Sabtu, 23 Mei 2015

Lanang Part I

Oya, cerita ini tentang gemblak (apaan toeh??)...
Oke, gemblak adalak tradisi yang ada dikalangan seniman reog ponorogo. Di ponorogo jawa timur, para warok (??) merawat dan menyayangi anak lelaki umur 12-16 tahun untuk dijadikan gemblak. Mereka merawat gemblak untuk menjaga kesaktian, namun pada kenyataan nya, gemblak juga sering dijadikan alat pemuas nafsu para warok. Sebab warok, untuk tetap sakti dilarang bersetubuh dengan wanita. Jadilah gemblak itu jadi pelampiasan.
okeyy.. Cerita dimulai... Dan postingan akan segera dikirim. Matur suwun....

PROLOG

Asap rokok mengepul memenuhi ruangan. Seorang bocah lelaki berdiri diantara kerumunan orang yang membentuk lingkaran. Diantara kedua kakinya, terdapat kuda anyam yang tergolek lunglai. Sesaat, sunyi. Hanya terdengar desau angin yang memekik. Lantas gamelan pun mulai berdenting. Mekin keras. Makin keras. Si bocah lelaki mulai menari, gerakan tangannya gemulai seirama alunan kendang dan kenong. Kepalanya menggedik seirama gong yang ditabuh kencang. Salompret melengking. Seruling memekik. Kuda anyam perlahan mengayun. Si bocah lelaki berputar dan kian larut dalm tari jathilan.

note; salompret: semacam seruling panjang yang ujungnya seperti bentuk kumis, biasa digunakan untuk mengiringi tarian reog bersama kenong, kempul dan gong.

jathilan: nama lainnya tarian jaran kepang. Merupakan bagian dari pertunjukan tari reog. Biasanya ditarikan oleh wanita. Tapi pada jaman dulu, penari jathilan adalah lelaki.

(SIJI)

PONOROGO, JAWA TIMUR. 1974.

MATAHARI terkatung diatas langit. Baru saja ia terbangun dari persembunyiannya di gunung Pringgitan. Sesekali angin mendesau menghempas ranting-ranting Mahoni yang kering.

Kelas kami senyap. Sunyi. Kami semua hanya terdiam saat Bu Warniti, wali kelas kami pagi itu menanyakan Waluyo, si ketua kelas yang tak kelihatan batang hidungnya. Biasanya ia paling pagi datang ke kelas ini. Namun hingga sekarang ia belum datang juga.

Tak seorangpun dari kami tahu kemana si Waluyo. Biasanya kalau dia sakit, pasti ibunya akan datang memberitahu. Tapi sekarang, ia menghilang tanpa pemberitahuan sama sekali. Aneh.

"Masa ndak ada yang tahu si waluyo kemana?".
Bu Warniti kembali menanyakan pertanyaan itu kepada kami. Tapi sekali lagi ia tak menemukan jawaban. Kami hanya diam. Karena memang kami tak tahu dimana si ketua kelas itu berada.

"Yawes (yaudah). Kalau begitu, pimpin doa temen- temen kamu, Ndar." Bu Warniti menunjuk kearahku. Aku, yang notabene wakil ketua kelas langsung kebagian menyiapkan anak-anak berdoa sebelum memulai pelajaran.
***

Teng!teng!teng!
Lonceng sekolah kami, yang terbuat dari potongan rel kereta api itu berbunyi. Tanda pulang sekolah. Aku segera mengemasi buku, petelot (pensil),dan peralatan lain kedalam tas warna hitamku begitu guru terakhir meninggalkan kelas.
Aku hendak melangkah pulang, namun langkahku terhenti. Aku mendengar si Santoso dan kawan- kawannya membicarakan Waluyo.

"Eh,Eh, tau ndak si Waluyo kenapa ndak mlebu sekolah hari ini?", Santoso yang berbadan gemuk itu naik keatas meja, menghadap ke teman-temannya seolah sedang pidato.

Aku menghampiri mereka.
"Emange si Waluyo ngapo ra mlebu?", tanyaku.

(emangnya kenpa si waluyo gak masuk?)

Santoso menatapku dan teman-temannya. Kami terdiam. Menunggu jawaban darinya.

"Tadi pas aku berangkat sekolah, aku kan lewat ndek (di) rumahe si Waluyo. Aku denger- denger dia mau pindah ke Dolopo. Dia mau dijadikan gemblak sama Warok Sentani. Itu, lho, yang punya sanggar reog yang terkenal itu."


"Gemblak, gemblak kui opo? Panganan sing songko ketan trus diwei kambil karo gulo?", selorohku karena tak tahu apa yang sedang dibicarakan Santoso.

(gemblak itu apaan? Makanan dri ketan yang dikasih kelapa sama gula?)

Tiba-tiba Santoso menatap tajam ke arahku. Aku terpaku. Tatapannya seperti harimau yang hendak menerkam mangsa.

"heh goblok!Gemblak itu ya kamu itu, Ndar."

"Aku? Maksudmu?"

"Kamu kan dirawat sama Pak Lek Danu. Dia bukan siapa-siapa kamu, sodara juga bukan. Tapi dia mau merawat dan menyekolahkanmu. Apalagi kalo bukan menjadikanmu sebagai gemblak. Menjadikan kamu sebagai simpanan, sebagai klangenan (jimat)."

Dheg!
Tiba-tiba aku gentar mendengar ucapan Santoso barusan. Jantungku berdegup. Nyaris tak dapat bicara.

"Taa..tapi pak lek merawatku karena kasihan sama aku, ndak ada alasan lain."

"Sekarang dia hanya merawatmu karena kasihan, tapi sebentar lagi, kalo kamu naik kelas dua, kalo umurmu sudah 13 tahun, apa kamu yakin Pak Lek mu itu cuma merawatmu sebatas kasihan?". Santoso menyeringai.

Aku tak tahan. Sungguh-sungguh tak tahan jika harus mendengarkan perkataan Santoso lebih lama lagi. Aku benar-benar tak sanggup mendengarkan dia menjelek-jelakkan Pak Lek. Aku bergegas pergi, sembari menyambar tasku secepat kilat. Meninggalkan Santoso dan teman-temannya yang masih duduk terbengong.

"Nyapo bocah iku".
(anak itu kenapa?).

***
Brakk!
Aku membanting lawang (pintu) dengan keras begitu sampai rumah. Aku bergegas masuk ke kamarku tanpa memperdulikan Pak Lek yang sedang menghirup 'tingwe' di kursi tamu. Aku membanting tas begitu masuk kamar. Tanpa melepas seragam biru-putihku, aku hempaskan tubuh kecilku diatas kasur, aku menangis sesenggukan. Aku hanya ingin menangis. Tak ada hal lain.

"Lho, lho,lho, muleh-muleh kog nyludur wae to, Ndar? Sragame ra dicupot sisan, ono opo to Le?" (lho, lho, pulang2 kog nyelonong aja to ,Ndar? Mana seragamnya gak dilepas lagu, ada apa to, Nak?), kudengar langkah Kaki Pak Lek memasuki kamarku. Ia mendekat dan duduk di sebelahku. Sementara aku masih tengkurap di atas kasur, menyembunyikan tangisku.

"Koe nangis to, Ndar?", Pak Lek mengelus lembut kepalaku.

"Pak Lek?"

"Iyo.."

"Apa benar, Pak Lek merawatku cuma buat menjadikan ku sebagi gemblak?", kuberanikan mengangkat wajah, menatap lelaki di hadapanku.

"Kenapa kamu bisa ngomong seperti itu to, Ndar?"

"Kata ne Santoso, Pak Lek merawatku karena pengen menjadikan aku sebagai jimat, sebagai simpanan. Apa itu benar Pak Lek?".

"Uwes lah,Ora usah dirungokne opo jare Santoso."

(sudahlah, gak usah dengerin omongan Santoso)
Pak Lek mencoba menenangkanku. Dengan lembut dielusnya kepalaku. Ia paling tahu, bahwa segala kegundahan hatiku bisa seketika sirna oleh satu usapan lembutnya.

Namanya Danu Sentani Satyodhewo. Tapi ia lebih suka aku memanggilnya Pak Lek Danu. Umurnya nyaris empat puluh tahun. Ia selalu mengenakan blangkon dan batik kemanapun ia pergi. Diatas bibirnya, terdapat kumis tebal yang menjadi simbol seorang warok.

Pak Lek yang merawatku sedari kecil hingga sekarang. Aneh memang. Pak Lek tak punya hubungan saudara denganku, tapi ia mau membesarkan aku dan menyekolahkan ku. Padahal aku bukan siapa-siapa nya. Aku hanyalah anak yang lahir dari hubungan kumpul kebo ibuku dengan seorang lelaki yang tak pernah kuketahui. Ibuku pun bahkan jijik denganku. Dan menyerahkanku pada Pak Lek Danu untuk dirawatnya.

Pak Lek mengajarkan ku menari Jathilan dan Tari reog. Pak Lek mengajarkanku bagaimana menghempaskan kuda anyam, dan bagaimana menggerakan badan agar sesuai dengan irama kendang dan kenong. Dan Pak Lek, lah, yang memberiku nama yang begitu indah, Wendar Aji Sasmita.

note;
rokok tingwe; istilah untuk rokok buatan sendiri. Biasanya dibuat dari tembakau kering dicampur cengkeh yang dibungkus dengan kertas sigaret dan digulung sedemikian rupa sehingga membentuk batang rokok.

warok; dalam pertunjukan reog, warok sering disebut sebagai sosok berkumis tebal yang memakai blangkon. Biasanya memakai celana hitam dengan kolor yang berukuran super gede.

"Pak Lek itu sayang sama kamu, kalau ndak, mana mau Pak Lek waktu ibumu nitipin kamu."

Pak Lek Danu masih menghisap rokoknya. Aku duduk di sampingnya. Nyaris aku terbatuk oleh asap rokoknya.

"Memangnya kenapa kalu Pak Lek menjadikan kamu gemblak? Apa kamu ndak mau? Jadi gemblak itu enak lo." Pak Lek setengah melirik ke arahku.

"Tapi Pak Lek, aku masih ndak tahu gemblak itu opo."

"Hem... Dengerin Pak Lek. Kamu tahu kan, kalo Pak Lek ini warok?".

Aku mengangguk takzim.

"Nah, seorang warok itu wajib memelihara gemblak. Sebab itu kewajiban bagi seorang warok untuk tetap dapat mempertahankan dan meningkatkan kesaktian."

"Tapi katane Santoso jadi gemblak itu tak ubahnya menjadi simpanan, jadi jimat."

Pak Lek menatapku sambil tersenyum. Dengan lembut, diusapnya kedua pipiku.

"Jadi gemblak itu adalah tugas mulia , Ndar. Ndak sembarangan orang lho bisa jadi gemblak, harus orang -orang terpilih. Dia harus bersih, tampan, dan juga pintar."

Aku masih terdiam mendengar kata-kata Pak Lek Danu. Sekarang ia seruput kopi kotol miliknya.
"Kamu wes maem durung ,Ndar?".

(kamu udah makan belum ndar?).

Aku menggeleng. "Belum."

"Yaudah ayo kita beli sate, kamu ganti baju dulu sana, pak Lek mau ngambil pit jengki dulu."

Pak Lek berlalu, sementara aku bergegas membuka seragam SMP ku. Mengaduk- aduk isi lemariku yang terbuat dari bambu, mengambil baju kesayanganku; sebuah celana hitam dengan sulur berwarna-warni de tepiannya dan sebuah kaos bergambar Reog Ponorogo. Selepas memakai baju, segera kuhampiri Pak Lek yang sudah menunggu di depan rumah sambil menyiapkan pit Jengki nya. "Ayo, Pak Lek", ajakku.


AKU masih terpaku memandangi Pak Lek Danu. Ia terduduk diantara segerombolan lelaki sebayanya. Merek tertawa-tawa. Dihadapan mereka, tersaji kopi kotol dan singkong goreng yang masih mengepulkan asap. Sesaat aku memandangi mereka. Ternyata seperti itulah jika para warok sedang berkumpul dan ngobrol, batinku.
***
Kemudian aku melengos. Kembali menghadap ke sebuah cermin kecil di depanku. Perlahan, kuusapkan kapas basah di tangan kananku pada wajahku, mencoba menghapus sisa-sia make up waktu pentas tadi. Baru saja aku selesai menampilkan tari jathilan bersama teman- temanku. Sejenak, kupandangi pantulan wajahku pada cermin. Benar- benar sukar dipahami. Entah kenapa wajahku bisa sangat sempurna. Kedua mata yang laksana mentari terang jika membelalak. Hidung yang laksana tebing curam menggelincirkan nurani. Dan bibir tipis yang menjadi muara segala kendahan. Wajahku cantik. Tapi juga tampan.
***
"Kamu ndak ikut ngumpul sama Pak Lek mu, Ndar?".

Tiba-tiba seorang lelaki berumur sekitar sembilan belasan menghampiri dan duduk disampingku. Tangannya menyodorkan segelas teh panas dan pisang goreng. Namanya Mas Narno, dia temanku menari jathilan, dan dia....... Juga seorang gemblak. Sama sepertiku yang akhirnya menjadi gemblak Pak Lek Danu.

"Mbo..Mboten, mas. Teng mriki mawon", ucapku terbata, berusaha menampilkan bahasa krama ku sebaik mungkin.
(nggak, mas. Disini saja).

"Ooalah, yowes". Mas Narno tersenyum tipis menatapku. "Ayo dipangan gedhang gorenge".

(ayo dimakan pisang gorengnya).

"In..injih Mas, suwun".

(i..iya mas, makasih).

Sesaat Mas Narno menatap kearahku. Lama. Matanya seperti menelusuri tiap jengkal diriku. Kemudian ia tersenyum, melihat diriku yang salah tingkah oleh tatapannya.

"Pak Lek mu itu beruntung sekali, yo, Ndar". Ucap Mas Narno pelan.

"Be...beruntung piye to mas?".

(beruntun gimana to mas?).

"Ya beruntung. Dia punya gemblak yang sempurna macam kamu. Kamu itu ngganteng, pinter, penurut dan berbakti pula."
Aku tersipu mendengar kata- katanya. Mas Narno meneruskan kata-katanya. "Kamu harusnya juga bangga, Ndar jadi gemblaknya Pak Lek. Pak Lek itu terkenal paling sayang lo sama gemblaknya."

"Sampeyan ngertos saking pundi, Mas?". Tanyaku penasaran tentang Pak Lek.

(kamu tahu dari mana mas?).


"Hehehe." sekilas Mas Narno tersenyum. Ah. Senyumnya begitu menawan. Wajahnya pun tak kalah tampan. Kulitnya putih bersih dan terawat. "Dulu, Mas pernah jadi gemblaknya Pak Lek mu sebelum mas dibeli sama Warok Ludiro." Mas Narno menunjuk kearah lelaki disamping Pak Lek. "Jadi Mas tahu giman Pak Lek itu memperlakukan gemblak peliharaannya. Percayalah, kamu akan merasa beruntung."

Aku hanya mengangguk sangsi. Aku masih belum mempercayai ucapan Mas Narno. Aku memang tahu perlakuan Pak Lek terhadapku sebagai anak angkatnya memang baik, tapi aku tak pernah tahu seperti apa dia memperlakukanku sebagai gemblak.

"Mas...?", ucapku kemudian memecah keheningan.

"Ya, Ndar?".

"Apa mas ndak malu jadi gemblak? Kan banyak yang ngejek kita kalo jadi gemblak. Wong aku aja berhenti sekolah gara-gara teman sekolahku terus mengejekku."

Mas Narno terkekeh mendengar ucapanku. Dan kemudian ia menatap mataku tajam.

"Ndar, kamu tahu ndak. Ketika lelaki-lelaki Ponorogo itu lahir dari perut ibunya, mereka punya dua takdir Ndar; kalo ndak jadi Warok, ya jadi gemblak".

"Jadi, menjadi gemblak itu takdir?"

"Yah... Ndak seratus persen juga sih. Tapi bagaimanapun juga kita ndak bakal bisa mengelak. Orang kita udah dipilih. Kita udah terikat sama takdir kita sebagai gemblak kog, heheh...", Mas Narno tersenyum kecut.

(LORO)
ASMA KULA WENDAR, LAN KULA NIKI GEMBLAK

(Nama saya Wendar, dan saya seorang Gemblak)

AKU masih terpaku memandangi Pak Lek Danu. Ia terduduk diantara segerombolan lelaki sebayanya. Merek tertawa-tawa. Dihadapan mereka, tersaji kopi kotol dan singkong goreng yang masih mengepulkan asap. Sesaat aku memandangi mereka. Ternyata seperti itulah jika para warok sedang berkumpul dan ngobrol, batinku.
***
Kemudian aku melengos. Kembali menghadap ke sebuah cermin kecil di depanku. Perlahan, kuusapkan kapas basah di tangan kananku pada wajahku, mencoba menghapus sisa-sia make up waktu pentas tadi. Baru saja aku selesai menampilkan tari jathilan bersama teman- temanku. Sejenak, kupandangi pantulan wajahku pada cermin. Benar- benar sukar dipahami. Entah kenapa wajahku bisa sangat sempurna. Kedua mata yang laksana mentari terang jika membelalak. Hidung yang laksana tebing curam menggelincirkan nurani. Dan bibir tipis yang menjadi muara segala kendahan. Wajahku cantik. Tapi juga tampan.
***
"Kamu ndak ikut ngumpul sama Pak Lek mu, Ndar?".

Tiba-tiba seorang lelaki berumur sekitar sembilan belasan menghampiri dan duduk disampingku. Tangannya menyodorkan segelas teh panas dan pisang goreng. Namanya Mas Narno, dia temanku menari jathilan, dan dia....... Juga seorang gemblak. Sama sepertiku yang akhirnya menjadi gemblak Pak Lek Danu.

"Mbo..Mboten, mas. Teng mriki mawon", ucapku terbata, berusaha menampilkan bahasa krama ku sebaik mungkin.
(nggak, mas. Disini saja).

"Ooalah, yowes". Mas Narno tersenyum tipis menatapku. "Ayo dipangan gedhang gorenge".

(ayo dimakan pisang gorengnya).

"In..injih Mas, suwun".

(i..iya mas, makasih).

Sesaat Mas Narno menatap kearahku. Lama. Matanya seperti menelusuri tiap jengkal diriku. Kemudian ia tersenyum, melihat diriku yang salah tingkah oleh tatapannya.

"Pak Lek mu itu beruntung sekali, yo, Ndar". Ucap Mas Narno pelan.

"Be...beruntung piye to mas?".

(beruntun gimana to mas?).

"Ya beruntung. Dia punya gemblak yang sempurna macam kamu. Kamu itu ngganteng, pinter, penurut dan berbakti pula."
Aku tersipu mendengar kata- katanya. Mas Narno meneruskan kata-katanya. "Kamu harusnya juga bangga, Ndar jadi gemblaknya Pak Lek. Pak Lek itu terkenal paling sayang lo sama gemblaknya."

"Sampeyan ngertos saking pundi, Mas?". Tanyaku penasaran tentang Pak Lek.

(kamu tahu dari mana mas?).


"Hehehe." sekilas Mas Narno tersenyum. Ah. Senyumnya begitu menawan. Wajahnya pun tak kalah tampan. Kulitnya putih bersih dan terawat. "Dulu, Mas pernah jadi gemblaknya Pak Lek mu sebelum mas dibeli sama Warok Ludiro." Mas Narno menunjuk kearah lelaki disamping Pak Lek. "Jadi Mas tahu giman Pak Lek itu memperlakukan gemblak peliharaannya. Percayalah, kamu akan merasa beruntung."

Aku hanya mengangguk sangsi. Aku masih belum mempercayai ucapan Mas Narno. Aku memang tahu perlakuan Pak Lek terhadapku sebagai anak angkatnya memang baik, tapi aku tak pernah tahu seperti apa dia memperlakukanku sebagai gemblak.

"Mas...?", ucapku kemudian memecah keheningan.

"Ya, Ndar?".

"Apa mas ndak malu jadi gemblak? Kan banyak yang ngejek kita kalo jadi gemblak. Wong aku aja berhenti sekolah gara-gara teman sekolahku terus mengejekku."

Mas Narno terkekeh mendengar ucapanku. Dan kemudian ia menatap mataku tajam.

"Ndar, kamu tahu ndak. Ketika lelaki-lelaki Ponorogo itu lahir dari perut ibunya, mereka punya dua takdir Ndar; kalo ndak jadi Warok, ya jadi gemblak".

"Jadi, menjadi gemblak itu takdir?"

"Yah... Ndak seratus persen juga sih. Tapi bagaimanapun juga kita ndak bakal bisa mengelak. Orang kita udah dipilih. Kita udah terikat sama takdir kita sebagai gemblak kog, heheh...", Mas Narno tersenyum kecut.

"Jadi Gemblak itu tugas mulia ,Ndar. Kamu ndak perlu isin (malu)", tambah Mas Narno.

Aku yang mendengar kata- kata Mas Narno itu hanya mengangguk takzim.

"Mas tadi bilang, katanya Mas pernah jadi gemblak Pak Lek sebelum dibeli sama Warok Ludiro. Apa gemblak itu diperjual- belikan?", tanyaku penasaran dengan perkataan Mas Narno tadi.

Sesaat Mas Narno terdiam. Mencoba menemukan dan merangkai kata- kata yang tepat untuk menjelaskan kepadaku.

"Ndar."

"Injih, Mas." (ya, mas).

"Yang namanya gemblak itu. Ada yang namanya gemblak berkualitas tinggi, ada yang endak. Dan hanya gemblak terbaik yang ingin dimiliki seorang warok. Makanya, biasanya, diadakan jual- beli atau pertukaran gemblak. Biasanya mereka membayar 3 ekor sapi untuk kontrak 3 tahun", terang Mas Narno.
Aku hanya mengangguk, mencoba memahami penjelasan yang lumayan rumit untuk anak berumur enam belas tahun sepertiku.

"Tapi Mas yakin Pak Lek Danu ndak bakal gelem (mau) menukarmu dengan apapun. Mas tahu Pak Lek sangat menyayangimu."

"Ah, Mas niki iso wae", jawabku tersipu.
(ah, mas ini bisa aja).

Kami berdua kemudian saling berpamitan karena Pak Lek menghampiriku dan mengajakku pulang. Mas Narno hanya tersenyum dan melambaikan tangan.

"Ati- ati, Ndar". (hati- hati, Ndar).
***

"Kamu tadi ngobrol opo wae karo Mas Narno, Ndar?".

(kamu tadi ngobrol apa aja sama mas narno, ndar?).

Pak Lek terus mengayuh pit jengkinya menelusuri pematang sawah yang diselimuti rerumputan teki yang hijau. Sementara aku duduk di boncengan belakang, melihat butir- butir padi yang mulai menguning disekeliling.

"Mboten Pak Lek, mboten matur nopo- nopo". Kueratkan genggaman tanganku pada pinggang Pak Lek yang kokoh.

(gak pak lek, gak ngomong apa-apa).

"Tenane?". (yang bener?)

"Injih, Pak Lek."

"Kamu itu jangan terlalu deket Sama Mas Narno, Pak Lek ndak suka." Pak Lek terus mengayuh sepeda tanpa berpaling kepadaku sedikitpun.

"Emange wonten punopo Pak Lek? Nopo mergi Mas Narno niku mantan gemblak Pak Lek? Terus Pak Lek mboten seneng?".

(emangnya ada apa Pak lek? Apa karena mas narno mantan gemblak pak lek, terus pak lek gak suka?).

Pak Lek terdiam sebentar. Sementara aku kian penasaran.

"Pak Lek cuma ndak mau kalo Mas Narno itu mbujuki (mengadu-domba) yang ndak - ndak ke kamu tentang Pak Lek. Pak Lek ndak mau kamu lantas jadi benci Pak Lek nantinya."

"Pak Lek, Mas Narno itu baik. Dia ndak sedikitpun menjelek- jelekkan Pak Lek. Malah dia muji- muji Pak Lek. Sudahlah Pak Lek ndak usah curiga begitu sama Mas Narno." ucapku ketus. Tak terima kalau Mas Narno dibilang suka menjelek- jelekkan orang.

"Pak Lek curiga karena Pak Lek ndak mau Wendar benci sama Pak Lek."

"......", aku terdiam mendengar perkataan Pak Lek.

"Karena Pak Lek sayang sama kamu, Ndar."

"Aku juga sayang sama Pak Lek".
Jawabku setengah tersipu.


Sepeda kumbang yang kami tunggangi terus melaju diantara jalanan yang berkelok. Menerobos udara panas yang membakar kulit. Aku semakin erat memeluk pinggang Pak Lek. Sementara ia terus mengayuh. Peluhnya menetes. Tapi ia tak perduli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar