas dari gadis-gadis agresif itu.

Dwi beralih pergi dari kungkungan ‘fans-fansnya’ itu. Dia segera menuju tempatku dan Toro. Namun sial, gadis-gadis sok akrab itu menyusul. Uuurrgghh.. Aku gerah. Mau marah, pada siapa? Bukan salah mereka, tapi Dwi dan segala pesonanya memang terlalu mubazir untuk disia-sia. Sial.

Gadis-gadis tetangga baru Dwi mengajaknya main petak umpet. Aku tidak dianggap. Toro pun hanya diajak kenalan dan bicara singkat. Aku gigit jari tidak diajak main. Toro dan Dwi ikut bermain. Aku duduk dipinggiran melihat mereka asyik bercengkrama.

Lucunya (kesal untukku) ketika salah satu gadis jaga, dia jelas-jelas melihat Dwi yang sepertinya enggan bersembunyi agar cepat ditemukan, namun gadis itu malah mengabaikannya. Padahal antara Dwi dan dirinya seperti berhadap-hadapan bahkan tatap mata. Gadis itu membiarkan Dwi sambil senyum-senyum manja. What was that?! Gadis genit. #TamparNih.

Aku gerah. Aku ikut bukan untuk melihatnya beramahtamah dengan fans-fansnya, yang belum sehari saja sudah banyak luar biasa. Tambah gerah, ketika dia bahkan melayani mereka. Aku menyerah. Aku tak suka. Aku segera undur diri dari tempat itu tanpa permisi. Aku jalan kedepan dan bermaksud naik ojek yang ada didepan.

Jarak rumahku dan rumah baru Dwi ternyata tidak seberapa jauh. Hanya beda beberapa blok saja. Tapi tetap lumayan jauh sekali jika berjalan kaki. Karena itu ketika aku kesal dengan situasi yang sama sekali tidak kusangka itu aku berniat pulang saja. Aku sudah sangat gerah.

Dwi mengejarku. Aku tetap berlalu. Dia menjangkau langkahku. Aku tetap saja berlalu. Dia menghalangi langkahku. Aku berhenti. Kulirik dia tajam. Dia tersenyum lebar. Aku kalah. Sial. Dengan senyumnya gerahku hilang seketika. Aku tidak pernah bisa marah padanya. Senyumnya terlalu indah. Membuatku betah berlama-lama dengannya. Aku gembira.

“Rei mau kemana?” Tanyanya heran.

“Pulang. Capek juga ga ngapa-ngapain..” Sindirku halus.

“Main yuk..”

“Sama orang-orang tadi..?” tanyaku lagi sambil menggeleng keras.

“Bukanlah. Sapa juga yang mau main sama mereka. Kita main ke taman. Kemarin aku liat ada taman dekat rumahku. Jaraknya juga deket kok.. Yuk..” Ajaknya. Aku mengangguk setuju.

Akhirnya aku bisa juga berdua saja dengan Dwi tanpa pengganggu-pengganggu itu. Tak lama, taman itu sudah terlihat. Ada tempat main untuk anak seperti perosotan dan balok-balok tiang kubus yang membentuk tangga-tangga. Tamannya terlihat nyaman.

Kami pun menaiki perosotan dan memanjat-manjat tangga. Sebenarnya aku yang lebih riang. Dwi hanya mengikutiku sambil geleng-geleng saja. Mungkin dia berpikir aku terlalu kekanak-kanakan. Tapi aku suka taman bermain. Terserah orang mau bilang apa. Aku masih saja asyik bermain. Setelah puas kami duduk diatas balok tangga itu. Berjajaran. Berdua saja. Hari ini indah.

“Rei kita udah ga tetanggaan lagi..”

“Rumah kita udah agak jauh..”

“Sekolah kita juga ga sama lagi. Padahal aku udah belajar biar bisa dapat nilai tinggi..” aku hanya mengangguk-angguk saja dengan semua kata-katanya. Untuk yang terakhir itu, aku berhenti mengangguk. Apa maksudnya?

Mungkinkah dia selama ini giat belajar seorang diri agar bisa meraih nilai tinggi dan kami bisa satu sekolahan bareng? Aku tak percaya. Sangat tidak menyangka. Jadi selama ini...

“Dwi payah ya Rei..?” aku menggeleng kali ini.

“Ga papa kok ga satu sekolah juga. Yang pentingkan kita masih bisa main bareng. Dwi bisa main ketempat Rei, atau sebaliknya..” Kali ini dia yang mengangguk.

Dwi menatapku. Intens. Lekat. Amat lekat. “Rei.. Aku... ...”

“HAAAIIII.. HOOOIII...” teriakan siapa tuh? Ganggu deh.. bete bete bete...

Kualihkan pandangan. Dwi pun melakukan hal yang sama. “Yaelaahh” samar-samar kudengar gumamannya. Kata Dwi tadi sungguh tepat ditujukan kepada orang yang berteriak tadi. Gadis-gadis itu muncul lagi saudara-saudara. Tak dijemput tak diantar. Mereka datang dengan bingar.

“Kok ga bilang-bilang mau kesini sih..?” itu gadis centil yang senyum-senyum pada Dwi waktu main petak umpet tadi.

Dwi hanya mengedikkan bahunya. Dia mengajakku turun dari tempat kami berada sekarang. Sigap dan cepat, kami turun sudah. Dwi segera mempercepat langkahnya, menyingkir dari gadis yang bahkan baru beberapa saat saja dikenalnya.

Gadis centil itu dan teman-temannya mengikuti kami. “Mau kemana?” tanyanya. Helloooo.. Situ siapaaa..?!

Astaga. What’s with the girls zaman sekarang? Agresifnya itu lhoo.. Padahal melihat postur dan wajahnya dia terlihat lebih tua dari Dwi. Paling tidak kelas IX atau X. Gadis itu menatapku tak suka, karena aku berjalan bersisian dengan Dwi. Pandangannya menyiratkan ‘menyingkir dari pangeranku’ tajam kepadaku. Aku tak gentar. Kugamit lengan Dwi dan kuajak dia berlari denganku. Sebelumnya kuberi tatapan meremehkan pada gadis itu. dia tersenyum sinis aku tertawa penuh kemenangan. Aku dan Dwi, kami berlari dengan cepat meninggalkan para pengganggu.

“Rei.. makan dulu yuk..” ajak Dwi setelah kami balik kerumah barunya. Karena ternyata memang sudah disediakan nasi padang bungkus untuk yang mengantar. Aku mengangguk.

Aku makan dengan lahap. Aku suka nasi padang. Porsinya pas untukku. Walau kadang ketika aku sangat lapar, porsiku bisa lebih dari 1. Kami makan dalam diam. Aku senang. Dia terlihat mulai riang. Toro menatap kami dan ikut tersenyum. Walau senyumnya sedikit kaku.
Aku kembali kerumah ketika sore tiba bersama beberapa orang yang memang ikut mengantar. Aku merebahkan diri dikamar dengan hati lapang. Senang, riang berkumandang diseluruh penjuru ruang. Aku tertidur karena rasa nyaman yang datang.

Sebelum pulang tadi, kami berjanji akan tetap saling mengunjungi. Karena persahabatan yang telah terjalin sulit untuk hilang begitu saja. walau jarak menjadi pemisah. Hari-hariku setelahnya akan tanpa Dwi menyapa. Tapi tak apa, asal kenangan dan janji ini masih terpelihara. . .

(To be continue..)

****

PERTEMUAN DIPASAR MALAM

Janji-janji yang terucap hanya terasa indah ketika itu pertama didengar telinga, ditangkap otak dan dicerna panca indera. Namun janji hanyalah janji ketika itu semua tidak terealisasi. Semua yang indah segera terasa hampa dan hanya menjadi cerita sambil lalu saja.

Cerita yang sama pun terjadi dengan saya. Bahkan sebelum tunas itu muncul, pohon berbunga telah layu seketika. Saat itu juga. Tanpa daya. Tanpa rasa. Rasa yang tak sempat mengecap pahit manisnya dunia. Namun tenggelam dalam lautan fatamorgana. Terasa semuanya hanya ilusi.. semata..

**

Sejak pembicaraan di taman itu, aku memang beberapa kali berkunjung ke rumah Dwi yang baru sesekali. Namun, seringnya malah sang adik yang bisa kutemui. Jadwal sekolah Dwi dan aku yang berbeda sedikit menyusahkan untuk membuat temu janji. Aku mendapat kelas pagi. Sedang Dwi baru masuk sekolah siang hari. Jadi intensitas pertemuan kami hanya sedikit sekali.

Hari minggu menjadi hari yang paling kutunggu. Aku dan beberapa teman akan berkunjung ke rumah Dwi untuk bermain bersama, seperti biasanya dulu. Kami bermain seperti biasa, tertawa seperti biasa dan bersenda gurau seperti biasa. Seolah semua sama, tiada beda. Aku bahagia.

Namun itu hanya permukaan luar saja. seolah kami terlalu memaksakan kehendak untuk selalu bertemu dan membuat setiap pertemuan terasa semu, terasa jemu. Sedikit membosankan terasa sekali kala itu. Kami memaksakan kondisi yang sekarang tidaklah seperti dulu. Seolah menyempatkan waktu untuk bertemu, walau tahu hati sedikit terpaksa melakukan itu. Aku ragu-ragu.

Akhirnya pertemuan-pertemuan kami hanya bertahan beberapa saat saja. Mungkin karena kami segera merasa bosan dengan pertemuan yang hanya itu-itu saja. Aku yang pertama bosan sepertinya. Karena selalu aku yang berkunjung ketempatnya. Sedang Dwi seolah tak ada usaha. Hanya beberapa kali saja dia bertandang mengunjungiku dirumah.

Kesibukan kami disekolah barulah yang sepertinya menjadi jurang pemisah. Sekolah kami yang tak sama, jam sekolah kami yang berbeda, juga latihan bulutangkis (badminton) yang diikuti Dwi jugalah yang membuat kami makin sulit bertemu dan bertegur sapa.

Dwi memang mengikuti latihan di klub bulutangkis yang ada di balai olahraga di daerah kami. Aku tak heran karena badminton adalah olahraga favorit Dwi. Namun, karena latihan di klubnya itulah yang membuat kami jarang bertemu. Latihannya pada hari minggu yang merupakan hari kami biasanya bertemu.

Jadi terima kasih atas hal itu, aku mempunyai hari lain yang bisa kubenci sekarang selain hari senin tentu saja. Yup, aku benci hari minggu waktu itu. Tidak benar-benar benci sebenarnya. Hanya sedikit tidak suka mungkin lebih tepat. Karena hari yang seharusnya ‘hari kami berdua’, digantikan dengan latihan berharganya itu. Dwi, Aku cemburu dengan hobimu itu.

Andai aku suka olahraga, mungkin aku akan mengikuti latihan itu. Tapi aku tidak suka memaksakan sesuatu yang tidak pada porsinya. Aku tahu, bulutangkis bukanlah passionku. Bakatku sangat jauh dari itu. Olahraga pun tak pernah menjadi favoritku. Walau aku bisa, namun aku sadar posisiku. Segera saja kami jarang (hampir tidak pernah) bertemu lagi sejak saat itu.

Aku tahu nomor telpon rumah Dwi, namun aku jarang menghubunginya. Dia pun sama. Dia hapal nomor rumahku, namun dia pun hampir tidak pernah menelponku. (Sepertinya) kami mulai jemu.

Aku melewati SMP dengan nilai baik. Hampir terlalu baik. Dengan segala kemalasanku aku masih bisa mendapat posisi 10 besar. Itu terjadi dari kelas VII sampai IX. Aku tidak pernah keluar dari 10 besar. Aku sendiri heran. Banyak yang sepertinya lebih rajin dan pintar dariku. Namun entah bagaimana aku bisa unggul dari mereka. Aku tidak menyangka.

Aku kelas IX sekarang. Sebentar lagi Ujian Nasional pun diselenggarakan. Aku mulai mengikuti bimbingan belajar yang berbasis islam yang lumayan ternama atas desakan orang tuaku. Aku bilang aku tidak suka itu, namun tetap saja mereka memaksaku. Aku menurut sambil terus saja memberengut. Aku tidak suka belajar (ralat) tidak suka dipaksa untuk terus belajar. Aku malah bisa menjadi cepat bosan jika terus dipaksa. Namun aku pasrah. Aku menuruti kedua orang tua.

Bagaimana dengan Dwi? Kenapa dengan dia? Sepertinya dia baik-baik saja. Sejak dia sibuk dengan latihannya itu kami jarang sekali bertemu dan memang hampir tidak ada kabar berita lagi diantara kami. Hanya Toro, adiknya yang sesekali mampir dan masih saja baik dan selalu mengajakku bermain. Dari dialah aku mendapat kabar-kabar Dwi.

Toro bilang Dwi banyak sekali yang suka. Hampir tiap malam, telpon rumahnya selalu saja berdering dari gadis-gadis tetangga atau teman-temannya disekolah yang entah bagaimana tahu nomor rumahnya. Padahal Toro bilang Dwi tidak pernah memberitahu mereka. Aku gerah.

Tetap saja, biarpun sudah lama kami tidak bertemu namun mendengar dia banyak diincar para wanita, hatiku membara. Hatiku resah. Aku tidak suka. Kenapa wajah Dwi tidak biasa-biasa saja? Kenapa harus tampan memukau membuat hati risau? Aku galau.

Karena itulah aku sedikit rajin belajar. Dan nilaiku terjaga walau tidak pernah kuduga. Ingatan tentang Dwi masih tetap melekat. Masih terasa hangat. Masih kurasa dekat. Ciuman itu masih kuingat. Lamat-lamat dan aku terjerat. Terjerat dalam memori masa lampau dibalik rimbunnya pohon jambu biji itu bibirku terpikat. Bibirku (ralat) bukan bibirku tapi aku, aku rindu berat.

Ingatan itu hanya datang 2 (dua) kali di masa SMP ku. Waktu itu memori itu memburu setelah aku mengalami mimpi basah pertamaku. Mimpi itu terjadi ketika aku kelas VIII dan masih sangat unyu juga lugu (uhuy). Sepertinya kita tidak usah membahas masalah mimpi basahku. Jujur saja. Karena itu tidak seru. Dan kurasa tidak ada seorang pun yang mau tahu. Bukankah begitu?

Jadi cerita mimpi basahku, kita skip saja dulu. Setuju? Mudah-mudahan begitu dan syukurlah jika seperti itu. Karena aku malu untuk mengaku tentang mimpi-yang-aku-skip-saja-yah-itu.

Kita kembali ke ingatan tentang pohon jambuku. Maksudku yang terjadi dibalik rimbunnya pohon itu. Ingatan itu datang pagi hari ketika aku mimpi ituh-tuh (mimpi-yang-aku-skip-itu) dimalam sebelumnya. Ingatan itu menyapa membuat aku ingat dan rindu berat dengan segala yang telah terlewat dan yang kami (Dwi dan aku) lewati berdua ketika masih dekat. Sangat dekat. Hatiku terjerat dan aku terpikat. Aku kangen berat.

Hari itu aku sadar dengan kata cinta. Kata sayang. Dan kata-yang-tidak-berani-kuucapkan-dulu. kata (*bisik-bisik) gay itu. Hari itu aku sadar aku mencintainya bukan hanya sebagai teman, bukan hanya sebagai sahabat dekat, namun lebih dan jauh melampaui itu semua. A-ku ja-tuh cin-ta. Aku mencintai Dwi. Mencintai seorang lelaki. Aku bergidik ngeri. Namun tak kuasa membendung hati. Hatiku telah dia curi bahkan telah lama sekali, jauh sebelum aku sadar akan hal ini. Aku telah jatuh hati dengan Dwi yang notabene seorang lelaki. Hatiku nyeri.

****

Waktu itu seminggu sebelum Ujian Nasional. Ada pasar malam yang diseelenggarakan di daerah dekat rumahku. Dan rumah Dwi tentu. Karena jarak pasar malam itu berada ditengah-tengah rumah Dwi dan aku.

Pagi hari itu, ingatan ciuman pertamaku muncul untuk yang kedua kalinya diwaktu SMP ku. Ingatan itu masih nyata, jelas dan menyisakan rindu didada. Aku gelisah. Mungkinkah ini pertanda?

Malam harinya ketika ingatan itu menyapa. Aku melihat pasar malam berdua dengan adik bungsuku. Kami melihat-lihat, membeli jagung manis, sosis bakar dan mencoba sekaligus mengacak-acak hal-hal yang tersaji disana. Aku senang, riang gembira. Aku selalu suka suasana pasar malam yang ramai dan menimbulkan kesan ceria.

Dan disanalah dia. Pangeran berkuda putih yang hanya bisa kugapai dalam mimpi panjang penuh duri. Mimpi semu yang tak terlihat ujungnya itu, membuat sendu dan pilu. Aku melihatnya berdiri disana. Di gerai baju-baju yang tersampir rapi tanpa cela. Aku menatapnya. Dia memalingkan wajah. Mataku tak lepas darinya, dia melirikku sesekali. Seperti malu dengan hal ini. Aku pura-pura memalingkan wajah, dia menatapku penuh haru. Aku tahu dia menatapku. Aku bisa merasakan tatapannya itu.

Aku palingkan cepat wajahku, menatap matanya yang tak juga lepas melihatku. Dia tersadar. Dia tersentak dalam getar. Ketika dia ingin palingkan lagi wajahnya itu, aku mengeluarkan senyum termanisku. Diiringi derai tawa penuh rasa, penuh makna, sarat akan rindu didada. Dia terdiam, matanya tak sanggup dia alihkan. Lagi, aku tersenyum manja. Dia balas dengan senyum alakadarnya. Kini dia palingkan muka. Melihat kedalam gerai baju-baju tadi. Aku sakit hati.

Bukan karena dia memalingkan wajahnya tadi. Tapi karena dia menyambut seorang gadis yang ada didalam gerai baju tadi. Hatiku terbakar iri. Gadis itu cantik. Menarik. Dengan rambut panjang tergerai. Kulit coklat terang memukau. Juga wajah ayu jelita nan menawan. Pantas saja Dwi tertawan. Aku resah. Aku gelisah. Mimpi indahku seolah sirna tak tersisa. Memori dulu pun terasa tanpa makna. Tak berarti apa-apa.

Dwi senyum ramah ketika dia menggamit gadis ayu jelita mempesona tadi. Namun matanya masih sesekali mencuri-curi kearahku. Bagaimana aku tahu? Karena (hanya) mataku yang tak lepas memandanginya. Tak puas hanya memandanginya. Tak ingin hanya memandanginya. Tak ingin hanya dipandangi olehnya. Aku ingin mendampinginya. Aku kecewa.

Dia masih saja mencuri tatap kearahku. Namun aku kini telah berlalu dengan rasa hati yang tak tentu. Rasa itu layu bahkan sebelum tunas bertumbuh. Aku cemburu. Dan aku hanya bisa tergagu, tergugu dalam sendu. Aku benci pasar malam sejak hari itu.

****

Hari ini ujian nasionalku diselenggarakan. Namun untuk yang sekarang aku tidak yakin nilaiku akan gemilang. Bukan apa-apa, bayangan Dwi selalu saja terngiang. Ketika aku membaca buku, aku teringat gerai baju itu. Ketika aku menghapal rumus matematika, lirik-lirik malu Dwi datang menyapaku. Bahkan ketika aku mengerjakan soal IPA, ingatan Dwi menggandeng gadis ayu jelita nan menawan itu menghantam mendera ingatanku. Aku menyerah. Ujian kali ini aku pasrah.

Bukan berarti aku tidak bisa. Aku paham dengan semua latihan-latihan soal yang kukerjakan. Namun, aku tidak yakin jika aku bisa cukup berkonsentrasi mengerjakan soal ujian.

Benar saja. ketika aku mengerjakan soal ujian, isianku banyak yang D atau C. Padahal jelas yang kumaksud bukan itu. Untungnya, karena aku terbiasa mengerjakan soal dengan cepat, aku punya cukup waktu untuk koreksi sesaat. Dan aku terkaget ketika isian lembar jawaban milikku banyak yang melenceng dari yang kuniatkan.

Soal yang seharusnya kujawab A atau B atau E aku jawab C atau D. Aku ingat ketika aku mengerjakan soal, aku teringat tentang Dwi. Mungkin karena itu tanganku berkhianat dan mengisi kolom D (D for Dwi?). Pun ketika aku bermaksud mengisi jawaban yang lain selain C, tanganku bergerak otomatis menyilang C. Karena teringat gadis ayu jelita itu. aku Cemburu. Jadi C (C for Cemburu) lah pilihanku.

Untung saja fokusku tidak selalu terbagi seperti itu. Namun ujian kali itu, adalah ujian yang paling menyiksa untukku. Dengan segala ingatan-ingatan itu juga distraksi-distraksi tak penting itu, untungnya nilai ujianku baik-baik saja. Syukurlah. Nyaris saja.

Aku tak pernah berhenti bersyukur atas karunia kepintaran dan otak encer yang telah dianugerahkan Gusti Allah padaku. Untunglah aku terbiasa mengerjakan latihan soal-soal try out secara cepat. Jadi aku masih memiliki waktu mengoreksi jawaban-jawaban ‘kacauku’ dulu. otomatis nilai-nilaiku tidak seburuk dugaanku. Alhamdulillah..

Tahun itu aku lulus SMP dengan bekal yang cukup untuk masuk SMU negeri. Aku langsung diterima tanpa masuk daftar tunggu. Aku senang. Hatiku riang. Walau sedih yang kurasa masih terngiang. Ingatan memori itu masih terbayang.

Tahun itu aku sadar akan cintaku pada seorang pria. Satu pria sebenarnya. Walau aku tak tahu apa dia memendam rasa yang sama. Namun aku percaya, dihatiku, ingatan itu juga dirinya tak akan mudah sirna begitu saja. Di tahun itu, Cintaku layu sebelum bertumbuh. Aku rapuh.

****

CERITA DARI ADIK

Sejak lulus SMP dulu, aku lebih pendiam dan mengurung diri, menjauhkan diri dan pergaulanku dari teman-teman sebayaku dulu. Aku merasa aku berbeda. Aku merasa aku berdosa. Dosa yang selalu kuratapi dihari-hari awal SMU-ku dulu.

Aku gamang. Setiap melihat pria tampan aku merasakan ketertarikan datang. Tidak seperti rasaku untuk Dwi seorang. Namun cukup membuatku meradang. Aku merasa jalang. Mengamati setiap paras tampan rupawan mataku jelalatan. Cukup. Hentikan. Untungnya sikap pendiamku berguna menutupi perbedaanku dengan teman-teman satu angkatan.

Masa SMU kulalui biasa-biasa saja. Tidak ada gejolak berarti. Nilai-nilaiku masih tetap terjaga. Sejak kelas X, aku selalu masuk kelas unggulan. Namun tidak pernah juara kelas. Karena aku malas. Syukur-syukur masih tetap dijajaran 10 besar di kelas. Kecuali di kelas XI.

Di kelas XI aku sama sekali tidak mendapat peringkat/ranking. Karena sebagian gurunya membuatku jengah. Membuatku uring-uringan.

Kelasku memang kelas unggulan, namun bukan berarti kami luar biasa pintar atau jenius bukan? Akan tetapi sebagian guru dengan seenaknya menganggap kami memiliki kepintaran di atas murid-murid kelas lainnya. Sehingga dikala mereka mengajar, mereka dengan mudahnya hanya menyuruh kami maju dan mengerjakan soal tanpa pernah mengajari terlebih dahulu. Sebagian guru itu baru mulai mengajari ketika dirasa perlu dan soal-soal yang kami kerjakan dibahas ulang. Itu menyebalkan. Aku meradang. Aku tak senang.

Sudahkah kubilang jika aku itu moody person? Well, kukatakan sekarang, jika aku memang amat sangat moody sekali. Nuansa hatiku bisa berubah tiba-tiba dan itu menyebalkan. Mood-ku selama kelas XI dulu berada dititik jenuh. Semua mata pelajaran terasa keruh, tidak menarik dan lusuh.

Namun anehnya, nilai-nilai yang ada dikelas unggulan ini termasuk paling tinggi di sekolah ini. Satu angkatanku itu memiliki nilai yang fantastis. Bahkan nilai terendah di kelasku bisa berbuah peringkat 10 dikelas lain. Sedang nilaiku, bisa berbuah peringkat 2 atau bahkan satu dikelas lainnya juga. dan itu menyebalkan. Kenapa? Karena dikelasku aku termasuk yang bernilai standar walau tidak pernah menjadi 10 terbawah tentu. Andai aku masuk kelas lain waktu itu.. Huuffth..

Hanya di kelas XI itu aku keluar dari sistem peringkat. Karena ketika aku masuk kelas XII, Peringkat itu datang kembali padaku. Yang kusambut dengan uluran tangan penuh haru. Aku rindu peringkatku.

Selama periode SMA-ku aku jarang mendengar kabar dari my sweet kiss memory Dwi Putra Sugiantoro. Seolah dirinya lenyap ditelan waktu, terlupakan dari ingatanku. Hanya sesekali saja aku mendengar kabarnya dari Toro sang adiknya itu.

Selentingan kabar dari Toro menguatkan hasratku untuk bisa melupakan hasratku untuknya. Cinta yang tak sempat tumbuh itu, memori yang telah layu dulu, bahkan ‘monumen’ kami pun telah lenyap tak berbekas, tak ada lagi tanda-tanda keberadaannya. Tak tersisa. Yang dulu terasa indah kini telah hampa.

Kabarnya Dwi sudah memiliki kekasih. Banyak kekasih. Karena kekasihnya berganti-ganti sejak SMP dulu. Namun kali ini, sepertinya sudah ada kekasih yang telah satu tahun lebih dipacarinya. Aku gerah namun pasrah. Ternyata rasa itu masih ada. Masih sangat terasa. Hatiku merana.

Semua kabar itu kujadikan pegangan untukku maju. Tak kubiarkan diri meratapi hal-hal semu yang tak pasti dan berujung buntu. Ketetapanku hanya satu. Rasa ini akan kusimpan selalu. Disudut terdalam relung hatiku. Biarlah dia membeku dan menjadi kisah masa lalu.


**

Hari libur sekolahku, setelah ujian itu, Toro berkunjung ke rumah menemui adikku. Umurnya memang sepantaran adik laki-lakiku. Aku mendengarnya sedang mengobrol dengan emak dan adikku di bawah. Segera aku turun tangga. Aku mendengar sekilas kata-kata mereka. Kata-kata yang menghentikan aliran nafas yang tercekat seketika. Pikiranku buntu tanpa daya. Juga tubuhku bergetar luar biasa sekaligus lemah lunglai tanpa terasa. Aku terluka.

Toro mengabarkan jika Dwi akan menikah. Karena desakan pihak wanita yang tidak ingin melihat anak mereka berpacaran lama-lama. Padahal setahuku Dwi masih sekolah. Dwi mengambil jurusan perhotelan waktu itu. Mengikuti jejak ayahnya. Dasar wanita edan, bisa-bisanya dia ingin memonopoli Dwi secepatnya. Tidak pedulikah wanita itu jika Dwi masih sekolah dan belum bekerja? Bodoh. Mau makan apa mereka? Cinta? Makan itu cinta..!! Aku marah karena resah.

Kabar ini menghantamku sedemikian rupa. Kukuatkan hati. Kumantapkan kaki. Aku memang telah berniat untuk belajar melupakannya. Namun kabar itu tentu saja mengguncangkanku begitu rupa. Bagaimana tidak? Dwi masih sekolah for God sake..!!

Mungkinkah si wanita telah berbadan dua? Mengapa begitu cepat sekali ingin menikah? Segampang itukah seseorang melangsungkan pernikahannya? Tinggal ke KUA dan semua masalah selesai saat itu juga? Dimana otak mereka? Aku kecewa. Aku marah.

Dengan langkah pasti kusambut Toro dengan wajah berseri. Kelewat terlalu berseri sepertinya. Aku tak peduli.

Kutanya kabarnya, tidak kutanya kabar Dwi. Sengaja. Sanggupkah aku mendengar kata itu untuk kedua kali? Maaf aku sedang tidak ingin disakiti. Cukup sekali. Dan tolong jangan lagi. Aku bisa gigit jari sambil menari-nari. Lalu bernyanyi dengan suara lirih..


I can’t forget you when you’re gone
You’re like a song
That goes around in my head.
And how I regret its been so long
Oh what went wrong?
Could it be something I said?

Time.. Make it go faster or just rewind
To back when I’m wrapped in your arms.
All afternoon long it’s with me the same song
You left a light on inside me, My Love.
I can remember the way that it felt to be
Holding on to you.

I can’t forget you when you’re gone
You’re like a song
That goes around in my head.
And how I regret its been so long
Oh what went wrong?
Could it be something I said?

Time.. Make it go faster or just decide
To come back to my happy heart.
(LENKA- LIKE A SONG)


Lagu tante Lenka ini seolah representasi perasaanku terhadap seorang Dwi yang luar biasa tampan menawan. Keberadaannya Like a Song yang selalu terdengar mengalun dikepalaku. Dengan suara merdu mendayu-dayu, membuat lidah kelu dan menyayat hati menjadi pilu. Lagi. Aku rapuh.

Aku enyahkan sejenak segala pikiranku dari berita itu. Aku sedang tidak ingin mengharu biru. Harapanku memang telah lama hilang sejak benih cintaku tak sempat bertumbuh. Rasaku pun telah lama dibuat layu. Aku relakan semua rasaku. Sejak itu kututup pintu hatiku untuk seorang lelaki yang begitu dekat denganku dulu. Seorang Dwi Putra Sugiantoro kurelakan dirimu dari hatiku.

****


1 komentar: