Sabtu, 23 Mei 2015

Lanang Part III

(WOLU)
AKU.... JUGA SAYANG PAK LEK

PISAU takkan pernah tajam sebelum diasah. Begitupun diriku. Sebelum mendengar perkataan Mas Narno waktu itu, aku seperti manusia normal yang tak bisa melihat sekelilingnya. Padahal aku tidak buta. Namun aku tak pernah bisa melihat realitas yang harus kuhadapi. Aku tak pernah memahami bagaimana tugas dan peran seorang gemblak pada waroknya. Dan yang paling parah...... Aku tak pernah tahu bagaimana rasa sayang Pak Lek terhadapku. Entah sudah keberapa kalinya aku mencoba menghitung kebaikan Pak Lek padaku. Namun aku agal. Kebaikan Pak Lek kepadaku tetap tak terhitung.
***
"Sampun, Pak Lek linggeh mawon teng kursi. Ben Wendar sing ndamel kopi. Mangke Wendar aturaken marang Pak Lek."
Aku bergegas merampas panci perebus air dari tangan Pak Lek saat Pak Lek hendak meletakkannya pada kompor.

(sudah. Pak lek duduk saja. Biar wendar saja yang buat kopi. Nanti wendar enterin ke pak lek).

Pak Lek hanya tersenyum dan menatapku heran. Baginya, aku mendadak aneh. Padahal sebelum- sebelumnya, aku hanya mau melakukan sesuatu jika diperintahnya. Namun sekarang, tiba- tiba saja aku berubah seratus delapan puluh derajat. Aku memang sudah bertekat. Tekat bulat. Aku harus membalas semua kebaikan Pak Lek selama ini. Aku sudah memaafkannya. Dan sekarang giliranku untuk membuktikan kalau aku adalah gemblak terbaiknya. Aku juga harus membuktikan pada Pak Lek, kalau aku juga menyayanginya.

"Kamu ini kenapa to, Ndar, kog jadi aneh gitu." pak Lek menjatuhkan dirinya ke kursi sambil tetap terheran menatapku.

"Mboten nopo- nopo Pak Lek. Moso ngewangi Pak Lek iku gawean aneh???". Kilahku.

(gak kenapa- napa pak lek. Masa ngebantuin pak lek itu perbuatan aneh?).

"Ya ndak sih. Cuman ndak biasanya aja kamu kayak gitu , Ndar. Memang e Mas Narno ngomong apa sama kamu kemarin sampe- sampe kamu mau maafin Pak Lek dan mendadak jadi baik begini."

Kuletakkan kopi dan gula pasir kedalam gelas sebelum menuanginya dengan air putih yang sudah mendidih. Ku aduk sebentar dan segera kuangsurkan pada Pak Lek yang terduduk.

"Mas Narno ndak bilang apa- apa sama Wendar. Dia cuma ngasih tau wendar kalau Pak Lek itu sayang Wendar."

Pak Lek tersenyum. Wajahnya dinaungi kelegaan.

"Apa bener Narno ngomong begitu sama kamu?"

Aku mengangguk. "Iya Pak Lek."

"Kamu ndak bohong?"

Aku menggeleng. "Ndak Pak Lek. Selama ini Pak Lek tuh udah berprasangka buruk sama Mas Narno. Mas Narno itu baik Pak Lek."

Sekilas Pak Lek Danu menatapku. Matanya yang tajam menelusuk akal ku. Membuatku terpaku bisu.

"Iya.... Mas Narno orang yang baik. Pak Lek udah salah sangka sama dia selama ini."

Aku tersenyum. Ini satu langkah yang baik. Pak Lek sudah mulai bisa mengetahui kebaikan Mas Narno. Aku lega. Mas Narno memang orang baik, jangan sampai ada orang yang mengtakannya jahat.

"Omong- omong, kamu nanti latihan ke sanggar ndak?".

"Latihan Pak Lek, memangnya kenapa?."

"Ndak kenapa- kenapa. Hari ini Pak Lek ndak latihan ke sanggar. Pak Lek mau ke Dolopo, ngambil pinjeman gamelan dari sana. Nanti Pak Lek anterin kamu saja y, Ndar. Kamu berani kan latihan tanpa -Pak Lek?".

"Injih Pak Lek". (iya Pak Lek). Aku mengangguk dan bergegas menuju kamarku untuk mengambil perlengkapan latihan tariku.

***
AKU berjalan pelan sambil menyusur ke segala penjuru koridor ruangan sanggar. Masih sepi. Hanya sekitar dua-tiga orang yang nampak sudah datang untuk latihan. Mataku terhenti pada sebuah papan di atas pintu masuk ruang latihan. Papan itu bertuliskan; 'SANGGAR REOG PONOROGO ANGUDHI LARAS' dalam aksara jawa. Dibawahnya, terdapat semacam majalah dinding yang memuat banyak foto- foto kegiatan sanggar. Mataku menatap sebuah foto hitam putih yang tertempel di mading tersebut; fotoku sedang menari dengan kawan- kawanku pada acara 'Grebek Sura' beberapa bulan lalu. Aku tersenyum sebentar. Kemudian mataku kembali menelusur barisan- barisan foto tanpa warna itu. Dan berhenti lagi pada sebuah foto; Foto Pak Lek dan tiga orang lelaki sedang mengangkat sebuah batu berukuran sebesar kepala manusia. Dibawah foto itu, tertulis 'PELETAKAN BATU PERTAMA SANGGAR REOG ANGUDHI LARAS', juga dalam huruf jawa. Aku mendengus. Ah, rupanya Pak Lek adalah orang penting di sanggar ini.
***
"Ndar.....".
Sebuah suara khas tiba- tiba membuyarkan lamunanku. Aku menoleh kearah sumber suara. Dan nampaklah seorang bocah lelaki dengan tinggi sekitar 171 cm dengan paras tampan berdiri dihadapanku. Di kepalanya, bertengger sebuah blangkon yang menyempurnakan wajahnya. Tubuhnya yang kokoh dibebat basofi bergaris dan celana pendek warna hitam.

"Bowo... Kog kamu ada disini?", tanyaku pura- pura.

"Hehe.... Aku lupa ngasih tau kamu Ndar kalo...."

"... Kalo kamu juga latihan nari Jathilan disini", cerocosku memotong sebelum Bowo sempat menyelesaikan omongannya.

"Dari mana kamu tahu kalau aku suka latihan disini?". Bowo menatapku penasaran.

"Mas Narno yang bilang.... Kog kamu ngapusi (bohongin) aku sih, Wo... Katanya kamu ngeliat aku kalau pulang sekolah..."

Bowo hanya tertawa. "Hehe.... Maafin aku Ndar kalo ngebohongin kamu. Habisnya aku jengkel sih kamu ndak kenal sama aku, padahal kita sering latihan bareng, tapi aku ndak diperhatiin. Jadi ya terpaksa aku ngebohongin kamu... Hehehe....."

Aku ikut tertawa dengannya. Seperti sebelum- sebelumnya, ia mengendalikan seluruh panca inderaku. Entah bagaimana caranya, ia selalu bisa menghanyutkanku.......

Baginya, aku seperti layang- layang yang tertiup angin. Ia membuatku pontang- panting. Ia membuatku tak berdaya.

"Aku mau bicara sesuatu sama kamu Ndar......." Tiba- tiba Bowo menatapku serius.

"Bicara apa Wo?".

"Ehmmm...... Anuu......."

Tapi belum sempat Bowo menyelesaikan perkataannya, terdengar suara Pak Dhe Lindhu, pemimpin sanggar sekaligus guru kami menyuruh kami semua untuk segera masuk ke ruang latihan. Kami baru tersadar kalau ternyata anak- anak lain sudah pada datang.

"Ya sudah... Kita masuk dulu... Kita latihan dulu.... Nanti saja ngobrolnya... Hehehe". Ajak Bowo sambil terus menampilkan senyum manisnya.

"I... Iya sudah". Aku mengagguk salah tingkah olehnya.

Kemudian kami berdua beranjak. Berjalan beriringan menuju ruang latihan. Aku masih memikirkan perkataan terakhir Bowo tadi. Dia mau bicara apa ya......... Aku melangkahkan kaki. Tapi masih penasaran.

Umpama sliramu sekar melati
Aku kumbang nyidam sari
Umpama sliramu margi, wong bagus
Aku kang bakal ngliwati

Seumpama dirimu adalah bunga melati,
Aku adalah seekor kumbang yang sedang jatuh hati,
Seumpama dirimu adalah jalan, kekasih,
Aku lah yang akan melewatinya,


......."dug..dug...tereret...dug..dugg...tererererereret....... Plak....plak...tung... Tung... Dug......"
~~~
GENDANG dan kempul berdentang riuh. Kenong dan Salompret menjerit perlahan. Diikuti alunan kempul dan aneka gamelan lain, kami mulai menggerakkan badan.
***
AKU, Bowo, dan para penari Jathilan lain mulai mengayunkan tangan dan kaki kami. Perlahan, leher dan kepala kami menggedik. Kaki menghentak. Kuda anyam pada kedua kaki kami mengibas perlahan. Kami hanyut dalam tarian. Hanya ada suara tetabuhan. Hanya ada langgam jawa. Dan hanya ada suara Pak Dhe Lindhu yang memberi aba- aba pada kami.

"Siji-loro...loro-telu...telu-papat....papat-limo.........."

Sepanjang kami semua latihan, aku tak henti- hentinya melirik Bowo. Aneh. Seketika saja aku jadi kagum dengannya. Ia begitu lihai menarikan setiap gerakan tari jathilan. Ia juga mahir memain- mainkan kuda anyam itu. Aku hanya bisa menelan ludah. Aku kagum padanya.
***
....tek tek tek... Tangg..tangg... Dukk.duk... Dukk... Jraanggggg...........

Gamelan berakhir. Aku terkapar duduk di lantai kayu. Disampingku, Bowo menenggak kendi (tempat air) berisi air putih yang tadi dibawakan Pak Lek untukku. Tetesan air membasahi bibirnya, turun ke dagu dan membasahi sebagian lehernya. Aku menatapnya. Menelusuri setiap lekuk wajahnya yang indah. Wajahnya putih bersih. Dengan garis wajah yang begitu lelaki. Pada dagu dan atas bibirnya, sudah muncul bulu- bulu kumis yang halus. Ah. Tiba- tiba jantungku berdesir.

"Kamu sudahg berapa lama latihan nari disini, Ndar?". Bowo memecah lamunanku tentangnya.

Aku terkesiap. Salah tingkah. Aku tak mendengar ucapan Bowo.

"Eh... Kamu tadi ngomong opo, wo?heheh, maaf aku ndak denger."

Bowo tersenyum menatapku.

"Kamu kog bengong gitu to Ndar ngeliatin aku. Kenapa to? Aku jelek ya? Apa aku medheni (nakutin)?".

"Eh.... Ndak, ndak kog, siapa yang bilang kamu jelek? Aku cuma lagi pengen ngelamun aja kog....."

Duh ndar.... Kamu goblok eram (banget) le... Ngelamun kog PENGEN..... Duh.... Bowo pasti curiga sama aku. Gawat kalo Bowo tahu aku ngeliatin dia.... Ucapku dalam hati.

"Kamu sudah berapa lama latihan nari di sanggar ini?", Bowo mengulangi pertanyaannya.

"Oh.." mulutku membulat. "Aku sudah hampir lima bulan latihan disini, memang kenapa Wo?".

"Ah, ndak apa- apa kog." Bowo memalingkan pandangannya dariku. Sekarang wajahnya menghadap ke depan. Rupanya wajahnya tetap tampan meski dilihat dari samping.

Sesaat kami diam. Aku memperhatikannya. Sedang dia tetap menerawang ke depan. Hingga tiba- tiba.....

"Sudah berapa lama kamu jadi gemblaknya Pak Lek Danu, Ndar?". Bowo berkata seolah berbisik. Pelan.

Aku terkesiap. Kenapa Bowo tiba- tiba menanyakan hal itu.

"Apa kamu bahagia Ndar jadi gemblak? Bagaimana menurutmu?". Bowo terus memberondongku sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya satu pun.

"Aku rasa.... Aku tak pernah suka menjalani kehidupan sebagai gemblak.....".

Bowo menatapku tajam. Menunggu jawaban dariku.

"Kenapa kamu nanya kayak gitu,Wo?". Aku menatapnya dengan tatapan heran.

"Ndak kenapa- kenapa Ndar, aku cuma pengen tau perasaan kamu saja. "

Aku tertegun. Bowo ingin tahu perasaan ku? Ah. Jantungku berdegup kencang. Lebih dari kecepatan angin.

"Aku bahagia kok jadi gemblaknya Pak Lek Danu. Aku selalu bahagia kalau didekat dia." Jawabku singkat. Kulihat Bowo belum puas akan jawabanku.

"Kamu bohong, Ndar."
Bowo menatapku tajam.

"Darimana kamu tahu kalau aku bohong?".

Kukeraskan suaraku. Sehingga tatapan Bowo berubah.

"Ndak ada seorangpun lelaki Ponorogo yang senang jadi dgemblak Ndar...."

(SONGO)
ANGURI- URI KABEBASAN
(Mengelu- elukan kebebasan)

KEMBALI kupejamkan mata untuk kesekian kalinya. Namun sial. Aku tetap gagal. Mata ini kian sulit untuk terpejam. Entah kenapa kepalaku dipenuhi kata- kata Bowo tadi siang.

"Ndak ada seoranggpun lelaki Ponorogo yang mau dijadikan gemblak, Ndar".

Perkataan itu seolah menggedor-gedor pintu pemikiranku. Memelintir sel- sel otakku hingga kepalaku pusing. Pening. Aku menggelepar. Nafasku berat. Aku bangkit dari amben. Kutengok Pak Lek, dia sudah tidur.

"Apa perkataan Bowo itu benar?", tanyaku dalam hati.

Ah. Sial. Kenapa aku jadi memiirkan dia. Dan kenapa pula aku harus pusing hanya karena perkataannya yang belum tentu benar. Kurasa aku memang sudah gila.

"Aku....... Aku........ Aku seneng karo koe..... Ndar..........".

(a....a...aku suka sama kamu, ndar.........)

Ucapan itu terucap pelan dari bibir tipis Bowo. Dia menghadap sebuah bantal guling. Seolah sedang berbicara padanya. Ia tersenyum sebentar. Kemudian dilemparnya guling itu hingga jatuh dari amben.

"Kamu jangan ngayal buat mendapatkan Wendar, Wo.... Kamu itu laki- laki. Wendar juga laki- laki, apa pantas jika kalian berdua saling mencintai?". Ucap Bowo pada dirinya sendiri.
Tiba- tiba terdengar suara pintu diketuk. Membuyarkan Bowo dari lamunan indah. Segera ia bangkit berdiri untuk membuka pintu.

Klek! Pintu terbuka. Dan nampaklah seorang pria yang berusia sekitar empat puluh dua dengan balutan kaos hitam dan kolor.

"Pak Dhe..... Ada apa?". Ucap Bowo kepada lelaki itu.

"Kamu yang ada apa. Kenapa ndak ikut turun sama yang lainnya? Kamu ndak mau ikut makan?". Lelaki itu mendekati Bowo dan mndekatkan wajahnya pada wajah Bowo. Ia ingin mencium pipi Bowo. Namun Bowo segera menghindar.

"Jangan lakukan itu disini Pak Dhe... Malu kalau dilihat sama yang lain...." ujar Bowo rikuh.

"Lho... Kenapa? Kamu dan yang lain kan sama- sama gemblak Pak Dhe... Kenapa mesti malu?".

Lelaki yang dipanggil 'PaK dhe' itu melingkarkan tangannya pada pinggul Bowo. Sekali lagi Bowo menepisnya.

"Ya udah Pak Lek duluan, nanti aku nyusul ke bawah."

Si lelaki empat puluh dua tahun itu menatap heran pada Bowo. Menyusurkan pandangannya dari atas sampai bawah.
"Kamu ini kenapa to Wo, kog jadi aneh begini?".

"Ah.. Ndak kenapa- kenapa Pak Dhe...". Bowo mencoba tersenyum dihadapan waroknya itu.

Si lelaki menghela nafas kencang.
"Yang bener?".

"Injih." (iya). Bowo mengangguk.

"Ya wes. Tak tunggu neng ngisor karo cah- cah yo."

(yaudah, aku tunggu dibawah sama anak- anak ya?).

"Arghhh.....!".
Wendar melenguh perlahan saat Pak Lek Danu menjejam- jejam tubuh bagian belakangnya. Pak Lek terus menghentak Wendar. Kian keras, keras, dan keras. Hingga akhirnya Pak Lek mengejang..... Dan ambruk diatas tubuh Wendar.
Namun tiba- tiba seseorang mendobrak pintu kamarnya. Bowo. Dia langsung menghajar Pak Lek begitu melihat mereka bersetubuh. Tanpa ampun Bowo meninju muka Pak Lek. Dan Wendar hanya bisa berteriak menyaksikan kejadian itu.
***
"JANGANNNNNN... HENTIKANNNNN!!!!".
Wendar tiba- tiba membuka matanya dengan histeris. Nafasnya tersengal- sengal. Keringatnya membanjiri tubuh.
Ia menoleh kekanannya. Pak Lek masih tertidur pulas. Ah, rupanya ia hanya bermimpi Bowo menghajar Pak Lek.

"Bowo......... Pak Lek......". Bisik Wendar sembari mencengkeram seprai yang terbuat dari jarit berbatik suronatan.

***
AKU berjalan pada lantai kayu yang berderit- derit. Kususuri tiap jengkal jalan menuju kamarku. Dan kini aku berdiri tepat didepan pintu kamarku. Kubuka pintu kamar yang terbuat dari triplek bercat cokelat tua. Pintu terbuka dan kulangkahkan kakiku masuk kedalam ruangan berukuran sedang itu.
***
Kakiku menjejak. Tanganku menyusur. Kutatapi amben yang telah lama tidak kutiduri ini. Seprai dan bantal- bantalnya masih tertata rapi. Aku tersadar. Memang akhir- akhir ini aku lebih sering tidur bersama Pak Lek dikamarnya. Aku sudah menjadi teman tidur Pak Lek. Menjadi bantal dan guling baginya.

Tanganku terus menyusur. Dan berhenti pada sebuah foto kecil hitam-putih yang dibingkai anyaman rotan. Aku tersenyum kecut. Fotoku berseragam merah- putih. Foto dimana untuk pertama kalinya aku disekolahkan Pak Lek . Kala itu umurku enam tahun. Aku baru masuk kelas satu SD.
***
Disamping foto itu, terdapat foto berukuran sama yang juga terbingkai anyaman rotan. Foto seorang wanita tersenyum dalam balutan kebaya kuno. Wanita itu berdiri disamping Pak Lek Danu. Wanita itu, ibuku.
***
"Ibumu itu wanita yang cantik, Ndar..... Dia juga baik."

Aku teringat kata- kata Pak Lek bertahun- tahun lalu. Ketika aku mulai menanyakan dimana ibuku.

"Tapi sayang. Dian kurang beruntung. Dia ndak punya pilihan lain selain bekerja menjadi seorang pelacur. Dia bahkan ndak tahu siapa lelaki yang sebenarnya ia cintai, Ndar."

Aku yang saat itu masih kecil hanya menatap polos pada Pak Lek. Berharap ia menceritakan padaku lebih banyak lagi.

"Sampai akhirnya ibumu jatuh cinta sama seorang laki- laki dan hidup bersama dalam satu rumah tanpa ikatan pernikahan."

"Lalu?".

"Dan ibumu hamil kamu, Ndar." pak Lek berhenti sejenak. Menerawang- nerawang.

"Tapi..." Pak Lek meneruskan. "Tapi ketika kehamilan ibumu berusia sepuluh bulan. Ayahmu pergi meninggalkan ibumu hanya karena dia dijodohkan dengan wanita lain."

"...." aku terdiam. Beku.

"Dan sampai akhirnya kau lahir. Ibumu tak tahu harus bagaimana sebab semua sanak saudaranya mengutuk kelahiran mu, Ndar. Tak ada seorangpun dari mereka yang mau merawatmu. Karena kamu anak hasil kumpul kebo."

"Sampe akhirnya ibumu bertemu dengan Pak Lek dan menitipkanmu. Aku ndak tega sama ibumu karena dia terus maksa Pak Lek buat membesarkanmu. Dan akhirnya Pak Lek mau merawatmu."

"Jadi dimana ibuku sekarang Pak Lek?".

Pak Lek menghela napas.
"Entahlah. Pak Lek ndak pernah bertemu lagi dengan ibumu, Ndar."

(SEPULUH)
SEPURANE........
(Maaf......)

BOWO mengendap- endap didepan kamarnya. Ia menjinjitkan kakinya diatas lantai kayu. Berharap langkah nya tidak menimbulkan suara. Pelan ia melewati kamar Pak Dhe Joyo. Ia mengintai padapintu yang terbuka sedikit. Pak Dhenya masih tidur.

....... Dan Bowo terus melangkah tanpa suara. Ia menuju pintu keluar. Menengok ke kanan dan ke kiri. Memastikan bahwa tak seorangpun melihatnya. Tangannya sudah menyentuh gagang pintu. Bowo tinggal menariknya saja, tapi tiba- tiba........

"Kamu mau kemana, Wo...?".

Sebuah suara terdengar dari belakang. Bowo menoleh ke arah sumber suara. Disana, tepat dibelakangnya, seorang pemuda seusianya berdiri sembari berkacak pinggang.

"Kamu mau kabur ya...?".

Segera Bowo meraih gagang pintu itu. Ia hendak berlari. Namun sial. Pemuda tadi berhasil memegang tangannya. Sehingga Bowo tak bisa lari.

"Lepaskan aku Jar.... Lepaskan... Biarkan aku pergi dari sini.... Tolong lepaskan aku....". Bowo meronta, berusaha melepaskan diri dari Anjar, pemuda itu. Namun ternyata tenaga Anjar lebih kuat darinya, sehingga apa yang ia lakukan sia- sia. Ia tetap tak bisa melepaskan diri.
***
BRUKKKK!!!!!
Tubuh Bowo dihempaskan pada lantai kayu yang keras. Dagunya menghantam lantai. Bibirnya berdarah. Ia melongok keatas. Tepat dihadapannya, Pak Dhe Joyo melihatnya dengan tatapan amarah. Ia berdiri dengan angkuh. Di sampingnya, ada tiga orang gemblak lain . Sementara Anjar, masih memegangi kedua tangannya. Menghalaunya agar ia tak kabur.

"Bowo.... Bowo.... Kamu itu bodoh apa gimana to? Orang Pak Dhe sudah memberimu segalanya lho. Pak Dhe sudah merawatmu, menyekolahkanmu, dan menghidupi mu seperti anak- anak lain. Tapi kamu masih saja mencoba untuk kabur. Emangnya Pak Dhe ini kurang apa?". Warok Joyo menghisap cerutunya sembari menatap tajam kearah Bowo.

"Ada satu hal yang ndak Pak Dhe kasih sama Bowo." Bowo masih berusaha melepaskan diri. Namun nihil.

"Opo?".

"PAK DHE NDAK NGASIH KEBEBASAN SAMA BOWO! PAK DHE SUDAH MEREBUT KEBEBASANKU! PAK DHE........."

........PLAKKK!!!
Sebuah tamparan mendarat pada pipi kanan Bowo. Pak Dhe Joyo menamparnya. Bowo tertunduk. Tubuhnya terkapar ambruk.

"Kebebasan apa yang kamu bicarakan, Wo.........".
Pak Dhe Joyo mendengus. "Sampai kapan pun kamu ndak bakal ngerti apa itu kebebasan....."

Pak Dhe tertawa. Sementara Bowo terus membenamkan wajahnya pada lantai kayu. Ia hancur. Benar- benar hancur. Wajahnya yang tampan kini lebam dan berlumur air mata. Bibirnya mengalirkan darah.

"Pak Dhe sudah merampas kebebasan Bowo... Pak Dhe sudah merampas kebebasan Bowo sebagai lelaki..........." ucap Bowo pelan.

"Hahahaha....." Pak Dhe Joyo kembali tertawa. "Siapa yang ngajari kamu ngomong pinter kayak gitu. Siapa.....?????".

Bowo diam. Hanya terdengar isakan dari balik wajahnya.

"Aku pengen bebas Pak Dhe......". Tangis Bowo kian keras. "Aku pengen menjalani kehidupan seperti anak lelaki lainnya.... Aku pengen Pak Dhe.........".

"Menjalani kehidupan seperti anak lelaki lainnya katamu? Heh, sontoloyo! Kalo kamu ditakdirin jadi gemblak, ya sudah jalani saja. Ora usah neko- neko. (gak usah macem- maem)."

Pak Dhe Joyo kemudian menyuruh Anjar untuk melepaskan Bowo. Hingga Bowo sekarang tersungkur pada lantai kayu yang kasar. Ia masih menangis. Sesenggukan.

"Kali ini kamu Pak Dhe maafkan. Tapi kalo kamu mencoba kabur lagi.... Awas saja koe (kamu)."

Pak Dhe Joyo berlalu bersama gemblak- gemblaknya. Meninggalkan Bowo sendirian di kamar dalam tangis.

***
Begitu suara langkah Pak Dhe Joyo menghilang, Bowo mencoba bangkit. Kepalanya pening. Seluruh wajahnya sakit dan lebam. Hampir saja ia ambruk lagi, namun kedua tangannya masih kuat menopang badannya. Begitu berhasil bangkit, ia merangkak pada sudut kamar. Bowo menangis. Kedua tangannya gemetar memeluk kaki kaki rapuhnya. Air matanya mulai meleleh. Ia menyebut sebuah nama:

"Ndar......... Tolongin aku Wendar.........." bisik Bowo pelan. "Apa kamu ngerasain apa yang aku rasakan Ndar..... Apa warokmu juga memperlakukan mu seperti ini.....??? Tolong aku ndar......".
Bowo larut dalam monolognya. Tangannya kian erat merengkuh kakinya. Tangisnya makin kencang. Dan air matanya kian banjir.

"Aku pengen kabur sama kamu, Ndar.... Aku pengen bisa bebas jadi laki- laki...... Sama kamu.... Sama kamu........"

Yoben ajur awakku,
Yoben remuk atiku,
Aku ra peduli,
Aku ra maido,
Muk siji seng tak pingini,
Nyawang sliramu, ning andek ku

Biar hancur badanku,
Biar remuk hatiku,
Aku tak peduli,
Aku tak mempermasalhkannya,
Cuma satu yang aku inginkan,
Melihat dirimu, ada di sampingku

"Ndar, Pak Lek neng sanggar disik ya? Pak lek enek perlu karo Pak Lindhu, mengko koe nyusul wae ya?".

(ndak, pak lek ke sanggar duluan ya, pak lek ada perlu sama pak lindhu, kamu nanti nyusul saja ya?).

Kudengar suara Pak Lek yang berasal dari depan rumah. Ia telah duduk diatas sepeda kumbang kesayangannya. Aku yang sedang ada di dapur mencuci piring bekas sarapan tadi hanya menyahutnya.

"Injih Pak Lek. Mangke Wendar nyusul." teriakku sekencang mungkin sambil terus menggosok- gosokkan serabut kelapa pada piring aluminium di depanku.

Suara kerincing lonceng pada sepeda Pak Lek kian terdengar menjauh, menjauh, dan sekarang tak terdengar. Tumben Pak Lek berangkat duluan ke sanggar. Biasanya dia selalu berangkat kesana bersamaku. Tapi sudahlah, tadi dia sudah bilang kalau dia ada perlu dengan Pak Lindhu. Mungkin urusan sanggar.

AKU mencari- cari diantara kerumunan orang- orang yang memenuhi sanggar ini. Hari ini, kebetulan adalah geladi resik kami untuk pertunjukan Ruwat Nagari (upacara keselamatan desa) nanti. Jadi cukup banyak orang- orang dari sanggar lain yang juga latihan disini. Sebab kami akan tampil bersama- sama.
***
Mataku terus menyusur kerumunan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Ke depan dan belakang. Namun tetap tak kutemui dia. Bowo sama sekali tak kelihatan batang hidungnya. Aku menghampiri seorang bocah lelaki, yang kuketahui dekat dengan Bowo.

"Eh, Pras, kamu tahu ndak si Bowo kemana? Dia hari ini ikut latihan disini to?", tanyaku pada Prasetyo. Bocah lelaki itu.

Tapi Pras menggeleng. "Aku ndak reti (tau) Ndar. Tadi aku lewat depan rumahe, tapi semua pintunya di kunci, ndak ada orang kelihatannya disitu. Mungkin pada pergi."
Hahh??? Bowo pergi? Pergi kemana kira- kira anak itu. Apa Bowo dan Pak Joyo latihan di tempat lain? Ah. Kenapa juga tiba- tiba aku mencari- carinya. Toh tanpa dia aku juga tetap bisa latihan. Tapi relung terdalam hatiku tiba- tiba saja merindukannya. Aneh. Seketika saja aku jadi merasa takut jika tak mampu bertemu dengannya.
***
"Ndar...... Kamu sudah datang ya... Ayo langsung masuk saja... Pak Lek mu nungguin dari tadi lho".
Terdengar suara Mas Narno dari belakang. Aku menoleh. Dan benar. Mas Narno berdiri disana sambil melambaikan tangannya. Aku bangkit dan berjalan mengikutinya menuju ruang latihan.

"Ma Narno....." ucapku sembari berjalan.

"Iya Ndar. Ono opo?" (ada apa).

"Mas lihat Bowo ndak, dia latihan disini apa ndak ya?".

Mas Narno berhenti. Lalu menoleh padaku. "Memangnya kenapa Ndar?"

AKU terdiam. Mas Narno terus menatapku dengan tatapan tajam. Aku menunduk. Bisa kurasakan wajahku panas, merah karena malu. Mas Narno pasti curiga padaku. Tiba- tiba saja aku menanyakan Bowo.

"Ndak... Ndak kenapa kenapa mas, cuma nanya saja."
jawabku salah tingkah.

Mas Narno hanya tersenyum menatapku yang salah tingkah. Ia menggusak rambutku hingga acak- acakan.

"Bowo pasti latihan disini kog nanti. Barangkali aja dia masih di jalan. Kenapa? Kamu kangen ya sama Bowo, heheh." Mas Narno mengangkat sebelah alisnya, menggodaku. Aku kian tertunduk.

"Mbo... Mboten Mas..." (tidak, mas). Jawabku.

"Yawes, kamu mau langsung masuk apa kemana dulu?", Mas Narno menatapku.

"Mas duluan saja, aku mau diluar dulu, nungguin Bowo, mau ada perlu sama dia".

Mas Narno lantas melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang latihan. Sementara aku berdiri menatapnya hingga menghilang.
***
Kulangkahkan kaki menuju pelataran sanggar yang berbentuk saung dengan lantai kayu beratap ijuk kering. Aku duduk disana. Sendirian. Menatap ke arah pagar masuk sanggar, berharap aku melihat Bowo datang ke sanggar ini.

"Wo... Kamu kemana..???", batinku.

Dalam hati terdalamku, aku memanggil- manggil Bowo. Aku tak tahu. Kenapa aku tiba- tiba saja mencari- cari nya. Aneh. Tapi ini kenyataan.
***
Tiba- tiba kulihat sebuah andong berhenti di depan pagar sanggar. Beberapa bocah lelaki turun dari andong dan bergerak masuk menuju sanggar. Dan aku lihat Bowo... Aku benar- benar melihat Bowo turun dari andong. Diikuti Warok Joyo di belakangnya. Aku menghembus nafas lega. Ternyata Bowo benar- benar datang untuk latihan disini. Segera aku bangkit dari dudukku, menghambur ke arahnya.

"Bowo.....", panggilku senang.

"Wendar? Kamu sudah datang."

"Ehem." tiba- tiba terdengar suara deham di belakang kami. Aku baru sadar kalau Warok Joyo ada bersama kami. Aku tersenyum kecut padanya. Sedikit ketakutan, aku berbicara padanya.

"Anu Pak Dhe.... Aku boleh pinjem Bowo nya sebentar ndak Pak, aku mau ada perlu sebentar."

Sebentar Warok Joyo menatapku. Kemudian ia tersenyum.

"Yawes, tapi sebentar saja ya, kan kalian mau latihan sepuluh menit lagi."

"In... Injih Pak Dhe." jawabku menangguk.

"Pak Dhe duluan ya, Ndar."

"Injih Pak Dhe."

Kemudian Warok Joyo meninggalkan kami berdua dan masuk kedalam sanggar untuk berkumpul dengan warok- warok lain.

"Ada apa to, Ndar, kog pake perlu- perlu segala, memangnya perlu apa?". Bowo menatapku penasaran. Aku segera menggenggam tangannya dan menariknya pergi.

"Sudah, nanti saja aku jelaskan, sekarang ikut aku."

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar